Surabaya dan Semarang Memang Superior, Apalagi di Depan Malang yang Kayak Remahan Peyek

Surabaya dan Malang Superior, Malang Remahan Peyek (Unsplash)

Surabaya dan Malang Superior, Malang Remahan Peyek (Unsplash)

Setiap warga berhak mengunggulkan kota masing-masing. Misalnya Mas Ahmad Arief Widodo mengunggulkan Semarang ketimbang Cikarang. Setelah itu, Mbak Tiara Uci membalas dengan menulis kalau Surabaya lebih superior ketimbang Semarang.

Semarang superior, lalu Surabaya merasa lebih superior itu bisa memakluminya karena keduanya merupakan ibu kota provinsi. Sementara yang remahan peyek kayak Malang ini apa? Maaf, Malang terlalu inferior di mata kalian.

Nihil komitmen membenahi moda transportasi umum

Semakin ke sini, Malang makin tambah macet. Nggak peduli di dalam maupun perbatasan kota, pasti macet. Banyak hal yang menyebabkan masalah ini. Misalnya berkaitan dengan status kota pendidikan membuat banyak pendatang untuk sekolah di sini. Masalahnya, masing-masing dari mereka membawa kendaraan pribadi.

Nggak ada komitmen membenahi mikrolet, satu-satunya moda transportasi massa di sini. Minibus biru ini berjuang di tengah gempuran taksi online dengan armada yang menyedihkan. Terminal mulai sepi. Tapi, yang dilakukan Pemkot Malang apa? Pelebaran jalan, rekayasa lalu lintas, tambah jembatan, dan semua yang memanjakan kendaraan pribadi.

Malang nggak sebersih Surabaya dan Semarang

Semarang sudah 6 kali dapat penghargaan Adipura, Surabaya dapat 9, kalau Malang? Baru 4, itu saja terakhir 2023 (sebenarnya itu penghargaan tahun 2022 karena vakum akibat Covid-19). Penghargaan internasional? Nihil Mas, Mbak.

Selama pengamatan saya, ya maklum Malang kalau cuma dapat 4 Adipura. Lihat saja, di gorong-gorong, pasti ketemu banyak sampah. Sungai penuh bungkus plastik. Kalau mau bukti lagi, coba datang ke Jalan Ijen pukul setengah 10 pagi setelah Car Free Day. Kalian pasti bakal yakin kalau Malang terlalu inferior di depan Semarang dan Surabaya.

Wisata seperti nggak terencana seperti Semarang dan Surabaya, malah terkesan FOMO

Meski punya kampung tematik seperti Jodipan dan Kayutangan Heritage, Pemkot Malang bikin destinasi baru: pedestrian Kayutangan a.k.a. Malioboro KW. Ini jelas Pemkot Malang terlalu FOMO, nggak mau diasapi Kabupaten Malang dan Kota Batu, apalagi Semarang dan Surabaya, yang punya banyak destinasi wisata. Efek FOMO itu malah negatif. Misalnya muncul krisis identitas dan macet parah di beberapa ruas jalan.

Saya kecewa dengan wisata baru di sini yang menjiplak ikon wisata terkenal agar bisa dikenal. Kabarnya, Alun-Alun Tugu bakal direvitalisasi jadi mirip Kayutangan, meninggalkan kesan khasnya: kolonial akhir. Ada lagi monumen lori tebu yang dipasang di Kayutangan sangat nggak menggambarkan trem kota yang pernah melewati kawasan ini saking FOMO-nya agar jadi destinasi wisata.

Baca halaman selanjutnya

Cuma dua mall yang ramai, hadeh

Cuma ada 2 mall yang ramai

Sebenarnya ada banyak mall di Malang. Misalnya ada Araya, Transmart, Sarinah, Cyber Mall, Gajah Mada, Matos, MOG, dan Transmart. Dulu, ada Malang Plaza, tapi lumpuh sejak kebakaran pada tanggal 2 Mei 2023.

Di antara banyak mall tersebut, hanya Matos dan MOG yang ramai karena sangat strategis di tengah hunian, pusat pendidikan, dan sentra ekonomi. Sisanya biasa saja. Araya sepi, Sarinah dan Gajah Mada nggak ramai, tapi susah kalau dibilang sepi. Transmart kalah saing dengan Matos, persis di sebelahnya. Menurut saya, Malang kebanyakan mall, tapi cuma 2 yang ramai.

Kuliner lokal berjuang melawan kuliner impor

Malang punya bakso dan pangsit untuk makanan berat. Yang nggak kalah enak adalah tempenya, termasuk keripik tempe Sanan yang jadi oleh-oleh dan sempol, jajanan yang sering ditemui di pinggir jalan atau destinasi wisata.

Tapi, eksistensinya mulai terancam. Beda banget sama kuliner Semarang dan Surabaya yang seperti kuat bertahan.

Misalnya ada Mie Gacoan yang lebih sering digandrungi masyarakat golongan muda. Ada juga tenar ayam geprek yang aslinya dari Jogja. Pecel Madiun atau kawasan pelat AG yang mulai merajalela. Bahkan ada juga resto Jepang dan Korea yang mulai unjuk gigi di Malang.

Arema dan dualisme, harusnya malu sama Surabaya

Beda dengan PSIS yang eksis dan Persebaya yang mulai berjaya, Arema FC jadi bulan-bulanan. Lihat saja, dari 3 pertandingan awal Liga 1 sekarang malah di ranking 17 dari 18 klub, terancam degradasi. 

Lesunya Arema FC memuncak selepas Tragedi Kanjuruhan yang belum mendapatkan kata adil. Arema FC jadi klub nirempati sejak enggan memberi bantuan hukum pada 135 korban jiwa plus korban selamatnya.

Belum lagi soal dualisme yang tanpa berkesudahan: Arema FC yang dituduh eks Pelita Jaya vs Arema Indonesia sejak munculnya IPL. Pemkot Malang berjanji turun tangan menyelesaikan dualisme, nyatanya hanya angin lalu.

Ya, fakta Kota Malang, kota kecil yang wajar kalo diasapi Semarang dan Surabaya. Bahkan menurut saya masih mendingan Jogja untuk sekarang ini. Yah, sebagai warga sini, saya hanya bisa berdamai dengan segala masalah. Sedih juga ya cuma bisa pasrah.

Penulis: Mohammad Faiz Attoriq

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 6 Fakta Lumpia Semarang yang Mungkin Nggak Kamu Ketahui

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version