Sebagai pecinta dan penikmat kemangi, saya seringkali kesal karena kemangi hanya diperlakukan sebagai pengganti sabun wangi di warung penyetan.
Buat yang belum tahu, warung penyetan di tempat asal saya, yaitu di Sidoarjo, Jawa Timur, adalah warung tenda yang pada umumnya menjual nasi dengan aneka lauk yang digoreng seperti ayam, bebek, lele, tempe, tahu, atau telur sebagai lauk andalan, dengan sambal yang jadi bintang utamanya. Artinya bumbu ayam goreng sesama warung penyetan boleh sama atau mirip-mirip, tapi yang harus dijadikan daya tariknya adalah si sambal. Karena sambalnyalah, saya akan kembali ke warung penyetan itu!
By the way, kata penyet itu hanya gimmick belaka, karena tidak ada yang dipenyet di warung itu. Bisa sih, tepatnya by request. Kalau lauknya mau dipenyet ya tinggal rikues saja sama mbak atau mas yang jaga.
Setiap porsi penyetan disertai dengan sebuah mangkuk kobokan. Seperti halnya makan nasi padang, makan nasi penyetan afdalnya makan pakai tangan, bukan sendok garpu. Itulah sebabnya disediakan mangkuk kobokan, bersama seiris jeruk nipis. Tapi tidak jarang, hanya air yang tersedia.
Nah, kembali ke kemangi tadi. Gimana gak kesel. Kemangi itu kan jelas-jelas terpampang nyata adalah bagian dari keluarga lalapan. Rekan-rekannya antara lain timun, kol (kubis), dan kacang panjang. Dimakan mentah-mentah dan dicocol ke sambal, sebagai pelengkap aneka lauk yang digoreng.
Tapi kenyataannya, banyak yang menganggap kemangi ini adalah pengganti sabun. Tidak jelas entah siapa yang memulai kesalahpahaman ini. Pemilik warung penyetan atau pelanggannya, masih jadi misteri.
Sebagai pecinta kemangi, saya memiliki hipotesa dari pengamatan intensif di warung penyetan.
Hipotesa pertama, pelanggan yang memulai semua ini.
Saya akui, tidak semua orang menyukai kemangi. Aroma dan rasanya yang khas konon jadi alasan kenapa ada orang-orang yang tidak menyukainya. Ada rasa getir yang ditinggalkan setelah dighosting mz mb gebetan mengunyah kemangi.
Akhirnya karena tidak disukai, kemangi sering dicuekin dan ditinggalkan begitu saja di piring saji. Setelah selesai makan, si pelanggan mau cuci tangan dong. Di titik inilah si pelanggan akan melirik mangkuk kobokan dan mencuci tangan dengan irisan jeruk nipis yang tersedia. Masalah mulai muncul ketika tiada jeruk nipis yang disediakan. Dengan semangat higienitas yang tinggi, si pelanggan akan melirik kemangi yang teronggok di piring saji. Kenapa tidak?
Itulah momentum ketika kemangi bergeser peruntukannya. Yang semula bagian dari komunitas lalapan lalu menjadi perangkat kebersihan a.k.a pengganti sabun. Dan ternyata berhasil, bau amis di tangan bisa hilang sejenak. Tapi sampai rumah harus cuci tangan lagi ya, kalau gak mau dipepet sama kocheng.
Hipotesa kedua, pemilik warung penyetan yang memulainya.
Tidak sedikit warung penyetan yang saya datangi memang melakukan kejahatan terhadap kemangi. Kemangi tidak diletakkan di piring saji bersama aneka lalapan yang lain, melainkan dimasukkan ke dalam mangkuk kobokan!!!111!!! Sungguh aku ingin berkata kasar, namun kuputuskan untuk menulis surat protes ini saja.
Dear pemilik warung penyetan yang sambalnya nonjok sehingga saya ingin terus kembali,
Saya tidak dapat memahami, entah apa yang merasuki dirimu? ~singing
Apa salahnya kemangi hingga dirimu tega melakukan perombakan dalam keanggotaan komunitas lalapan, yakni mengeluarkan kemangi? Kenapa bukan timun? Atau kol (kubis)? Kacang panjang juga bisa kan? Kenapa cuma kemangi yang mendapat perlakuan seperti ini?
Apakah karena kemangi punya aroma yang sekilas mirip limau? Apakah itu yang membuatmu merasa berhak menyandingkan kemangi bersama dengan jeruk nipis? Tapi itu kan bukan salahnya si kemangi. Itu sesuatu hal yang tidak bisa diubah oleh kemangi!
Apakah karena daunnya agak keras sehingga tidak mudah hancur ketika diremas untuk mencuci tangan? Itu juga bukan salahnya kemangi kan? Apakah kamu hendak melakukan body shaming terhadap kemangi?
Lalu bagaimana juga dengan perasaan si jeruk nipis? Bahwasanya jeruk nipis ada di dalam komunitas pembersih dan penyegar, adalah sebuah takdir yang tidak bisa diubah. Apakah menurutmu jeruk nipis tidak akan bersedih hatinya jika mengetahui fakta di lapangan bahwa dia tergantikan oleh kemangi?
Apakah ini semua disebabkan oleh perbedaan harga yang mencolok antara kemangi dan jeruk nipis? Karena kemangi lebih murah maka lebih baik kemangi yang bersemayam di mangkuk kobokan? Jika pertimbangannya hanyalah efisiensi, lalu bagaimana dengan nasib kami para pelangganmu pecinta kemangi ini? Tidak bisakah kami kembali melahap kemangi seperti di masa lalu?
Wahai pemilik warung penyetan, andai suatu saat surat protes ini benar-benar sampai ke tanganmu, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk berkata dengan jujur dari hati yang terdalam.
Berilah kami pelangganmu, kesempatan untuk memilih. Sajikan kemangi itu sesuai tujuan hidupnya sebagai lalapan. Sajikan kemangi di piring saji bersama nasi dan aneka lauk pauknya, bukan di mangkuk kobokan. Biarkan kami pelangganmu, bebas memilih mau diapakan kemangi itu. Mau dimakan, atau mau dijadikan pengganti sabun, itu adalah pilihan kami. Bukan keputusanmu.
Sekian, terima kasih.
Hidup kemangi!
BACA JUGA Jangan Pesan Air Putih Gratisan saat Makan di Warung atau tulisan Kartika Sari Situmeang lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.