Untuk semua masyarakat Yogyakarta dan Surakarta, namaku Prambanan Ekspres atau bisa kalian sapa Pram saja biar mengalir menjernihkan. Dulu aku punya tanduk, kini badanku bergambarkan batik dan sedikit lebih ginuk-ginuk.
Aku hadir di sini untuk melerai kesedihan yang belakangan berkelindan di lini masa media sosial. Semua menuturkan kisah sendu kala menaiki aku. Aku membaca satu persatu cuitan itu dan haru menyeruak di dadaku, eh, di lokomotifku ini.
Sialan memang kalian semua. Bahkan aku tak diberikan kesempatan untuk pergi dengan tenang. Betapa luar biasa gelora kalian menuturkan kisah dan kenangan. Sebagai pembalasan paling sempurna, dalam surat terbuka ini, izinkan aku gantian menautkan pesan dan kesan untuk kalian sekalian.
Ya, kalian. Kalian entah itu para pejuang LDR delapan ribuan, para mahasiswa yang salah memilih universitas di kota tetangga, para pedagang batik dari Pasar Beringharjo sampai Pasar Klewer, atau para pekerja UMR yang wani perih. Ini tentang kereta kesukaan kalian, Prambanan Ekspres yang selalu hadir di garda terdepan membayar kontan kesedihan kalian.
Setiap masa, selalu ada bagian akhir, bukan? Langit biru saja, jika ditinggal dua belas jam lamanya, pasti akan jadi hitam dan pekat. Namanya malam. Di mana matahari tak lagi menyapa dan perubahan besar-besaran alam semesta bergulir dengan megah.
Manusia pekerja, yang merupakan prototipe yang—katanya—paling sempurna, akan bermuara di sebuah pusara atau pelarungan lelah. Lelah singgah dari satu kota ke kota lainnya. Atau kita persingkat Yogyakarta – Surakarta.
Ya, apalagi diriku, seonggok mesin sepertiku ini. Mesin yang diciptakan manusia, guna beroperasi untuk kemudian rusak. Sebuah mesin yang diberi mandat untuk membawa ratusan orang sekali jalan guna sampai tujuan. Setahun, dua tahun, tiga tahun; pada akhirnya kenangan mendobrak, badanku kian rusak.
Aku adalah contoh yang nyata dari sebuah pahatan kisah insan manusia. Keabadian itu niscaya, bukan? Ya, aku! Aku! Aku memang sebuah kereta yang diciptakan untuk mengantar kalian. Namun asal kalian tahu, aku adalah tempat terbaik untuk kalian mengabadikan kisah. Baik itu suka maupun duka.
Aku berulang kali melihat manusia menangis di dalam gerbongku ini karena kalah melawan dunia. Entah itu dari Solo Balapan atau Tugu Yogyakarta. Mereka menundukkan kepala, mengepalkan tangan, dan menggoreskan luka paling dalam di gerbongku ini.
“Dunia amat kejam,” begitu katanya. Lantas ia melanjutkan, “Hidup manusia tak ada rel seperti laju kereta. Kita kudu menentukan arahnya sendiri. Enak betul jadi kereta, sudah jalan sesuai rel, dikendalikan masinis pula.”
Aku kini yang menangis. Aku bersyukur orang itu tak benar-benar menjadi kereta seperti diriku. Aku menitikkan pilu dalam manifestasi suara klakson yang diarahkan oleh masinis: TOOOT! Benar, kawan, aku tak bisa menangis.
Sesedih-sedihnya diriku, tangisku hanyalah deru mesin diesel yang membelah rel dari Solo menuju Jogja. Aku adalah kereta yang memiliki batas waktu penggunaan. Aku bisa digantikan kapan saja. Aku bisa dianggap tak berguna bahkan sekarang juga. Saat aku sudah tak dibutuhkan, aku tak bisa bersedih dengan pilu, menangis dengan haru.
Bisaku hanya menerima dengan lapang dada, berdoa semoga saja badanku tak dihancurkan. Bisaku hanya bertasbih, semoga manusia-manusia yang dahulu menaiki diriku kelak, menjadi manusia pilih tanding di masa yang akan datang. Hanya itu.
Ah, aku tak sampai hati bilang, “Aku ingin menjadi manusia, bosan sekali menjadi kereta.” Maaf saja, setidaknya sebuah kereta seperti diriku lebih berperi kemanusiaan ketimbang manusia itu sendiri. Benar, aku tak bisa memakan dana bantuan sosial seperti orang sakti yang duduk di bangku pemerintahan.
Oh, iya, aku berulang kali melihat sepasang remaja memadu kasih di dalam gerbongku. Lucu sekali mereka ini. Saling memeluk lengan, menyandarkan kepala di pundak kekasih yang rasanya amat tabah menahan pegal. Gerbongku, seakan menjadi wahana wisata penjemput kebahagiaan.
Aku juga melihat para pejuang hubungan jarak jauh bertemu di peron stasiun. Ditemani oleh dengung lagi Bengawan Solo, mereka berpelukan, saling menatap mata, dan pergi meninggalkan diriku. Aku hanyalah kereta. Aku hanyalah perantara, pengantar, peladen, atau apa pun istilahnya dalam hubungan mereka.
Toh, aku bukan tujuan mereka. Mana ada manusia yang menjadikan sebongkah gerbong kereta sebagai destinasi akhir? Tak ada dan aku jamin tak pernah ada. Prambanan Ekspres, diriku, adalah pengawal sepasang kekasih atau seseorang yang tengah menjemput kekasihnya di kota tetangga.
Plat AB dan AD bak jauh, menjadi dekat karena adanya diriku. Gelak tawa sepasang kekasih di dalam gerbong, senyum manis yang terkembang karena menggandeng sang pujaan hati, atau saling menatap dalam bangku gerbong, apa yang lebih menyenangkan dari itu?
Pun aku adalah saksi bisu berdesakan ratusan manusia di dalam gerbong. Peluh, burket, hingga bau gadhul bermekaran di dalam gerbong. Parfum elektrik semprot yang mak PROOOT! dalam periode waktu tertentu, dengan intensitas tiba-tiba, dan sekonyong-konyong pun tak bisa menyelamatkan bebauan yang berputar di gerbong.
Kelas pekerja telah usai menunaikan jerih payah di kota tetangga. Tangan mereka menyunggi langit-langit, mengikuti gerak ke mana pun gerbong bergoyang. Ketika ada kaki yang terinjak, tiba-tiba berubah menjadi, “Bajingan!” itu sudah biasa lantaran gelak tawa dan senyum lelah khas mereka terumbar berikutnya.
Pun, hidup berjalan seperti bajingan. Namun, hidup ini bak sebuah siklus yang berjalan begitu ajek. Mengikuti rel lantaran aku tak diperkenankan untuk melewati batasan-batasan itu. Lariku diatur oleh masinis. Akan tetapi, tetap saja kebahagiaanku terjadi karena semua masyarakat Yogyakarta dan Surakarta.
Aku menyusuri terik Stasiun Gowok, hujan badai kala berhenti di Maguwo, hingga tujuan akhir mempersilakan aku singgah untuk kemudian pergi lagi. Pergi menuju stasiun berikutnya. Disambut, kemudian dipersilakan pergi lagi.
Nahas, tahun 2021 adalah saat bagi diriku untuk benar-benar pergi dan tidak kembali. Aku tak hanya pergi dari Solo Balapan menuju Tugu Yogyakarta. Kali ini aku kudu benar-benar pergi. Diriku, kereta diesel, rasanya tak akan berguna banyak di sebuah zaman yang melaju dengan pesat.
Aku harus benar-benar meninggalkan stasiun. Tak ada lagi “Bengawan Solo” di Solo Balapan, tak ada lagi bau Roti O’ di Lempuyangan. Tak ada lagi gelak tawa pasangan muda, tak ada pula muram durja manusia yang mengaku kalah kepada UMR Jogja.
Setidaknya aku pergi tanpa sebuah bekal. Aku pergi dengan sejuta kenangan tentang kalian. Aku yang hanya sebuah kereta, bahagia bukan main kala bersua dengan kalian. Walau patut diakui, sebuah rel ada batasnya. Tak akan melaju tanpa akhir.
Dan aku, Prambanan Ekspres, telah menemukan muara rel kereta api itu. Sebuah rel yang tak ada lanjutannya. Hanya kisah yang abadi, menjalar dari mulut ke mulut, dan kalianlah pelaku sejarah yang apinya akan selalu tersulut.
Dengan penuh ketabahan,
Pram.
BACA JUGA Tempat di Gerbong Prameks yang Cocok untuk Kawula Muda Pacaran dan tulisan Gusti Aditya lainnya.