Beberapa hari yang lalu sempat heboh kasus kecelakaan lalu lintas di gerbang Tol Halim. Tersangkanya adalah seorang sopir truk yang masih berusia 18 tahun. Hingga saat ini masih belum jelas motifnya. Namun, dari apa yang saya tonton di YouTube, tersangka mengaku ada orang lain yang iseng terhadap dirinya. Orang itu mencopot tali gas sehingga truk melaju nggak beraturan.
Saya nggak bisa menilai kebenaran perkataannya, saya nggak paham otomotif. Namun, saya ingin membahas soal tersangka yang ternyata tidak memiliki SIM. Saya nggak habis pikir, bisa-bisanya seseorang mengemudikan kendaraan sebesar itu tanpa surat izin. Sungguh ngawur.
Saya yakin, di luar sana ada banyak sopir truk atau kendaraan besar lain yang tidak mengantongi SIM. Surat izin mengemudi yang saya maksud di sini yang beneran ya, bukan yang menembak atau lewat jalan pintas lain. Nggak heran banyak sopir truk atau kendaraan besar lain yang ugal-ugalan di jalan. Saya sendiri pernah menyaksikan truk-truk adu balap di jalanan. Benar-benar membahayakan. Saya kemudian langsung mlipir ke bahu jalan daripada harus celaka daripada ulah mereka.
Sopir truk dan kendaraan besar lain adalah makhluk paling berbahaya, bikin trauma
Jujur saja, menyimak pemberitaan sopir truk ugal-ugalan mengorek kembali memori pahit di masa lalu. Saya punya trauma terhadap kendaraan besar. Saat duduk di kelas 6 SD, badan saya pernah tertabrak oleh bus pengangkut karyawan pabrik. Bayangkan kendaraan sebesar itu melindas badan saya yang masih mungil.
Sedihnya, bertahun-tahun telah berlalu dan kondisi jalanan masih sama berbahayanya. Itu mengapa, ketika tumbuh dewasa, saya cenderung mengambil jarak terhadap kendaraan-kendaraan besar. Selain memang tampak berbahaya, memori pahit di masa lalu seolah selalu memperingatkan untuk waspada. Pokoknya kalau saya berada di belakang truk atau bus, saya memilih mengurangi kecepatan agar jarak semakin jauh. Sementara, kalau saya berada di depan truk/bus, saya memilih untuk menambah laju kecepatan.
Menelusuri akar permalasahan
Menurut saya sopir truk ugal-ugalan karena mereka tidak memahami dan menaati aturan di jalanan. Bagaimana bisa memahami dan menaati kalau SIM diperoleh dengan cara curang. Lebih dari itu, pihak berwajib seolah nggak ada hukuman tegas terhadap para pengemudi yang melakukan tindak kecurangan itu
Kalau mau menariknya lebih jauh, saya rasa truk atau kendaraan lain yang ugal-ugalan adalah cerminan sistem pendidikan kita yang bobrok. Saya pernah menonton podcast dokter Ryu Hasan, beliau mengatakan, memahami aturan bersama adalah tujuan utama dari sekolah. Kalau kalian sudah sekolah dari SD hingga SMA atau bahkan sarjana, tapi masih melanggar aturan lalu lintas, berarti proses pendidikannya gagal. Sekolah gagal mengajarkan aturan sosial bersama.
Contohlah negara-negara maju seperti Jepang. Sejak TK mereka sudah diajarkan untuk memahami aturan lalu lintas. Sekolah-sekolah di Jepang benar-benar menanamkan ketertiban lalu lintas sebagai nilai hidup. Nggak heran, ketika sudah dewasa, mereka memahami aturan di jalanan.
Terlepas dari itu, nasi sudah menjadi bubur. Sistem di Indonesia sudah terlanjur bobrok, baik untuk mendapatkan SIM maupun untuk menekankan pentingnya berlalu lintas secara aman. Saya rasa apa yang bisa dilakukan sekarang atau saat ini hanyalah berkendara lebih hati-hati. Apalagi kalau berbagai jalan dengan sopir truk atau bus.
Penulis: Diaz Robigo
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Pengalaman Pertama Menjadi Sopir Truk: Siap Tua di Jalan hingga Keluar Uang Makan yang Nggak Ngotak
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.