Sekali waktu saya pernah menemukan cerita lucu mengenai percakapan orang Sunda dengan bukan Sunda. Saat orang bukan Sunda sedang buru-buru pergi, si orang Sunda menyapanya, “Mau kemana? Rusuh banget” Si orang buka Sunda penuh tanda tanya dan berpikir, “Memang saya membuat keributan apa sehingga menimbulkan kerusuhan?” Ini adalah salah satu bentuk homonim yang terjadi dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda. Homonim memiliki pengertian satu kata yang memiliki ejaan dan pelafalan yang sama akan tetapi maknanya berbeda.
Jika dilihat dari kisah di atas, kata rusuh dalam Bahasa Indonesia memiliki arti tidak aman, kacau, ribut, gaduh. Sedangkan dalam Bahasa Sunda kata rusuh bermakna ‘buru-buru’. Oleh karena itu, jika ada orang Sunda ada yang mengatakan, “Saya lagi rusuh ini,” bukan berarti dia sedang membuat kekacauan atau keributan, tetapi sedang terburu-buru.
Selain kata rusuh, terdapat beberapa kata yang ada dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda tetapi maknanya berbeda, di antaranya adalah:
#1 Bumi
Semuanya mengetahui saat kata di bumi diucapkan maka yang tergambar dalam pikiran adalah planet bumi temannya mars, jupiter dan lain sebagainya. Tetapi jika kita menilik bumi dalam Bahasa Sunda, makna yang terkandung adalah ‘rumah’, bukan plane.
Oleh karena itu, jika ada orang Sunda ditanyakan sedang di mana, kemudian dia menjawab di bumi, jangan menganggapnya sedang membuat lelucon. Dia memang sedang ada di rumah.
#2 Samping
Penggunaan kata samping dalam Bahasa Indonesia adalah untuk menunjukkan arah. Namun, samping dalam Bahasa Sunda adalah ‘batik panjang’. Ya semacam sarung tetapi kedua ujungnya tidak dijahit sehingga bentuk kainnya memanjang (di Jawa disebut jarik).
Oleh karena itu, sebaiknya orang Sunda paham betul dengan penggunaan di- dengan baik. Karena jika dia menulis “di samping” berarti itu menunjukkan posisi. Kalau menulis “disamping” berarti menerangkan seseorang atau sesuatu yang menggunakan samping.
#3 Istri
Istri dalam Bahasa Indonesia bermakna pasangan dari suami sedangkan dalam Bahasa Sunda istri bisa bermakna perempuan yang bersuami atau juga perempuan secara umum, baik menikah atau tidak.
Kemudian, bagaimana cara membedakannya dalam percakapan Bahasa Sunda terdapat kata istri? Ya cuma bisa dilihat dari konteksnya saja.
#4 Najong
Kata najong tidak ditemukan dalam KBBI. Namun, kata ini dapat dikategorikan sebagai pelesetan dari kata najis dan arti yang terkandung bukanlah najis dalam hukum fikih, tetapi lebih mendekati amit-amit atau jijik. Berbeda dengan Bahasa Sunda, kata najong berarti menendang.
#5 Lega
Kata lega sering diberi arti sebagai hati yang lapang dada atau jika sudah buang hajat maka rasanya itu adalah lega. Walaupun begitu, arti lega dalam KBBI lebih dari itu. Salah satunya adalah tempat luas, makna inilah yang sering digunakan dalam Bahasa Sunda untuk kata lega.
Oleh karena itu, jika ada orang Sunda yang mengatakan, “Tempatnya lega banget,” bukan berarti tempatnya yang berlapang dada tetapi menerangkan bahwa tempatnya luas.
#6 Budak
Penggunaan kata budak dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai hamba sahaya. Tetapi, dalam Bahasa Sunda, budak dimaknai sebagai anak-anak atau orang yang sudah besar tetapi belum dewasa.
#7 Goreng
Bahasa Indonesia maupun Bahasa Sunda memiliki definisi sama untuk kata goreng yaitu memasak menggunakan minyak. Tetapi, terdapat makna tambahan untuk kata goreng dalam Bahasa Sunda, yaitu jelek. Sehingga, jika ada orang Sunda mengatakan, “Bajuna goreng,” bukan berarti bajunya digoreng pakai minyak tetapi bajunya jelek.
#8 Alus
Kebalikan dari kata goreng yang bermakna jelek, alus dalam Bahasa Sunda bermakna bagus. Sedangkan kata alus dalam Bahasa Indonesia adalah bentuk tidak baku dari halus yang berarti tidak kasar atau lembut.
#9 Amis
Jika goreng dan alus berkaitan dengan kualitas, amis dalam Bahasa Sunda berkaitan dengan rasa, yaitu manis. Sehingga tidak mengherankan jika orang Sunda mengatakan bahwa gula itu amis. Jauh berbeda dalam Bahasa Indonesia, kata amis berkaitan dengan bau-bauan, yaitu anyir.
Inilah beberapa homonim dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda yang harapannya dapat mengurangi kesalahpahaman saat berkomunikasi dengan orang-orang Sunda. Semoga bisa sedikit membantu.
Penulis: Hilma Nurlaila Azhari
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Perjalanan Sayur Leunca: Dari Obat Jadi Lalapan Khas Sunda