Suka Duka Menjadi Mahasiswa Jurusan Antropologi

antropologi mojok.co

antropologi mojok.co

Izinkan saya berbagi cerita mengenai jurusan kuliah saya yaitu antropologi, ya walaupun baru PDKT selama dua semester. Saya mendapatkan kesan betapa sulitnya menjelaskan apa itu jurusan antropologi kepada orang awam dan juga sering tertukar antara Antropologi dengan Arkeologi, Antropologi dengan Astronomi.

‘Owalah Antropologi itu yang neliti benda-benda prasejarah itu, ya?’ atau ‘Owalah Antropologi itu belajar tentang perbintangan, ya?’.

Iya memang sih ada sekilas sub-bidang dari Arkeologi yaitu mata kuliah prasejarah, tentu itu hanya secuil saja pembahasannya, tidak mendetail karena berbeda lingkup kajian. Lha kalo Astronomi, kok malah bisa njladur ke perbintangan toh, ya. Mon maap Bapak/Ibu yang salah kaprah, kita ini belajar tentang manusia, bukan belajar bintang-bintangan. Make sense sekilas karena sama-sama awalan huruf A.

Kalau persepsi orang awam saja sudah keliru sejak nama, lha gimana mau jelasin prospek jurusan, bisa-bisa dicap jurusan yang madesu.

Menjelaskan kekeliruan trio A itu tidak seberapa sulit, yang sulit itu waktu ditanya ‘Memangnya kuliah antropologi belajar apa aja?”.Nah itu baru saya setengah mampus buat jawabnya, entah memang benar-benar sulit atau saya yang suka bolos mata kuliah pengantar jadinya gagal paham.

Secara etimologis, Antropologi itu ya ilmu yang mempelajari tentang manusia. Nah loh mampus kan, karena semua ilmu sosial itu objeknya juga manusia. Kalau Psikologi ya jelas mempelajari psikologi manusia, kalau Sosiologi ya mempelajari interaksi sosial, nah kalau Antropologi mempelajari dari sisi mananya hayo? Ya semuanya, baik manusia sebagai mahluk sosial ataupun fisik manusia. Sampai ada guyonan kalau jurusan Antropologi itu nggak akan tutup selagi masih ada manusia, kalau manusia hilang di muka bumi baru jurusan Antropologi tutup.

Jadi akan lebih mudah buat saya untuk menjelaskan kalau Antropologi itu belajar tentang budaya. Walau pun itu seakan mempersempit kajian dari Antropologi tapi untuk menjawab pertanyaan dari awam secara singkat bisa menjadi pilihan.

Tapi setelah ini jangan dianggap antropologi sekadar ilmu untuk mempelajari budaya doang loh. Jadi terkesan menyempitkan ruang lingkup Antropologi, karena dewasa ini berkembang kajian Antropologi Ragawi atau Forensik yang mempelajari bentuk fisik manusia, tidak hanya mempelajari budaya. Jadi diharapkan mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai manusia dari segi fisik maupun budaya.

Selain itu, ilmu ini bisa juga dijadikan alternatif prospek kerja menjadi tim forensik bagi yang mengambil peminatan Ragawi, tapi lagi-lagi karena salah persepsi yang mengira belajar Antropologi Forensik itu sama dengan Ilmu Kedokteran atau Kesehatan. Saya sih enak-enak saja disandingkan dengan teman-teman FK, mungkin yang dari FK yang ndak terima. Bedo kasta jeh.

Jadi bagi orang awam lebih baik saya tetap jawab Antropologi belajar tentang kebudayaan, ya walaupun nanti juga bingung waktu ditanyain mau kerja jadi apa. Tapi kita hidup di Indonesia toh? gelar apapun yang penting sarjana, toh lulusan pertanian aja bisa daftar ke bank, eh.

Sebetulnya peran antropolog dalam masyarakat itu dibutuhkan, lihat saja bahkan Pak Jokowi membutuhkan peran Antropolog di era pandemik ini.

“Kemudian, pelibatan tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, sosiolog, antropolog dalam komunikasi publik harus secara besar-besaran kita libatkan.”

Tapi ya begitu, coba sebutkan Antropolog atau ahli Antropologi yang dikenal luas. Mungkin ada, tapi biasanya tidak dikenal sebagai antropolog, atau hanya dikenal dalam lingkup akademik saja. Padahal kan ilmu sosial harus memiliki dampak ke masyarakat, bagaimana bisa memiliki dampak kalau dikenal saja tidak.

Ilmu ini sebenarnya sangat dibutuhkan untuk penyelesaian banyak masalah di Indonesia. Contohnya, Saya mendengar dari dosen dan berita, sebetulnya konflik Papua itu dapat diselesaikan dengan pendekatan kultural, bukan dengan pendekatan militer.

Jadi dibutuhkan seorang antropolog untuk memahami mereka, melihat dari dalam, bukan hanya menghujat dari luar untuk mendapatkan kesepakatan. Tentu dibutuhkan seorang yang ahli, karena pembelajaran di strata satu lebih general dan tidak spesifik.

Tapi tetap saja, mau dijelaskan kek apa pun orang tetep susah ngeh dan nggak tertarik sama ilmu ini. Selain karena nggak familier, juga karena begitu lulus nggak banyak lowongan pekerjaannya. Nggak usah jurusan ini deh, jurusan macem sastra aja bakal mumet kalau ditanyain kalau lulus ntar jadi apa. Mau dijawab serius nanti nggak paham dan ngece, dijawab becandaan ujungnya tetep nggak paham dan dibilang ngece.

Jurusan tyda populer memang deritanya tiada akhir.

Sebetulnya, problem di semua jurusan hampir sama, semua ingin pendidikan setinggi-tingginya. Tapi kalau keahliannya terbentur oleh realitas minim penyerapan tenaga ahli, yang ujung ujungnya menjadi dosen atau guru ya sama aja.

Mohon maaf kalau saya terlalu idealisme, khas seperti maba-maba jurusan lainnya. Kan kita masih dalam euforia “agent of change”. Paling nanti semester 6 udah mulai mengoleksi panduan ternak lele atau gurameh. Tapi pada akhirnya saya harus realistis, perjalanan masih panjang dan yang penting lulus dulu lalu daftar jadi peenes. Yang penting mah tetep santai, seperti gelarnya, S.Ant(uy).

Hehe. Maaf.

BACA JUGA Demi Kebaikan, Sebaiknya Pedagang Jangan Menerapkan Tarif Seikhlasnya atau tulisan-tulisan Achmad Bayu Setyawan lainnya di Terminal Mojok.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version