Superhero Fatigue: Ketika Film Superhero Mulai Bikin Enek

CGI Masalah Terbesar Film-film Superhero Indonesia Terminal Mojok superhero fatigue

CGI Masalah Terbesar Film-film Superhero Indonesia (Shutterstock.com)

Beberapa hari yang lalu, saya baru menonton Ant-Man and the Wasp: Quantumania di bioskop. Biasanya, hati saya selalu berbunga-bunga setelah nonton film superhero di bioskop, baik itu Marvel atau DC. Tapi entah kenapa, setelah nonton film tersebut, saya merasa biasa-biasa saja.

Setelah Googling sana-sini, yang saya rasakan tersebut juga dirasakan oleh jutaan orang lain di seluruh dunia. Fenomena tersebut dikenal dengan istilah superhero fatigue. Dapat disimpulkan, superhero fatigue terjadi ketika penggemar film merasa bosan dengan film-film superhero, sebagus apa pun film tersebut.

Saya ingat, sekitar 25 tahun yang lalu, saya sangat excited menonton film Batman and Robin, padahal film tersebut adalah film superhero terburuk sepanjang masa. Saya juga nggak henti-hentinya mengagumi peran epik Tobey Maguire di film Spider-Man garapan Sam Raimi. Gimana nggak senang coba, fantasi saya tentang cerita superhero yang biasa saya lihat di komik jadi kenyataan!

Perasaan saya kian berbunga-bunga ketika saya menyaksikan Trilogy Batman garapan Christopher Nolan, ketika Marvel Studios mempersatukan banyak superhero dan villain dalam satu semesta film yang sama, maupun ketika Zack Snyder mengadaptasi Trinitas DC, Superman, Batman dan Wonder Woman ke layar lebar.

Saya hampir selalu menonton film-film superhero tersebut di bioskop. Beberapa di antaranya bahkan sengaja saksikan pada hari pertama penayangannya biar nggak kena spoiler. Tapi sekarang? Hanya beberapa film superhero yang saya tonton secara langsung di bioskop. Saya cuma nonton sisanya di rumah saja ketika sudah tersedia di layanan streaming.

Lalu, apa yang menyebabkan kita semua mengalami superhero fatigue?

#1 Terlalu banyak film dan series superhero

Kerasa nggak sih sekarang terlalu banyak film dan series superhero yang dirilis dalam waktu berdekatan? Di awal kemunculannya, Marvel Studios hanya merilis dua atau tiga film superhero saja setiap tahunnya. Penonton dibikin penasaran dengan berbagai easter egg yang disisipkan baik pada tengah-tengah film maupun pada post-credit scene tiap film Marvel.

Sekarang? Selain merilis dua atau tiga film superhero setiap tahunnya, mereka merilis series yang melengkapi film-film yang mereka tayangkan di bioskop. Kalau nggak nonton seriesnya ya bakalan bingung ngikutin filmnya. Mau nggak mau jadi harus nonton juga. Euforianya jadi nggak terjaga sebab ya, terlalu banyak.

Baca halaman selanjutnya

#2 Kualitas cerita yang menurun

#2 Kualitas cerita yang menurun

Banyaknya film dan series superhero yang dirilis belakangan ini tidak berbanding lurus dengan kualitas penulisan storylinenya. Kita bisa lihat bagaimana perubahan karakter-karakter superhero, villain, maupun karakter pendukung lainnya yang tiba-tiba jadi aneh dan nggak sesuai pakem aslinya dalam komiknya kan? Ada yang tiba-tiba mati, ada yang tiba-tiba jadi baik, ada yang tiba-tiba jadi jahat, dan ada juga yang tiba-tiba ngilang aja gitu. Hal tersebut lumrah banget. Susah banget untuk istiqamah meneruskan semesta yang sudah dibangun sejak belasan tahun yang lalu.

#3 Film superhero yang nggak lagi istimewa

Sekitar 25 tahun yang lalu, jutaan orang di seluruh dunia dibuat kagum dengan aksi Spider-Man yang mampu berayun dari satu gedung ke gedung lainnya di New York City maupun ketika melihat Superman sanggup terbang dari satu benua ke benua lainnya dengan waktu yang sangat singkat.

Tapi di tahun 2023, adegan-adegan tersebut bisa kita sebut “biasa saja” karena kita sudah menyaksikan puluhan film superhero yang menyajikan adegan audio visual seperti itu. Belum ditambah dengan film action lainnya yang turut menyajikan adegan serupa kayak Avatar: The Way of Water atau sejenisnya, jadinya udah nggak begitu spesial. Beda dengan puluhan tahun yang lalu ketika kualitas audio visual kayak gitu masih jadi barang langka..

Dan itulah semua yang bikin kita mengalami superhero fatigue. Asupannya terlalu banyak, kualitasnya ya gitu-gitu saja. Seenak apa pun makanan, kalau kamu makan tiga kali sehari selama seminggu berturut-turut ya bakal bosan.

“Kalau gitu tinggal adaptasi aja dari komiknya atuh?”

Sayangnya, tidak semudah itu mengadaptasi cerita komik ke layar lebar. Andai semudah itu, kita udah melihat banyak film live action adaptasi manga terkenal macam, misal, Monster karya Urasawa Naoki. Padahal Monster hanya punya satu universe, bayangkan misal DC yang punya timeline yang berbeda-beda.

Mau nggak mau, para produser kudu berpikir keras untuk menciptakan sesuatu yang baru. Kalau nggak, ya makin lama makin menurun minat orang datang ke bioskop. Apalagi untuk Marvel, ngapain coba rilis film di bioskop kalau nggak sampe tiga bulan kemudian, dirilis ke Disney+?

Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA The Batman: Film Superhero kok Begini?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version