Hidup kita yang semakin hari semakin berat ini memang kudu diimbangi dengan yang segar-segar. Salah satu caranya ya tertawa. Tertawa yang kelihatannya ringan ini butuh pemantik. Pemantik semacam tontonan komedi, contohnya.
Kalau sekarang mungkin kita banyak disuguhi tontonan (yang menurut pembuatnya) lucu padahal isinya hanya setting-an atau bahkan nge-prank orang sampai nangis. Bagi saya sih itu tidak lucu sama sekali.
Bicara soal tontonan komedi, adakah yang ingat dengan Srimulat? Ya, Srimulat adalah grup lawak terbesar yang pernah ada di Indonesia. Kenapa bisa disebut terbesar? Karena anggotanya banyak sekali dan terus menerus ada regenerasi.
Srimulat didirikan di Solo kisaran tahun 1950 oleh pasangan suami istri Raden Ayu Srimulat dan Teguh Slamet Rahardjo dengan nama awal Gema Malam Srimulat. Awalnya memang grup ini memang menampilkan seni suara dan tari sebelum akhirnya mulai mencoba mengenalkan lawakan lewat lakon-lakon yang diambil dari tokoh dagelan Mataram. Grup ini mementaskan keahlian mereka dari Jawa Tengah sampai ke Jawa Timur.
Srimulat jadi lebih dikenal setelah sering muncul di televisi sejak pertengahan tahun 80-an. Semakin lama, grup ini semakin berjaya. Regenerasi Srimulat sukses melahirkan tokoh-tokoh legenda komedi seperti Gepeng, Timbul, Asmuni, Basuki, Gogon, sampai Tarzan dan Nunung.
Lawakan mereka bisa dipastikan menggunakan bahasa Jawa hampir separuhnya. Tapi kita tidak perlu mengerti bahasa Jawa untuk memahami apa yang mereka sampaikan. Kenapa? Karena tubuh mereka juga berbicara. Gestur tubuh mereka menyatu dengan lakon yang mereka mainkan. Dan kita sudah bisa tertawa melihat itu semua.
Kita bisa tertawa sampai rahang pegal hanya dengan melihat Gogon melipat tangannya di depan badan dengan gerakan kepala yang lucu plus rambut kuncung yang identik. Kita pasti tertawa melihat Asmuni yang wajahnya kalem dihias dengan kumis seuprit tapi kalau ngomong nyelekitnya minta ampun. (Masih ingat dengan kalimat ‘Hil yang Mustahal’ kan?)
Lalu apa yang menjadikan grup tersebut begitu spesial di mata kita?
Akting yang natural
Setiap orang mendalami karakter yang mereka lakonkan dengan sungguh-sungguh. Tanpa setting-an, tanpa akting kagok aneh yang dipaksakan menjadi lucu. Saat melakonkan raja, contohnya. Para komedian Srimulat ini akan berpakaian lengkap ala kerajaan plus sikap tubuh yang memang menunjukkan mereka itu seorang raja. Mereka akan ngomong dalam bahasa yang halus dan tertata rapi. Mereka totalitas menghibur.
Setiap orang punya ciri khas karakter masing-masing
Timbul dan Asmuni punya kumis seuprit yang bentuknya saja sudah bikin senyum-senyum. Gogon hadir dengan rambut kuncungnya yang selamanya akan kita kenang dengan nama ‘Rambut Gogon’. Nunung adalah perempuan kemayu, endhel, lemes. Nurbaut (eh, Nurbuat) dan Rohana adalah pasangan suami istri yang juga tak kalah lucunya. Tarzan punya suara yang gagah dan menggema. Mamiek Prakoso tampil dengan rambut yang diberi warna di bagian kiri dan kanannya sehingga dikenal dengan Mamiek Podang (karena mirip tampilan burung Podang). Tessy yang sering muncul dengan dandanan perempuan dan segebyok cincin akik di jari tangan, dan masih banyak lagi. Mereka tidak memaksakan sebuah karakter, mereka hadir dengan karakter mereka sendiri. Tanpa mereka bicara saja kita sudah bisa tertawa sampai mulas. Karena itulah mereka jadi lebih pure di mata kita.
Cinta seni dan budaya
Mereka bukan hanya hidup dari seni, tapi mereka hidup untuk seni itu sendiri. Ketika unsur seni dan budaya ini mereka kawinkan dengan komedi tentu akan bisa diterima oleh masyarakat. Siapa yang tak akan suka melihat seorang komedian yang juga pintar menari tarian tradisional? Siapa yang tak akan menikmati sajian humor yang membawa cerita sejarah atau budaya masyarakat di dalamnya? Semua suka. Rasa cinta mereka inilah yang saya kira memancar dengan jelas setiap kali mereka naik ke atas panggung. Dan tersampaikan ke hati penontonnya dengan baik sekali. Bisa juga dibilang ini rasa cinta ini yang mereka turunkan ke generasi-generasi selanjutnya. Tak sedikit dari mereka memang mewarisi ‘tahta’ Srimulat ini dari orangtua masing-masing.
Materi bukan tujuan utama
Tak bisa dimungkiri, beberapa nama seniman Srimulat hidupnya biasa-biasa saja. Mereka mungkin memang butuh uang untuk hidup, mereka juga dapat uang dari setiap penampilan mereka. Tapi inti dari semuanya adalah berusaha melestarikan budaya. Tak apa dapat materi sedikit asalkan apa yang mereka sampaikan dalam bentuk kesenian bisa diterima.
Kalau kita sempat mengikuti kabar tentang vakumnya pentas Srimulat di Taman Hiburan Rakyat Surabaya, kita akan mengerti bahwa betapapun sudah sedikit yang datang menonton, dan bagaimana mereka akhirnya tergusur tapi mereka masih gigih tampil, masih menyiapkan segala sesuatunya dengan baik demi totalitas pada seni dan komedi, bukan cuan.
Berkomedi untuk komedi itu sendiri
Komedi ala Srimulat yang selalu dibungkus dengan seni ini tidak terpaku pada banyaknya penonton, rating televisi atau bahkan honor. Komedi yang mereka sampaikan pun bukan komedi ecek-ecek. Setiap personel Srimulat adalah jenius di bidang komedi dan seni. Lawakan mereka nggak akan basi ditelan zaman. Bahkan yang paling receh sekali pun, seperti jari yang mencolok ke mata atau guyonan semacam “Aku nggak bisa menyebut nama…” padahal ya ternyata bisa disebutkan toh. Lawakan-lawakan ini bahkan dikenal punya nama sendiri yaitu ‘Srimulatan’. Setiap ada orang yang melakukannya, secara otomatis kita akan ingat dengan Srimulat.
Dari kelima hal ini plus personality setiap individunya saya rasa pantaslah kalau Srimulat didaulat menjadi kiblat komedi tanah air. Metode seni berkomedi yang patut ditiru oleh komedian-komedian baru atau juga karbitan yang banyak muncul sekarang. Melahirkan cara melawak yang baru boleh. Silakan berinovasi tapi bila jadinya tidak lucu, tidak murni, dan melakukannya bukan karena cinta saya tidak yakin yang nonton bakalan bisa tertawa.
BACA JUGA Inilah Resep Rahasia untuk Menembus Mojok.Co dan tulisan Dini N. Rizeki lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.