Stasiun Walikukun Ngawi yang Membuat Saya Merasa Spesial

Merasa Spesial saat Saya Naik dan Turun KA Jayakarta di Stasiun Walikukun Ngawi (Dokumen pribadi penulis).

Merasa Spesial saat Saya Naik dan Turun KA Jayakarta di Stasiun Walikukun Ngawi (Dokumen pribadi penulis).

Apakah ada penumpang setia KA Jayakarta yang akrab dengan nama Stasiun Walikukun. Atau jangan-jangan malah enggak tahu namanya sama sekali. Stasiun ini bisa dibilang “gapura selamat datang” di Kabupaten Ngawi sebelah barat, sekaligus Daop VII Madiun. Tepatnya di Kecamatan Widodaren, dua kecamatan terbarat sebelum Mantingan yang nggak punya stasiun.

KA Jayakarta yang punya tujuan Surabaya Gubeng-Pasar Senen PP ini ternyata berhenti di Stasiun Walikukun. Kalau dari arah Surabaya, KA ini berhenti pada pukul 17.38-17.40, mepet azan Magrib. Tapi, kalau dari Jakarta, KA ini sampai di sini pukul 03.41-03.43. Kalau dihitung, KA tersebut cuma mampir selama dua menit saja. Singkat sekali, ya.

Yah, saya, sih, maklum misalnya Anda nggak pernah mendengar nama Stasiun Walikukun. Pertama, letaknya di relatif pinggiran Ngawi. Kedua, stasiun ini bukan pemberhentian utama bagi KAJJ kelas tinggi mengingat stasiun ini Kelas II.

Sedikit mengenal Stasiun Walikukun

Oleh sebab itu, izinkan saya memperkenalkan kepada Anda tentang Stasiun Walikukun di Ngawi. Sebuah stasiun yang spesial untuk saya.

Jadi, Stasiun Walikukun memang bukan stasiun besar atau ramai secara okupansi di Ngawi. Pukul tiga pagi saja masih tutup. Yah, kalau dari sisi ukuran bangunan, sih, sama ya untuk semua stasiun Daop 7 Madiun yang berada di double track.

Baca halaman selanjutnya

Dulu, bangunan stasiun ini kecil banget…
Dulu, bangunannya kecil banget. Ternyata, menurut heritage.kai.id, Stasiun Walikukun yang dulunya berstatus halte dibuka bersamaan dengan diresmikannya Jalur/Stasiun Paron-Sragen pada 1 Maret 1884. Jalur Paron sendiri sekarang kita kenal sebagai Stasiun Ngawi. 

Bangunannya dulu sederhana dengan tiga jalur. Waktu single track, jalurnya itu mepet dengan stasiun. Lha wong sampai keramik lantainya pecah karena getaran KA.

Seiring pembangunan double track yang selesai pada 2019, stasiun ini dirobohkan untuk pembangunan Jalur 4. Bersamaan dengan proyek tersebut, bangunan baru di seberang (selatan), ikut dibangun. Ukurannya lebih besar dari bekas Stasiun Walikukun yang lama.

Dulu, di sekitar stasiun ada pohon bambu yang disusun rapi, seolah memagari sisi seberang. Kesan syahdu pun terasa, beberapa orang mengaguminya karena mirip stasiun-stasiun kecil di Eropa. Sekarang, tanaman tersebut hilang dan berganti menjadi bangunan.

Stasiun Walikukun yang membuat saya merasa spesial di Ngawi

Waktu naik dan turun dari KA Jayakarta di Stasiun Walikukun ini, saya seolah merasa “spesial” di Ngawi. Bayangkan, yang jadi penumpang KA tersebut di stasiun ini cuma saya. Nggak ada orang lain yang naik atau turun, entah dari arah Surabaya atau Jakarta.

Kalau saya analisis, rata-rata penumpang KA Jayakarta naik dan turun di stasiun-stasiun besar, seperti Mojokerto, Kertosono, Madiun, atau Ngawi. Stasiun Walikukun di Ngawi nggak terlalu terkenal, padahal bangunan stasiunnya relatif besar.

Saya sering curiga sendiri. Jangan-jangan, kalau nggak ada saya, KA Jayabaya nggak akan berangkat dan mengakhiri perjalanan di sini. Seolah-olah Stasiun Walikukun itu milik saya sendiri, sementara kereta apinya adalah kendaraan pribadi.

Waktu berhentinya memang cuma dua menit. Namun, saya nggak mau terburu-buru untuk keluar atau masuk rangkaian KA Jayakarta. Biar ada rasa ditunggu kayak orang penting gitu hahaha. Begitulah, ketika saya merasa paling spesial di Ngawi.

Penulis: Mohammad Faiz Attoriq

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Panduan Mengenalkan Kabupaten Ngawi pada Masyarakat Awam

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version