Stop Ejekan yang Mengarah ke Rasis Terhadap Bahasa Ngapak

ngapak

ngapak

Siapa yang tidak tahu bahasa banyumasan atau biasa disebut bahasa Ngapak? Bahasa ini dituturkan oleh beberapa kabupaten di sekitar Gunung Slamet antara lain: Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, Tegal, Pemalang dll.

Sadar nggak sih kalau ejekan menjurus rasisme ke bahasa ngapak belakangan ini terjadi secara sangat terstruktur, sistematis, dan masif di dunia televisi dan media sosial. Gara-gara ejekan ini, terjadi sebuah fenomena yang mana ada kecenderungan generasi muda menjadi malu untuk menuturkan bahasa ngapak karena mereka beranggapan bahasa ngapak nggak gaul, rendahan, lucu, pokoknya nggak banget lahhh.

Mulai sekarang, saya mohon sekali tolong hentikan segala bentuk ejekan yang mengarah kepada rasisme terhadap bahasa ngapak karena:

Pertama, Itu tuh nggak lucu! Mungkin buat kalian yang mendengarkan kami ngomong ngapak dengan logat khas seperti ini, menurut kalian itu lucu, tapi tolong dong, hargai kekhasan kami ini! Jangan dijadikan bahan bercandaan terus-terusan. Misal nih, jangan mentang-mentang kami ngapak, terus kami harus ngomong “nyong kencot” buat jadi bahan ketawaan kalian.

Kedua, tolong panggil temanmu dengan namanya. Jangan menyengaja memanggil dengan panggilan “nyong”, atau “kowe” kalau tujuannya untuk mengejek. Orang tua itu sudah memberi nama dengan penuh doa dan harapan, bukan buat diolok-olok kayak gitu.

Ketiga, bahasa ngapak itu bahasa Jawa Kuno, dia sudah ada jauh sebelum bahasa Jawa lain. Jadinya, nggak sopan kalau kalian malah mendiskreditkan bahasa ngapak.

Keempat, orang ngapak terkenal dengan blakasuta dan cablaka, artinya mereka itu tidak suka basa-basi. Ketika berbicara, mereka menyampaikan fakta yang apa adanya.

Kelima, kalian harus memikirkan bahwa perilaku iseng melalui ejekan yang sering mengarah kepada rasisme itu membahayakan bahasa ngapak yang sudah semakin sedikit orang yang menuturkannya. Anak-anak di perkotaan Purwokerto misalnya, mereka malu menuturkan bahasa ini. Hal ini juga diamini oleh tokoh penting Banyumas yaitu Ahmad Tohari. Beliau mengatakan begini:

“Dalam kenyataan sehari-hari keberadaan basa banyumasan termasuk dialek lokal sungguh terancam. Maka kita sungguh pantas bertanya dengan nada cemas, tinggal berapa persenkah pengguna basa banyumasan 20 tahun ke depan? Padahal, bahasa atau dialek adalah salah satu ciri utama-suatu suku bangsa. Jelasnya tanpa basa banyumasan, sesungguhnya wong penginyongan boleh dikata akan terhapus dari peta etnik bangsa ini.”

Kekhawatiran lainnya yang muncul adalah bacaan teks-teks lama Banyumasan seperti babad-babad Kamandaka, misalnya, malah lebih banyak ditulis dalam dialek Jawa wetanan. Jadi, hal yang juga penting untuk menjadi perhatian kita adalah menyediakan teks yang cukup mewakili budaya dan semangat wong penginyongan.

Saya menulis itu bukan untuk pansos atau ingin viral. Inyong kuwe wis bosen de ledeki kari agi ngomong.

Waktu lagi presentasi misalnya, padahal saya sudah berbicara pakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi karena saya masih kelihatan logat ngapaknya, jadinya malah ditertawakan karena terlihat lucu.

Mohon diperhatikan teman-teman, kita harus selalu menghargai lawan bicara kita. Termasuk jika dia punya logat khas ngapak karena ini bagian dari keragaman budaya Indonesia. Ingat, pelangi tidaklah indah jika hanya satu warna.

Kesuwun atensine dulur-dulur kabeh wis mampir lapake inyong, pangapurane bae nek ana salah penulisan sebebe nyong wong bodo sing terus sinau babagan kiye. Mayuh pada lestarikna bahasa kebanggaane dewek, nek udu dewek sapa, nek udu siki kapan maning.(*)

BACA JUGA  Gugatan Orang Ngapak yang Didiskriminasi Saat Bulan Puasa atau tulisan Amrizal Kukus lainnya. Follow Twitter Amrizal Kukus.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version