Sungguh Betapa Susahnya Stand-up Online via Zoom

Sungguh Betapa Susahnya Stand-up Online via Zoom terminal mojok.co

Sungguh Betapa Susahnya Stand-up Online via Zoom terminal mojok.co

Belum lama ini saya coba mendaftar sebuah lomba stand-up comedy. Juri dan mentornya ada Mo Sidik, Gilbhas, dan David Nurbianto—ketiga nama ini tentunya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi kelucuannya. Beberapa hari berselang, saya agak kaget saat melihat nama saya ada di daftar peserta yang lolos ke babak show (kayaknya zodiak saya lagi hoki hari itu). Jadi, nantinya ada dua belas finalis yang bakal manggung via Zoom.

Setelah awalnya cuma nonton show stand-up online sambil rebahan di kasur apek, akhirnya saya bisa mencicipi langsung pengalaman ber-stand-up comedy, walaupun cuma via Zoom. Ini adalah panggung pertama saya. Membawa materi yang ditulis sendiri, tanpa pernah dites di open mic komunitas.

Konon, panggung pertama seorang stand-up comedian itu sulitnya minta ampun, bahkan untuk nama-nama komika terkenal yang sekarang ini kita tonton di TV, penampilan pertama mereka kayaknya nggak lucu. Dan di masa pandemi, kesusahan itu bertambah karena kita dipaksa berinteraksi lewat daring.

Beberapa hal yang saya catat di bawah ini sekiranya dapat memberi Anda sedikit informasi tentang susahnya stand-up comedy online. Bisa juga menjadi rujukan sebelum ikut lomba sejenis. Tentu saja saya menulisnya berdasarkan pengalaman yang didapat dari kompetisi online yang gagal saya menangi itu.

#1 Ketawa delay

Teknologi rupanya agak memberi jarak antara punchline (bagian lucu dari sebuah joke) dan titik tawa. Respons saat kita stand-up online via Zoom memang akan sepersekian detik lebih lambat daripada tampil secara tatap muka. Dalam kasus ketawa delay, diperlukan kejelian mata untuk ngeliat apakah penonton yang berada di balik layar 16:9 itu ketawa atau nggak, materinya lucu atau nggak.

#2 Nggak bisa act out

Act out tidak akan begitu efektif saat stand-up online, apalagi untuk yang jaringannya rada lemot. Soalnya teknik yang satu ini betul-betul memerlukan totalitas buat gerak, kata Radit, “Jangan ragu, harus seratus persen.” Namun, kalau geraknya udah habis-habisan, tapi jaringannya ugal-ugalan, apa boleh buat~

Untuk kawan-kawan yang mungkin bapaknya komisaris Telkom dan bisa menjamin jaringan Internet bakal oke, boleh deh act out, mau atraksi sirkus juga dipersilahkan.

#3 Set-up panjang-panjang, eh, jaringan ngambek

Set-up merupakan bagian yang penting dalam satu kesatuan joke. Tentu saja, karena kalau nggak ada set-up maka nggak ada punchline. Namun, dalam stand-up online, bisa saja format “set-up dan punchline” berubah menjadi “set-up dan connection problem”.

Kerap terjadi, saat materi udah mau masuk ke bagian lucunya, eh layar nge-freeze, audio jelek, atau yang paling parah disconnected dari room.

Makanya banyak yang menyarankan komika yang tampil online untuk membawa jokes yang pendek-pendek, padat, dan mudah dicerna supaya penonton nggak bosan dan tidak menyesal di kemudian hari karena sudah set-up panjang-panjang, eh, jaringan tiba-tiba ngambek.

#4 Suporter barbar di meeting chat

Penonton stand-up online nggak jauh beda sama suporter bola. Kalau tembakan striker nggak masuk ke gawang mereka marah-marah. Kalau ada pemain kasar mereka protes. Kalau kiper yang blunder diteriakin.

Serangan dari suporter peserta lain sudah datang sejak nama saya di-present. “Wah jaminan lucu nih!” tulis seorang penonton di meeting chat yang muncul tepat di depan mata saya. Kalimat ini membuat kita—yang mau tampil—makin tegang karena dibebani predikat “lucu”. Beberapa peserta bahkan ada yang dikomenin, “Hmmm, agak kurang, ya.” Saat materinya nggak lucu.

Dalam sebuah ruangan Zoom kebablasan kebebasan berpendapat lewat meeting chat betul-betul dijunjung tinggi.

#5 Orang tua kaget

Nah, kali ini kejadian yang agak personal. Di rumah, saya dikenal sebagai orang yang pendiam. Jangankan ngelawak, ngomong aja saya perlu aktifin mode hemat kata. Jika melihat dari garis keturunan pun, kayaknya kakek-nenek moyang saya masuk dalam daftar orang-orang yang di tongkrongannya kurang asyik, terlalu serius, mungkin karena waspada kalau tiba-tiba ada serangan dari tentara Jepang.

Saat sibuk melatih materi di depan kaca, jelas kedua orang tua saya heran dan nyaris tidak mengenali anaknya lagi, “Loh, Dek, kamu siapa? Anak saya mana?”

BACA JUGA Punchline Dijadiin Judul Video SUCI IX Kompas TV, Menyebalkan dan Merusak Mood Penonton dan tulisan Harvest Walukow lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version