Jambi dan Solo punya cara berbeda dalam penyajian. Di Jambi, soto disajikan secara terpisah. Masalahnya, di Solo, kebanyakan, penyajiannya dicampur
Kampus sudah bergeliat, kuliah tak lagi luring, artinya, semua mahasiswa yang menempel kasur rumah masing-masing harus segera balik ke perantauan, tak terkecuali saya. Segera meluncur dari Jambi menuju Solo, tempat saya berkuliah. Dan saya pun akhirnya merasakan apa yang perantau pasti rasakan: culture shock gegara kuliner.
Setibanya di Solo, saya kepikiran untuk makan soto. Dinginnya sikapmu gini, mungkin bisa diobati dengan makan soto. Pikir saya waktu itu. Saya nggak tahu kalau keputusan tersebut akan bikin saya mengenal penyajian soto yang berbeda dari yang selama ini saya lihat.
Jambi dan Solo punya cara berbeda dalam penyajian soto. Di Jambi, soto disajikan secara terpisah. Nasi sendiri, soto sendiri. Jadi makannya ya mirip sup gitu. Masih bingung? Masak begini aja bingung.
Masalahnya, di Solo, kebanyakan, soto dan nasi dicampur. Bisa dipisah, tapi harus request dulu. Sebagai orang Jambi, ini masalah serius buat saya. Soto kok dicampur nasi, gimana dah?
Saat memesan, firasat saya sudah tidak enak. Saat melihat pelayan toko mengambil sebuah mangkok, mengisinya nasi, ayam, kerupuk, bawang goreng, tauge, kemudian disiram kuah. Firasat saya benar. Yang muncul di hadapan saya berikutnya adalah sebuah mangkok berisikan nasi yang telah tercampur dengan soto.
Sebelumnya izinkan saya menghaturkan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Kota Solo. Tidak ada niat menjelek-jelekkan, suwer. Saya cuman heran aja nih serius. Ya mirip lah perasaan kalian waktu pesen teh kampul di Jogja.
Jika boleh agak berlebihan, saya merasa rada jijik ketika pertama kali melihatnya. Butiran nasi-nasi yang berenang-renang, suwiran ayam yang ke mana-mana, dan bawang goreng yang sudah layu. Ungkapan “penampilan itu tidak penting” saya rasa tidak sepenuhnya berlaku di situasi saat itu.
Maka dengan ikhlas dan tabah saya lahap soto itu. Ya secara rasa sih standar saja buat saya, rasa soto yang sebenar-benarnya. Enak-enak saja. Di luar dugaan saya, rasa soto yang bercampur nasi itu lumayan menyatu meskipun saya tidak berani menatapnya. Yang saya lakukan cuma menyuap ke mulut dan mengunyah.
Setelah saya pikir ulang, agaknya ada juga sisi positif dari soto yang telah dicampur dengan nasi ini. Pertama, sudah pasti karena kultur budaya masyarakat Solo. Mungkin untuk mereka makan soto campur nasi itu adalah padanan terbaik, sedangkan buat saya, itu adalah sebuah kenistaan.
Kedua, dari sisi modal tenaga menurut saya soto campur nasi juga lebih hemat. Para penjaga atau pemilik warung tidak perlu mengeluarkan banyak modal uang untuk membeli piring terpisah buat nasi. Secara tenaga pun juga singkat. Cukup cuci saja mangkoknya, kelar deh. Tidak usah mencuci mangkok dan piring kayak di tempat saya.
Kalau saya berkaca dari kebiasaan para penjual soto di Jambi, tentunya berbeda. Piring terpisah memberikan kesan estetika tersendiri ketika kita memakannya. Selama 19 tahun hidup, saya juga belum pernah menemukan ada orang Jambi yang menuangkan seluruh nasinya ke soto. Pasti dicampur ke piring nasi.
Tapi, sesuai ungkapan peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ lanjit dijunjung”, maka itulah hal yang harus saya coba terima di sini. Toh ternyata rasanya enak-enak saja.
Yang jelas, mazhab kuliner nggak perlu diperdebatkan. Solo dan Jambi, punya pendapat yang berbeda tentang soto. Semua punya selera yang berbeda, dan itu tak mengapa. Yang penting satu, habis makan yo bayar. Semua pasti sepakat akan hal itu.
Penulis: M. Guntur Rahardjo
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kota Solo, Sebaik-baiknya Kota untuk Menetap