Sudah genap sepekan, masa perkuliahan berlangsung di Universitas Negeri Malang (UM). Dan, sudah selama itu pulalah, Smart Gate System (SGS) telah merecoki kehidupan perkuliahan ribuan mahasiswa, Merecoki dengan cara yang sangat menyebalkan.
Bagaimana tidak, kehadiran portal ini tidak pernah benar-benar diinginkan oleh banyak pihak di UM Malang. Selain itu, alih-alih secara signifikan dapat menanggulangi kasus kehilangan barang berharga, smart gate ini bikin mahasiswa kerepotan. Mereka sudah repot duluan sebelum menuntut ilmu di ruang-ruang kelas.
Demi mendapat gambaran yang lebih jelas, sini, biar saya ceritakan dari kacamata mahasiswa UM Malang yang memang niat menuntut ilmu itu!
Ketidaksiapan yang sudah tertebak sejak awal
Sejak awal desas-desus soal SGS ini seliweran di UM Malang, saya sudah menolak keras ide tersebut. Soalnya, sulit sekali dibayangkan, sebuah tempat umum sekaliber kampus milik negara tega menarik pajak wajib bagi setiap pengunjung yang datang ke sana.
Dalih untuk menjaga keamanan, juga terasa seperti alasan yang dipaksakan. Lantaran, kita tahu, kalau untuk keamanan, mestinya kebijakan ini langsung dibarengi dengan hilangnya jalanan yang remang atau area minim pengawasan di sekitar kampus, dong. Nyatanya, tidak juga, kan?
Belum lagi perihal kesiapan dari penjaga keamanan kampus juga. Tentu, saya tidak sedang menyudutkan bapak-bapak satpam yang sudah berjibaku dalam mencegah berulangnya kasus kehilangan helm atau barang berharga lainnya di kampus.
Akan tetapi, tidak bisa dimungkiri, kalau jumlah mahasiswa UM Malang per hari ini itu ada banyak sekali. Bahkan, data yang saya temukan, Pak Rektor pernah secara terang menyebut, telah membuka kuota maba di tahun ini, sebanyak 12 ribu mahasiswa!
Sekarang bayangkan kalau belasan ribu anak orang yang masing-masing bawa motor itu, harus berebut tempat dengan belasan ribu mahasiswa dari angkatan sebelum-sebelumnya, plus masih ada ribuan tenaga pendidik dan dosen, serta ibu-ibu kantin yang sedang membawa dagangannya, untuk masuk UM Malang hanya dari 4 gerbang utama, tok. Bener-bener empat!
Apa nggak chaos itu? Yaa, jelas chaos, lah. Terus solusinya? Nah, justru itu masalahnya!
Antrean masuk UM Malang panjang yang mengular
Tidak hanya sekali-dua kali, saya mendapati antrean panjang dari mahasiswa yang sedang berjuang hanya demi bisa masuk kampus nomor 2 di Malang ini. Sebagai gambaran, bagi mahasiswa yang sudah mendaftarkan pelat nomor kendaraannya, sebetulnya bisa memasuki area kampus dengan mudah. Sekali pindai, kamera pengawas di dekat gerbang akan langsung mengenali nopol tersebut, dan membuka portal yang ada.
Begitu pun bagi mahasiswa yang kebetulan mengendarai kendaraan yang berbeda dengan yang didaftarkan nopolnya di web. Mereka tetap bisa masuk tanpa biaya, asal berkenan menempelkan kartu tanda mahasiswanya, ke area yang sudah disediakan, agar portal bisa otomatis terbuka.
Akan tetapi, proses yang singkat itu, kalau dijalani oleh ribuan orang kan, tetep bikin macet juga, kan?
Portal gerbang yang tidak konsisten
Alhasil, saya sering sekali menangkap momen di mana portal-portal UM Malang yang sudah dibangun mahal itu mendadak tidak digunakan. Atas nama mengurai kemacetan, gerbang sering tidak difungsikan. Tiba-tiba saja, sesampainya di depan gerbang, saya langsung disambut oleh portal yang sudah terbuka lebar. Saya tidak perlu tempel KTM ataupun pemindaian nopol kendaraan.
Tentu menyenangkan, kalau saya tidak perlu bermacet-macet hanya demi masuk kampus. Tapi kalau begini caranya, kan mending nggak perlu ada SGS itu.
Buat apa coba, udah repot-repot bikin rencana, menutup telinga dari kritik, bikin uji coba, tapi pas pelaksanaannya kayak begini. Jadi kerasa kontradiktif gitu. Kampus, yang identik sebagai ruang akademis dan tempatnya orang-orang terdidik pada ngumpul, justru sekarang malah memberi ruang seluas-luasnya buat sistem yang tidak jelas sekaliber SGS. Duh! Bahkan, kalau saya boleh usul, rasa-rasanya huruf S yang ada di SGS itu cocoknya bukan buat smart, tapi sialan aja!
Memaksa mahasiswa UM Malang mengatur strategi
Melihat kondisi SGS UM Malang, mahasiswa mau tidak mau memutar otak. Saya yakin tidak sedikit mahasiswa yang kemudian memilih langsung masuk kampus tanpa hambatan via gerbang Ambarawa saja, daripada harus antre panjang kalau masuk di gerbang Jalan Semarang.
Pun tidak menutup kemungkinan, orang-orang lain, yang sedari awal dicurigai akan mengambil helm mahasiswa ini, akan mengakses gerbang yang sama dengan mudah. Hadehh. Kalau gini ceritanya, kan udah terbukti nggak guna ya. Aduhh. Saya bener-bener nggak tahu harus ngomong apa lagi, deh. Susah banget rasanya untuk nyari umpatan yang masih terbaca sopan kalau sampai tulisan ini nyampe ke Graha Rektorat.
Tapi, apapun itu yang jelas, saya tidak berbangga ketika tebakan saya kini terwujud nyata. Yang ada saya malah miris. Kok bisa petinggi-petinggi di UM, lebih berkenan menyia-nyiakan duit cuma buat gerbang nggak guna, ketimbang buat renovasi gedung-gedung yang keliatan udah nggak terawat aja.
Kan lumayan, selain bisa menunjang kegiatan perkuliahan dengan lebih nyaman bagi mahasiswa, juga setidaknya, saya tidak perlu misuh-misuh setiap mau masuk area kampus.
Penulis: Ahmad Fahrizal Ilham
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















