Dua tahun terakhir menjadi era normalisasi status bapak rumah tangga. Ada banyak pembahasan tentang normalnya seorang lelaki memilih untuk ambil peran sebagai bapak rumah tangga. Keberadaan bapak rumah tangga yang empatik, bertanggungjawab pada pekerjaan domestik di rumahnya, dan tetap berperan dalam memimpin rumah tangganya pun hampir bisa mematahkan istilah mokondo. Seorang bapak rumah tangga garis lurus, otomatis akan disebut sebagai family man alih-alih lelaki mokondo.
Sayangnya, entah mengapa, normalisasi yang proporsional itu kini bergeser menjadi glorifikasi peran bapak rumah tangga.
Jadi, belakangan ini, ada media ibu kota yang kerap membuat konten tentang kisah tentang bapak-bapak yang dianggap istimewa karena bersedia “berkorban” demi pendidikan istrinya di luar negeri. Konten semacam itu makin terlihat cringe dengan backsound sebuah lagu dari Ada Band, “Yang Terbaik Bagimu ”.
Macam apa kali gitu kutengok. Memang apa hebatnya kalau ada laki-laki yang mau nyebokin, nyuapin, dan momong anak di tanah air, sementara isterinya mengambil beasiswa di luar negeri?
Begini, lho. Itu anak, ya, anaknya mereka berdua. Wajar, dong, kalau bapaknya merawat sepenuh hati di Indonesia. Sangat wajar juga kalau memutuskan LDR, mengingat tingginya biaya hidup sekeluarga yang dibutuhkan jika mereka boyongan hidup di luar negeri. Ingat, nggak semua orang bisa seberuntung Iqbal Aji Daryono yang bisa menemani isterinya study di luar negeri sambil jadi sopir dan menulis lalu jadi begawan literasi.
Jadi, pilihan untuk LDR dan menjalani hari-hari sebagai bapak rumah tangga itu sebenarnya adalah hal biasa banget yang jelas nggak perlu diglorifikasi. Saya bukan mengecilkan keberanian tidak populer yang dijalani si bapak sementara isterinya menempuh pendidikan bergengsi. Saya hanya berpikir, betapa tidak adilnya bagi kaum perempuan yang sejak zaman dulu dianggap nggak ada istimewanya momong anak saat suaminya sekolah atau dinas di kota lain.
Ironi bapak rumah tangga
Tapi, mengapa ketika hal itu dilakukan oleh seorang laki-laki, lantas kalian (saya sih nggak ikutan) memberi penghormatan yang sedemikian tinggi. Mbok ya biasa aja. Semestinya konten bapak-bapak nyuapin anak, nemeni main anak, meninabobokan anak, menyapu rumah, hingga beres-beres jemuran, adalah hal yang normal untuk sebuah pilihan menjadi bapak rumah tangga. Tak ada yang istimewa dari hal itu. Lumrah banget, selumrah manusia yang ambil napas lewat hidung dan ngupil juga dari hidung.
Perkara membangun kesadaran komunal tentang perlunya peran bapak di negara yang disebut-sebut fatherless country ini memang penting. Ya, tapi caranya jelas bukan dengan mengglorifikasi peran bapak rumah tangga. Kalo hanya membanggakan itu, bahkan sebelum zaman Ibu Kartini pun kaum ibu sudah selalu begitu, kan?
Kebutuhan hadirnya figur bapak dalam sebuah keluarga bukan tentang bagaimana mereka mengerjakan pekerjaan domestik saja. Bukan juga tentang bagaimana mereka memberi kesempatan besar buat istri meraih cita-cita. Persoalan kebutuhan kehadiran peran bapak dalam sebuah keluarga adalah tentang bagaimana bapak hadir dan menjalankan perannya sebagai bapak yang bertanggungjawab serta mampu bekerja sama dengan istrinya dalam berbagai level.
Glorifikasi pada peran bapak rumah tangga tak akan jadi solusi untuk munculnya kesadaran bahwa ibu dan bapak punya peran yang setara dalam membangun sebuah keluarga. Gawatnya, justru glorifikasi bapak rumah tangga akan mengaburkan hal yang esensial. Bahwa yang disebut kerja sama di rumah tangga, bukan soal tentang bertukar peran. Kerja sama itu tak hanya tentang bapak yang bisa mengerjakan pekerjaan domestik dan ibu yang mencari nafkah saja.
Intinya adalah kesetaraan
Lebih dari itu, kerja sama dalam sebuah rumah tangga justru membutuhkan peran proporsional dari ibu dan bapak di segala tatanan rumah tangga. Hal itu bisa kabur jika media dan konten kreator terus menerus memberi highlight bahwa bentuk kehadiran bapak hanya lewat bersedianya bapak mengerjakan pekerjaan domestik. Hal-hal yang penting justru seringnya sulit direkam. Misalnya, bagaimana komunikasi dijalin, bagaimana seorang bapak hadir penuh ketika pasangan sedang butuh dukungan. Bagaimana seorang bapak menyediakan tubuh dan pikirannya full ke anak tanpa nyambi ngonten. Serta bagaimana pendapat istri didengar sebagai pendapat yang setara dengan pendapat bapak di dalam keluarga.
Lagipula, yang pernah terjadi pada kaum perempuan, hal-hal berlebihan seperti glorifikasi peran dalam rumah tangga hanya akan menimbulkan polarisasi yang tak perlu. Misalnya, sebut saja keributan antara ibu rumah tangga vs ibu pekerja kantoran yang tiap tahun masih saja muncul. Kita nggak ingin kan ada keributan baru seperti bapak rumah tangga vs bapak pekerja UMR vs bapak pekerja SCBD. Nggilani aja gitu, ya, nggak, sih?
Mbok udah, biarkan para bapak rumah tangga menjalani perannya dengan normal. Senormal ibu-ibu dasteran yang selalu kalian labeli sebagai tukang sein kanan belok kiri itu. Biar apa? Ya, biar beneran setara.
Penulis: Butet Rachmawati Sailenta Marpaung
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Benarkah Bapak Rumah Tangga Adalah Lelaki yang Tak Berguna?