Satu hal yang saya refleksikan setelah nonton podcast Om Deddy yang mengundang Susi Pudjiastuti, tim kreatif kanal YouTube Deddy Corbuzier memang payah ketika membuat thumbnail. Eh, nggak ding, itu hanya salah satu refleksi nggak penting saja. Refleksi paling penting dan membutuhkan tingkat kontemplatif yang amat riskan memasuki zona suwung bahwa Ibu Susi memang nggak layak ada di kabinet Jokowi saat ini.
Saya nggak perlu mengucapkan maaf atau kata-kata menjilat lainnya. Apa yang saya refleksikan di atas memang sudah teruji klinis tanpa keterlibatan tim dari IPB dan ITB. Bu Susi, sebagai “penguasa” Laut Selatan selain Nyi Roro Kidul, adalah sosok ibu yang sudah paripurna di mata saya. Sosok ibu yang semisal anaknya bandel, diajak duduk dan berdiskusi, entah sambil ngerokok atau sambil melihat rogo sukmo Roro Kidul di Laut Pangandaran. Ah, memang Bu Susi ini sosok ibu yang indie sekali.
“Lihat, Nak, ada yang sedang kesurupan di sana,” kata Bu Susi sambil ngampit Samsu. Sedang sang anak manthuk-manthuk. “Kesurupan sembari diterpa senja yang pating mobat-mabit,” jawabmu sebagai anak.
Tapi serius, mulai dari dialektika, cara ia menatap Deddy Corbuzier, caranya menunggu pertanyaan, gesture duduk, nada bicara, seakan semua di-set dengan baik dan benar. Saya seperti melihat sosok yang diagungkan tanpa kudu punya titel yang melekat dalam dirinya. Susi Pudjiastuti menjadi apa adanya tanpa harus ia buat-buat dan ngambil jabatan negara sana-sini padahal kinerjanya payah sekali. Bu Susi tak seperti itu.
Spesial ucapan terima kasih, sekaligus unpopular opini, layak dilayangkan kepada Bapak Jokowi yang—secara nggak langsung—menyelamatkan sosok ini. Kita nggak perlu melihat Bu Susi dalam gap yang panjang hanya karena dirinya adalah menteri. Walau ketika jadi menteri, ia rela-rela saja, sih, di-roasting sama beberapa komika.
Ya, arti lain, kita bisa melihat sosok Susi Pudjiastuti yang memang begini adanya. Layaknya sosok ibu-ibu yang ngobrol dengan host podcast dan mengeluarkan buah pikir yang orisinil. Coba saja Pak Jokowi menjadikan Bu Susi seperti Pak Luhut—alias menjadi menteri abadi—ah, kesibukan Bu Susi mungkin bisa bikin blio nolak mampir ngisi podcast.
Ada beberapa alasan kuat Pak Jokowi yang benar bahwa Bu Susi itu nggak layak masuk kabinetnya. Alasan pertama, jelas bahwa Bu Susi ini nggak bisa berperan melulu sebagai dirty-job. Bukan konotasi negatif lho ya, masak tega sih melihat Bu Susi melulu terkenal dengan meledakkan kapal? Dengan nggak adanya blio dalam kabinet, kita bisa tahu bahwa Bu Susi ini nggak hanya bisa meledakkan kapal.
Lagi pula, di dalam kabinet Pak Jokowi ini mainnya sungguh dirty sekali. Maksud saya, dalam rentan kurang lebih dua tahun, ada dua menteri yang keconangan korupsi. Kurang dirty job apalagi, sih? Dengan korupsi, memang menjadikan meledakkan kapal nggak dirty-dirty amat karena korupsi itu setara dengan memakan tahi sendiri.
Apalagi suksesor Bu Susi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, yakni Edhy Prabowo, keconangan oleh KPK usai lawatannya dari Amerika atas dugaan suap ekspor benih lobster. Iya, kan? Jika disandingkan dengan kasus korupsi, meledakan kapal itu nggak ada apa-apanya. Namun, untunglah Pak Jokowi nggak mempercayakan posisi di kabinet itu untuk Bu Susi.
Dengan nggak jadi Menteri Kelautan dan Perikanan lagi, Bu Susi seakan menjadi ibu bagi setiap orang yang follow blio di media sosial. Berkat Pak Jokowi, kami nggak perlu repot-repot mengetik Bu Susi sebagai “Menteri Kelautan dan Perikanan” lagi, cukup mengetik dengan “Bu” atau “Ibu”. Sederhana, tapi amat berarti rasanya.
Alasan kedua, Susi Pudjiastuti nggak layak masuk kabinet Jokowi lagi karena blio ini nggak kemaruk. Ketika menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Bu Susi nggak maruk jabatan. Blio selama jadi satu menteri, ya jadi satu saja. Bu Susi tentu paham bahwa posisi menteri itu bukan seperti anak band yang bebas bikin side-job.
Iya, Bu Susi bukan Tom DeLonge ketika masih di blink-182, ia bikin side-project bernama Angels & Airwaves. Bu Susi juga pasti sadar diri bahwa blio bukan Luhut Binsar yang bisa melakoni banyak peran dalam negara ini, dan hasilnya…… ya, jelas bagus sekali, lah. Hehehe. Hehehe. He?
Bu Susi ini memang hebat, tapi nggak sehebat Pak Luhut. Mulai dari jadi Ketua Dewan Pengarah Penyelamatan 15 Danau Prioritas, merangkap pekerjaan menggantikan posisi sementara Edhy si Lobster, lantas ketika Menteri Perhubungan Budi Karya terkena Covid-19 blio sempat pula tuh menggantikan sementara. Dan yang paling nyata kinerjanya adalah penanganan Covid-19 di tanah air.
Lho, kok, jadi bahas Pak Luhut? Tapi memang itulah aturan jagat raya yang pertama bahwa dunia berputar mengelilingi Luhut Binsar Pandjaitan.
Bu Susi mana bisa rangkap jabatan seperti itu. Karena Bu Susi sadar, ngurus satu jabatan saja susah, apalagi rangkap-rangkap. Sudah, yang bisa melakukan multitasking seperti itu hanya ada dua: Luhut Binsar dan peralatan unik yang dijual di iklan televisi tiap memasuki jam-jam malam. “Yak, cepat hubungi ke nomor ini jika tertarik beli, hari Senin harga naik!”
Ketimbang menjadi menteri, sudah tentu menjadi ibu itu tugas yang lebih sulit. Bersama Bu Susi, mungkin ada sedikit perbedaan dengan ibu saya di rumah—yang tentu saja nggak kalah hebat dari Bu Susi. Bu Susi mengajarkan saya bahwa dunia itu nggak selamanya indah, malah kadang menyebalkan.
Namun, dari sisi menyebalkan itu, ternyata ada sesuatu yang menarik dan layak untuk menjadi pembelajaran hidup. Nggak terpilih lagi jadi menteri, misalnya. Hal yang dikira nggak menyebalkan, ternyata nggak menyebalkan-menyebalkan amat. Mungkin, maksud Tuhan adalah sedang menyelamatkan Bu Susi dari segerombolan badut-badut itu.
Sumber Gambar: YouTube VDVC Talk