Surabaya Dianggap Singapura-nya Indonesia? Udah Nggak Pas, Maksa Lagi

Surabaya Dianggap Singapura-nya Indonesia Udah Nggak Pas Maksa Lagi Terminal Mojok

Surabaya Dianggap Singapura-nya Indonesia? Udah Nggak Pas Maksa Lagi! (Priyono Priyono/Shutterstock.com)

Saya sering mendengar narasi Surabaya adalah Singapura-nya Indonesia dalam berbagai kesempatan. Bahkan, salah satu perumahan mewah di Surabaya diberi nama The Singapore of Surabaya. Di daerah tersebut juga ada patung singa yang mirip dengan patung di Merlion Park Singapura. Beberapa orang menyebut daerah tersebut (baca: Surabaya Barat) sebagai little Singapore.

Pada kesempatan lain, saya juga pernah membaca artikelnya Pak Tofan Mahdi, mantan wakil pemimpin Jawa Pos dan pemimpin redaksi SBO TV yang sudah malang melintang di event ekonomi internasional, yang mengatakan bahwa Surabaya adalah kota di Indonesia yang paling siap—baik secara ekonomi, infrastruktur, dan kesadaran warganya—untuk menjadi seperti Singapura, atau dalam bahasa blio, menjadikan Surabaya Singapura-nya Indonesia.

Sebagai warga Surabaya yang biasa saja, bukannya saya nggak pengin melihat Surabaya sebagai kota yang maju semaju Singapura. Namun, menarasikan Surabaya sebagai Singapura-nya Indonesia kok sepertinya kurang pas dan terkesan maksa banget. Setidaknya ada beberapa hal mencolok yang bikin Kota Surabaya blas nggak mirip Singapura.

#1 Transportasi publik

Jika dilihat dari sisi transportasi publik antara Singapura dan Surabaya, perbedaan keduanya jauh sekali bak langit dan bumi. Meski nggak sering, saya pernah ke Singapura dan merasa sangat terbantu dengan transportasi publiknya. Di sana, saya biasa berkeliling menggunakan MRT yang rutenya sangat lengkap.

Semua tempat yang ingin saya kunjungi di Singapura seperti Universal Studios, Gardens by The Bay, dan beberapa tempat lainnya bisa dijangkau dengan MRT. Jumlah stasiun MRT di sana juga banyak dan strategis dekat dengan pemukiman. Sebagai wisatawan, saya bisa jalan kaki dari hotel menuju stasiun MRT tanpa perlu kebingungan.

Proses pembayarannya pun mudah sekali. Meski wisatawan, kita bisa beli karcis terusan selama 3 atau 7 hari, jadi cukup menghemat ongkos transportasi selama berada di Singapura. Infrastruktur untuk pejalan kakinya pun bersih dan rambu-rambu lalu lintasnya lengkap.

Coba bandingkan dengan Surabaya. Boro-boro ada wisatawan yang mudah menggunakan transportasi publik, warga lokal saja kesulitan kalau ingin menggunakan transportasi publik. Bukannya kami nggak pengin naik bus, sekali lagi saya bilang, rute bus di sini masih sangat terbatas, jumlah haltenya minim, jadwal busnya sering terlambat atau nggak pasti, papan informasi di haltenya kurang lengkap, jarak antarhalte jauh dan belum terintegrasi dengan moda transportasi lainnya.

Jadi, hanya karena sudah punya Suroboyo Bus, Trans Semanggi, dan bus tingkat yang modelnya mirip dengan city tour bus di Singapura, nggak lantas membuat Surabaya tepat disebut sebagai Singapura-nya Indonesia, kan?

#2 Hunian warga

Tata letak kota, utamanya soal cara membangun perumahan atau hunian warga, juga sangat berbeda antara Surabaya dan Singapura. Di Singapura, hunian warga di sana memiliki konsep vertikal atau rumah susun, sementara di Surabaya konsep huniannya horizontal.

Nggak cuma itu, kalau kita perhatikan lebih detail, mayoritas perumahan di Surabaya memaksa penghuninya untuk memiliki kendaraan pribadi. Jarak rumah dan pintu masuk perumahan biasanya jauh. Rasanya mustahil kita bisa bepergian dari rumah menuju kantor atau pusat perbelanjaan tanpa motor atau mobil.

Jika dibandingkan dengan Singapura, mayoritas penduduk di sana atau sekitar 87% tinggal di rumah susun. Tak jauh dari rumah susun tersebut biasanya ada fasilitas publik seperti rumah sakit, taman bermain anak, sekolah, dan juga stasiun MRT atau halte bus.

Mungkin kalian bakal bilang, “Lho, Singapura kan sempit, wajar kalau rumahnya susun, sementara Surabaya kan luas!” Fyi, luas wilayah Singapura itu 728,6 kilometer persegi dengan total penduduk sekitar 5 jutaan. Sementara Surabaya luasnya 326,8 kilometer persegi dengan penduduk 2,9 jutaan (belum termasuk perantau). Artinya, bila melihat kepadatan penduduk dari perbandingan luas wilayah dan populasinya, Singapura dan Surabaya nggak jauh berbeda.

Dengan tingkat kepadatan yang hampir sama, hunian di Surabaya dan Singapura terlihat jauh berbeda. Di Singapura, hampir seluruh warganya punya rumah, meskipun itu rumah susun. Di Surabaya, meski model perumahannya lebih lebar dan luas, nggak semua warganya punya rumah. Hanya sebagian orang yang mampu membeli rumah di Surabaya. Ini jelas perbedaan yang sangat mencolok.

Di Surabaya, keberadaan rusun masih sangat terbatas. Di sisi lain, harga perumahan semakin nggak ngotak. Padahal tempat tinggal adalah kebutuhan primer yang seharusnya dimiliki oleh seluruh warga di Surabaya. Bagaimana bisa sebuah kota dinyatakan bagus, maju, dan sukses padahal banyak warganya yang bahkan nggak mampu memenuhi kebutuhan primernya?

Hanya karena ada patung singa di perumahan yang menyebut dirinya “The Singapore of Surabaya” tak lantas membuat Surabaya menjadi Singapura-nya Indonesia. Lagian aneh banget konsep perumahan di Surabaya yang mengusung konsep Singapura, tapi bentuk rumahnya mewah, lebar, dan besar. Lha, itu Singapura sebelah mana? Ha wong mayoritas hunian di sana rusun, kok. Apa mungkin yang dicontoh itu Marina Bay Sands? Itu sih hotel, bukan rumah.

#3 Perspektif pejabat atau pemerintah setempat

Untuk mewujudkan sebuah kota yang maju dan nyaman bagi warganya, perspektif pejabat atau pemerintah tentu memegang peranan penting. Sebab, mereka lah yang punya kuasa dan kemampuan untuk membuat kebijakan. Contoh sederhananya, kenapa warga Singapura tergantung pada transportasi publik bukannya mobil pribadi? Ya karena pemerintah setempat memfasilitasi warganya dengan infrastruktur yang memadai dan secara nggak langsung membatasi jumlah kepemilikan kendaraan pribadi.

Di Surabaya—atau Indonesia secara umum—jika punya uang, kita bisa langsung membeli mobil. Bahkan kita nggak perlu repot-repot punya parkiran mobil sebelum bisa memiliki mobil pribadi. Kalau nggak punya parkiran, ya parkir saja di bahu jalan. Bodo amat kalau mengganggu pengendara jalan lain, yang penting punya mobil.

Di Singapura, memiliki mobil pribadi nggak semudah itu. Harga mobil di Singapura termasuk yang paling mahal di dunia. Selain itu, warga Singapura juga harus punya Land Transport Authority atau izin memiliki kendaraan, itu pun izin kepemilikan mobilnya hanya 10 tahun. Mobil pribadi juga nggak bisa keluar setiap hari, melainkan ada jadwalnya. Biaya pajak, BBM, biaya masuk tol, parkiran, hingga biaya pembuatan SIM di Singapura mahal banget, Bestie. Semua kerumitan itu bikin warga Singapura “susah” beli mobil dan lebih memilih naik MRT.

Bandingkan dengan pola pikir pejabat di negara kita pada umumnya. Kemampuan rakyatnya membeli mobil malah dijadikan salah satu parameter kemajuan ekonomi, meskipun mobilnya hasil kredit selama 5 tahun. Beli mobil jadi semudah beli gorengan di pasar, yang penting rakyat konsumtif.

Dalam acara Indonesia Millenial Summit tahun 2020, mantan wali kota Surabaya bahkan pernah mengatakan kalau blio nggak ingin melarang orang kaya baru Surabaya untuk punya mobil. Urusan nantinya mobil-mobil tersebut bikin macet jalan dan asapnya mempengaruhi kualitas udara di Surabaya nggak perlu dirisaukan.

Sebenarnya nggak cuma di Surabaya, hampir seluruh pejabat di negeri ini setiap membuat kebijakan seringnya berfokus pada kesuksesan jangka pendek (selama dia menjabat saja). Lantaran perpektifnya jangka pendek, para pejabat ini umumnya akan memilih melebarkan jalan daripada pusing memikirkan transportasi umum.

Lantas, bagaimana pemerintah kita memandang tentang hunian warga? Apakah pejabat kita pernah berpikir kalau rakyatnya nggak sanggup beli rumah karena harganya selangit? Kayaknya nggak pernah, sih. Ha wong rumah selalu dianggap komoditas semata. Siapa yang mampu, dia yang boleh memiliki.

Padahal tanah yang kemudian dibangun untuk rumah adalah hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikelola pemerintah atau negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Harusnya pemerintah berperan aktif memastikan rakyatnya bisa punya rumah, bukan menyerahkan semuanya pada mekanisme pasar. Siapa yang kuat, dia yang dapat. Ha yo ngenes.

Apa dikira kesuksesan Singapura dalam membangun hunian untuk warganya karena rakyatnya mandiri, tanpa diberi bantuan baik secara kebijakan maupun dukungan finansial? Ya nggak lah. Rakyat, di mana pun negaranya, hidup sesuai dengan peraturan yang dibuat pemerintahnya. Lha wong memang negara yang punya power. Sebagai rakyat kita bisa apa sih selain mengikuti maunya pemerintah?

Sebagai rakyat jelata, saya jelas berharap Surabaya bisa semaju atau bahkan melebihi Singapura. Tapi, untuk saat ini, mengatakan Surabaya adalah Singapura-nya Indonesia rasanya kurang pas, atau lebih tepatnya maksa. Untuk menjadi semaju Singapura, masih ada banyak PR yang harus dibenahi Surabaya.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 5 Bukti Nyata kalau Surabaya Adalah Sarangnya Crazy Rich.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version