Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Berita

Slowbalisation: Mematahkan Mitos Paling Cepat Adalah yang Terbaik

Dani Alifian oleh Dani Alifian
29 Desember 2019
A A
Slowbalisation: Mematahkan Mitos Paling Cepat Adalah yang Terbaik
Share on FacebookShare on Twitter

Ramainya sebutan untuk zaman yang serba cepat ini, mulai dari Revolusi Industri 4.0, Society 5.0 terkadang membuat saya kebingungan. Maklum, saat ini semua dituntut menjadi serba cepat, hingga terkadang lupa untuk memikirkan apa-apa sebenarnya yang telah dilakukan. Stigma yang tercepat adalah yang terbaik dijadikan komoditas harian, padahal tidak selalu demikian.

Hadirlah istilah baru yang disebut dengan slowbalisation. Awalnya, saya yang kepo mendengar istilah tersebut mencari tahu lewat mbah Google. Ternyata, kata slowbalisation lahir dari kondisi kecepatan integrasi ekonomi di seluruh dunia yang sebagian mulai diperlamban. Reaksi tersebut muncul pada 2015 oleh Adjied Bakas seorang pengamat tren Belanda. Kebutuhan akan slowbalisation tidak hanya dirasakan oleh dunia industri, tapi juga sektor kebudayaan yang telah terdampak virus percepatan.

Slowbalisation saya rasa tidak hanya berlaku untuk mengurangi integrasi ekonomi. Mengingat, semua-muanya selalu digembar-gemborkan masalah 4.0. Padahal kenyataanya Indonesia belum selesai pada tahapan 2.0 mengenai melek literasi. Buat apa terburu-buru jika pada ending-nya tidak menghasilkan apa-apa?

Senada dengan konsep ini, budayawan Seno Gumira Adjidarma pada perayaan Dewan Kesenian Jakarta ke 51 di Taman Izmail Marzuki, menyampaikan sebuah pidato kebudayaan. “Dalam gembar-gembor kenyinyiran 4.0, terkesan betapa apa yang berlangsung dalam dunia industri telah dengan sendirinya menjadi gejala kebudayaan, yang memang tidaklah keliru, tetapi yang dalam pendapat saya tidak harus selalu secara harfiah bermakna adu kecepatan—dan perihal kecepatan, manusia cukup sering tenggelam dalam mitos bahwa pencapaian terbaik adalah menjadi yang tercepat,” ungkap Seno Gumira.

Seno lalu melogikan pendapatnya dengan bercerita siput dan kancil. Siput, binatang yang dikenal begitu lambat. Pasalnya, ketika kancil bertanya posisinya, siput yang di depannya selalu menjawab. Kita tahu jumlah siput itu bukan hanya banyak, melainkan tak terhingga. Sehingga praktis sebenarnya siput tersebut tidak perlu bergerak sama sekali.

Hal itu berarti yang lemah seperti siput tidak selalu bisa dianggap kalah begitu saja. “Dalam falsafah dini untuk kanak-kanak, ini bermakna otak mengalahkan otot; dalam fisika, waktu yang melesat pun tidak akan pernah melampaui ruang; dalam wacana kritis: yang lemah itu tidak selalu harus dianggap sebagai yang kalah,” ungkap penyair berperawakan gondrong tersebut saat menyampaikan pidato kebudayaan.

Beberapa hari sebelum itu, saat saya mendatangi acara bertajuk diskusi budaya. Seorang dosen sekaligus motivator bernama Dr Akhmad Tabrani juga menyampaikan terkait slowbalisation. Beliau memaknai hal tersebut sebagai sebuah pelambatan atas segala pacuan yang terjadi. Bagi beliau tidak selama yang tercepat adalah yang terbaik. Justru, kecepatan terkadang dapat membuat seseorang terburu-buru sehingga apa yang dihasilkan tidak maksimal.

Masih lekat hingga kini, anggapan yang tercepat adalah yang terbaik. Misalnya mahasiswa semester tua yang kuliahnya tidak kunjung usai acap mendapat hujam sorotan dari berbagai pihak. Tidak hanya pihak kampus atau orang terdekat, bahkan orang yang baru kenal saja bisa beranggapan kurang baik dengan pengendapan semester.

Baca Juga:

Sampai Kapan Nongkrong di Warung Kopi Dianggap Pengangguran?

Nikmat dan Ancaman Hidup di Era Unicorn

Padahal, dibalik keterlambatan tersebut bisa jadi ada hal positif lainnya yang tengah dikejar. Sebab lulus di waktu yang tepat, akan lebih baik dibanding lulus tepat waktu tanpa adanya orientasi masa depan yang jelas. Misteri dunia perkuliahan yang sesungguhnya akan terjadi setelah ia lulus dari jenjang sarjana. Mahasiswa yang mengendapkan semester bisa saja memiliki tujuan lain, yaitu untuk mengasah hidup sehingga saat lulus telah benar benar siap untuk berbagai kemungkinan.

Sedikit berbeda pandangan dengan kedua orang yang telah saya sebut, Agus Sunyoto pakar sejarawan NU, menjawab pertanyaan saya saat berjumpa pada sebuah acara seminar. Beliau menyampaikan yang terpenting saat ini ialah kembali pada intuisi. Bagaimana merasa akan sesuatu yang dilakukannya, dan tidak sebatas mengerjakan sesuatu yang dikerjakan.

Penafsiran saya, dalam kapasitasnya sebagai seorang sejarawan, Beliau hendak memberikan pandangan bahwa pada masa lalu orang melakukan berbagai hal atas dasar pemahaman komprehensif, bukan hanya mengacu pada kecepatan atau perburuan deadline yang terkadang justru menjerumuskan.

BACA JUGA Seni Hidup Selo atau tulisan Dani Alifian lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 9 Maret 2022 oleh

Tags: revolusi industriselowSlowbalisation
Dani Alifian

Dani Alifian

ArtikelTerkait

revolusi industri 5.0

Revolusi Industri 5.0: Apakah Kemanusiaan Kita Akan Kalah dengan Robot?

30 Juli 2019
unicorn

Nikmat dan Ancaman Hidup di Era Unicorn

28 Agustus 2019
selow

Melihat Ke-selow-an Kaesang sebagai Kunci Mendinginkan Panasnya Medsos

21 Juli 2019
Sampai Kapan Nogkrong di Warung Kopi Dianggap Pengangguran?

Sampai Kapan Nongkrong di Warung Kopi Dianggap Pengangguran?

1 Desember 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Perbaikan Jalan di Lamongan Selatan Memang Layak Diapresiasi, tapi Jangan Selebrasi Dulu, Wahai Pemerintah Daerah!

Perbaikan Jalan di Lamongan Selatan Memang Layak Diapresiasi, tapi Jangan Selebrasi Dulu, Wahai Pemerintah Daerah!

13 Desember 2025
Dilema Warga Gondangrejo: Mengaku Orang Karanganyar, Jauhnya Kebangetan. Mengaku Orang Solo, KTP Nggak Setuju

Dilema Warga Gondangrejo: Mengaku Orang Karanganyar, Jauhnya Kebangetan. Mengaku Orang Solo, KTP Nggak Setuju

13 Desember 2025
4 Kasta Tertinggi Varian Rasa Brownies Amanda yang Nggak Bikin Kecewa Mojok.co

4 Kasta Tertinggi Varian Rasa Brownies Amanda yang Nggak Bikin Kecewa

11 Desember 2025
Kalau Mau Menua dengan Tenang Jangan Nekat ke Malang, Menetaplah di Pasuruan!

Kalau Mau Menua dengan Tenang Jangan Nekat ke Malang, Menetaplah di Pasuruan!

15 Desember 2025
Alasan Orang Jepara Malas Liburan di Daerah Sendiri dan Memilih Plesir ke Kudus Mojok.co

Alasan Orang Jepara Malas Liburan di Daerah Sendiri dan Memilih Plesir ke Kudus

10 Desember 2025
Nestapa Perantau di Kota Malang, Tiap Hari Cemas karena Banjir yang Kian Ganas Mojok.co

Nestapa Perantau di Kota Malang, Tiap Hari Cemas karena Banjir yang Kian Ganas

13 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya
  • Pilu di Balik Atraksi Topeng Monyet Ekor Panjang, Hari-hari Diburu, Disiksa, hingga Terancam Punah
  • Borobudur Moon Hadirkan Indonesia Keroncong Festival 2025, Rayakan Serenade Nusantara di Candi Borobudur
  • Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua
  • Pilih Tidak Menikah demi Fokus Bahagiakan Orang Tua, Justru Merasa Hidup Lebih Lega dan Tak Punya Beban
  • Pengalaman Saya Tinggal Selama 6 Bulan di Pulau Bawean: Pulau Indah yang Warganya Terpaksa Mandiri karena Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.