Susahnya Orang Miskin Jadi Orang Baik Versi Nadin Amizah

Menjadi Orang Miskin Versi Nadin Amizah: Udah Susah, Jadi Makin Susah terminal mojok.co

Menjadi Orang Miskin Versi Nadin Amizah: Udah Susah, Jadi Makin Susah terminal mojok.co

Sebenarnya saya bukan orang yang suka mendengar podcast. Namun, muka saya menebal saat Mbak Nadin Amizah mengeluarkan statement nggatheli di Deddy Corbuzier Podcast. Mau tidak mau, saya mendengarkan isi podcast yang memang menyebalkan ini.

“Jadilah orang kaya, karena kalau kamu kaya kamu akan lebih mudah jadi orang baik. Dan saat kita miskin, rasa benci kita pada dunia itu sudah terlalu besar sampai kita nggak punya waktu untuk baik sama orang lain lagi,” ujar Mbak Nadin.

Sebenarnya, ujaran ini berasal dari pendidikan orang tua Mbak Nadin. Tentu untuk memberi motivasi yang membangun. Namun, apa benar orang miskin akan terjebak dalam kebencian dan sikap iri dengki. Apa kaum miskin semengerikan itu?

Jelas tidak! Kemiskinan dan sikap baik tidak punya korelasi yang tegas. Baik buruknya seseorang tidak melulu ditentukan oleh kondisi ekonomi.

Saya pribadi tidak bisa menerima ide Mbak Nadin Amizah ini, bahkan dalam tataran motivasi membangun. Stigma kemiskinan yang menyebalkan ini hanya dilandasi oleh ide-ide nggatheli yang mengambang. Sorry to say ya, Mbak, saya hanya mencoba jujur seperti Anda.

Perkara stigma, kita tidak bisa memungkiri. Kemiskinan memang dipandang sebagai cacat sosial. Kaum miskin sering dipandang sebagai kaum tak beradab dan hidup dalam lingkungan barbar.

Ada benarnya, sih. Realita menunjukkan bahwa kaum miskin tidak punya akses menuju cara hidup yang “layak”. Urusan pemukiman saja tersingkir di pinggiran kota. Bukan karena mereka ingin, tapi hanya itu yang mampu mereka akses. Urusan pendidikan juga sama. Kemiskinan menyebabkan kesulitan mengakses pendidikan yang “lebih maju” menurut orang-orang mampu.

Akan tetapi, baik dan buruknya seseorang tidak ditentukan oleh strata ekonomi mereka. Apalagi menuding kaum miskin terlalu capek membenci dunia sampai tidak punya waktu untuk berbuat baik. Mungkin Mbak Nadin terlalu sibuk melihat ketimpangan sosial dari dalam ruangan yang hangat sambil duduk di sofa yang mentul-mentul.

Saya tidak ingin membicarakan apa yang tidak saya alami. Namun, realitanya memang tidak seperti apa yang disuarakan Mbak Nadin Amizah. Salah satu pengalaman yang pernah saya wartakan adalah saat saya terlibat aksi makan gratis di Pasar Beringharjo, Jogja.

Yang terlibat dalam kegiatan ini bukan orang-orang kaya. Bukan pula bos atau influencer. Dari donasi sampai pelaksana dilakukan oleh mereka yang punya penghasilan mepet. Bahkan di bawah UMR Jogja yang sudah jongkok itu.

Bahkan preman pasar yang terlihat jahat malah menjadi penyelamat kami. Mereka menjadi garda depan keamanan saat kegiatan ini berbarengan dengan kampanye parpol. Tidak hanya menyumbangkan otot metekol mereka, para preman ini juga ikut berbagi makanan dan rokok.

Buruh panggul yang menjadi sasaran pun tidak kalah semangat untuk berbagi. Dari jeruk sampai lanting mereka bagikan untuk dinikmati bersama. Tidak ada sikap pamer kebaikan dan sumbangan. Semua terjadi secara organik tanpa sibuk memikirkan baik buruknya sumbangan mereka.

Sebenarnya masih banyak pengalaman serupa. Bisa dibilang, tindakan baik dari kaum miskin adalah makanan sehari-hari bagi saya. Namun, saya mencoba memahami maksud dari ujaran Mbak Nadin Amizah ini. Meskipun sambil menahan umpatan.

Sepertinya Mbak Nadin terjebak dalam konsep kebaikan berbasis charity atau sumbangan. Perbuatan baik tidak melulu dilakukan dengan menyisihkan kekayaan dan menjadi dewa bagi kaum miskin papa. Konsep-konsep charity memang sering digadang-gadang sebagai kebaikan kaum kaya dan ningrat.

Mbak, kebaikan lebih jauh dari sekadar charity. Memang kaum miskin tidak mampu melakukan charity seperti tokoh masyarakat berekonomi mapan. Lantaran memang tidak ada kekayaan yang bisa disisihkan. Namun, mereka mampu menyisihkan apa yang mereka miliki juga, kok.

Berbeda dengan charity yang melebarkan jenjang sosial, perbuatan baik akar rumput ini dilakukan semata-mata karena solidaritas sesama orang susah. Seperti contoh kasus yang saya sampaikan, kemiskinan tidak membuat mereka menimbun harta yang sedikit itu.

Mungkin kita sering disodori fakta bahwa kaum miskin rentan berbuat kriminal. Akan tetapi, saya melihat ini tidak sesederhana miskin itu kriminal. Tindakan seperti pencurian terjadi sebagai respons terhadap situasi ekonomi, di mana mereka tidak mampu mengakses kebutuhan hidup mereka.

Kekayaan juga bukan menjadi alasan seseorang berbuat baik. Jika itu benar, saya pikir KPK memang layak dibubarkan. Toh, para koruptor yang notabene tajir ini tidak akan berbuat buruk seperti korupsi dana bansos. Dari bukti ini saja, sudah tampak bahwa baik buruknya seseorang tidak berkorelasi langsung pada strata ekonomi. Mau miskin atau kaya, semua bisa berbuat baik dan jahat.

Sebagai penutup, saya hanya menyarankan Mbak Nadin Amizah keluar dari social circle sejenak. Syukur-syukur mau meninggalkan sofa mentul-mentul Anda untuk melihat langsung realita akar rumput yang terjebak kemiskinan. Nanti jika menemukan apa yang saya sampaikan ini, Mbak Nadin bisa kembali ke Deddy Corbuzier Podcast untuk klarifikasi.

BACA JUGA Nadin Amizah dan Twit-nya yang Sok Bela Kesenian dalam Negeri dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version