Halo Kangmasku, Bambang Sumantri. Bagaimana keadaan Maespati sekarang? Juga bagaimana kabarmu, Kang? Hmmm, aku masih di depan pintu swargaloka untuk menunggumu. Aku tidak mau ke swargaloka bila tanpamu.
Sebelumnya kuucapkan selamat Kangmas, atas gelarmu sebagai Patih Suwanda. Akhirnya cita-citamu untuk menjadi staf milenial di rezim Arjunasasrabahu di Maespati terkabul juga. Aku ikut bangga kepadamu, Kang.
Karena bangganya, aku sering menembangkan Serat Tripama bait satu dan dua.
Kakang sudah tahu belum? Kalau ada raja dari Mangkunegara yang ngefans denganmu. Sampai-sampai beliau menulis Serat Tripama yang berisi kisah kakang, Kumbakarna, dan Karna dalam bentuk tujuh pada (bait) tembang Dhandhanggula. Dan oleh beliau serat itu dijadikan sebagai contoh untuk prajurit untuk mengikuti sifat-sifat keprajuritan ketiga tokoh tersebut.
Juga sebagai wujud kerinduanku kepadamu, Kang. Ah iya, Kang, bagaimana juga keadaan Bapak dan Ibu? Semoga mereka juga baik-baik saja.
Kang, di akhir suratmu itu, kau ingin tahu kan dirimu seperti apa di mataku? Baiklah, Kang. Dengan surat balasan ini akan kugambarkan sosokmu di mataku.
Sebelumnya, Kang, aku sebenarnya tidak sepintar apa yang kau tulis di suratmu. Engkau lebih hebat dari aku. Dengan tekunnya, engkau akhirnya menguasai teknik keprajuritan. Dan sekarang cita-citamu untuk menjadi maha patih sebuah kerajaan terwujud, Kang.
Ehm, ada pertanyaan yang sempat kupendam lama. Apakah sebenarnya engkau malu punya adik sepertiku? Sehingga saat engkau berangkat ke Maespati untuk daftar menjadi staf milenial, kau tidak memperbolehkanku ikut. Padahal aku ingin sekali ikut, Kang. Aku tidak ingin berpisah denganmu. Aku ingin selalu bersamamu. Karena dalam hidupku hanya engkau yang kupunya. Karena Bapak dan Ibu sama-sama sibuk bertapa.
Dan betapa sedihnya aku, Kang, saat aku bangun tidur dan tidak menemukanmu di sampingku. Di manakah kakangku, Bambang Sumantri? Karena biasanya setiap aku bangun tidur, kakang selalu ada di sampingku. Aku pun mencarimu di setiap sudut Dusun Argasekar seharian. Dan aku menangis sejadi-jadinya ketika aku tak menemukanmu. Ya, meski ada anggapan bahwa lelaki tak boleh menangis, tapi aku tak peduli, Kang. Engkau ternyata benar-benar meninggalkanku saat aku masih terlelap.
Tapi aku tak pantang menyerah. Aku tetap mencarimu. Sukrasana yang tak pernah tahu rupa dunia selain di Argasekar pun akhirnya melakukan “njajah desa milang kori” demi bertemu dirimu, Kang. Meski Bapak sempat mengkhawatirkan akan kepergianku, tapi karena besarnya tekadku, Bapak akhirnya merelakanku pergi.
Semua orang yang kutemui di sepanjang perjalananku akan kutanyai di mana keberadaanmu, Kang. Hingga aku bertemu tukang perahu yang ternyata juga dulu pernah kau tumpangi. Ia yang memberitahuku tentang kemungkinan keberadaanmu di Maespati untuk ngenger, mengabdi kepada raja Arjuna Sastrabahu.
Aku berjalan dan terus berjalan, Kang. Orang-orang yang kutemui memberikan informasi bahwa dirimu pergi ke Magada sebagai utusan raja Arjuna Sastrabahu untuk memenangkan sayembara dan memboyong Dewi Citrawati. Engkau pun akhirnya mengalahkan Raja Widarba, Prabu Darmawisesa yang sempat memenangkan sayembara sebelum engkau datang.
Aku pun juga mendengar saat engkau berperang menantang Arjuna Sastrabahu setelah berhasil memboyong Dewi Citrawati di tapal batas negeri Maespati, di antara Gunung Salva dan Malava. Sebenarnya aku ingin menyusulmu, Kang. Namun ternyata, saat aku sampai di sana, perang itu telah usai.
Tapi aku tetap menemukanmu, Kang! Betapa bahagianya diriku bertemu engkau, Kang.
Namun, engkau justru tampak murung. Ternyata karena kekalahanmu di perang kemarin, agar pengabdianmu diterima, kau harus memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati tanpa satu pun akar tercerabut.
Kakangku Bambang Sumantri yang paling kusayang, kau tak usah risau. Aku akan membantumu memindahkan Taman Sriwedari dalam sekejap. Hanya saja, izinkan aku untuk ikut bersamamu. Ikut mengabdi ke Raja Arjuna Sastrabahu ya, Kang?
Kau pun berjanji, Kang.
Karena lelah usai memindahkan taman, aku pun beristirahat di salah satu pohon di taman. Tiba-tiba aku mendengar teriakan perempuan yang ternyata adalah emban Dewi Citrawati. Ia kaget karena kehadiranku yang buruk rupa ini.
Engkau pun datang, Kang. Memintaku untuk meninggalkan Maespati dan pulang ke Argasekar tinggal bersama Bapak. Bukankah engkau berjanji untuk mengajakku mengabdi ke Maespati, Kang?
Mungkin kalau engkau tak berkhianat, kita masih bisa cangkruk di taman itu, Kang. Sambil menikmati keindahan taman dan meluapkan kerinduan kita.
Karena ketidaksengajaanmu, kerismu pun mencelakaiku. Kang, jangan sedih akan perpisahan kita. Kita akan berkumpul lagi kalau engkau sudah berhadapan dengan Rahwana. Karena aku akan menjelma di taring Rahwana untuk menjemputmu menuju swargaloka.
Salam rindu, Bambang Sukrasana.