Namanya Quarter Life Crisis kalau di translate ke Bahasa Indonesia jadi krisis sepertempat abad, istilah ini sebelumnya tidak terlalu sering kita dengar tapi akhir-akhir ini lumayan santer dibahas di media-media mainstream hingga sosial media. Dari pembahasan yang mendalam oleh ahli kejiwaan hingga sambatan dalam thread twitter. Saya juga menyadari kalau saya mengalami krisis ini, terutama krisis dalam hal keuangan.
Perasaan minder, bingung, insecure atau sering membanding-bandingkan diri dengan orang lain jadi salah satu ciri-ciri Quarter Life Crisis. Mudahnya begini, saya melihat teman saya dapat pacar baru, pacarnya ganteng dan tajir kemudian saya mulai membandingkan dengan hidup saya yang gini-gini aja, tidak ada kemajuan yang berarti. Boro-boro punya pacar, ngedeketin cowok aja dia langsung kabur. Itu baru satu aspek, pasangan. Belum aspek-aspek lainnya seperti karir, keuangan, ketenaran dan lain sebagainya.
Quarter Life Crisis menurut penelitian yang dilakukan oleh First Direct Bank terhadap 2.000 millenial di Inggris ditandai dengan perasaan panik, penuh tekanan, insecure dan tidak bermakna. Ada dua unsur yang dapat mempengaruhi munculnya fase ini yaitu unsur internal yang lebih bersumber pada kebingungan kita dalam mengambil langkah selanjutnya dalam hidup dan unsur eksternal ini dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan sosial budaya disekitar kita, misalnya orang tua kita mendesak segera dapat kerja kemudian mereka membandingkan kita dengan anak tetangga yang sudah jadi pengusaha sukses tanpa membebani orang tua blablabala. Manusia pada dasarnya tidak mau dibandingkan, tuntutan ini itu dari sekeliling kita yang akhirnya menaruh kita di tengah krisis ini.
Ini pendapat saya mengenai Quarter Life Crisis. Dari sisi internal, kita tidak dapat membingungkan sesuatu tanpa adanya yang memancing kita untuk bingung. Pertimbangan-pertimbangan ini selalu datang dari luar, misalnya kita ingin melanjutkan kuliah di jenjang yang lebih tinggi tapi orang tua menuntut kita menikah dulu, punya anak, mengurus anak dan lain sebagainya. Faktor eksternal menurut saya lebih berperan besar dalam berkembangnya krisis ini yang katanya banyak menyerang milenial.
Saya agak bertanya-tanya sebenarnya Quarter Life Crisis yang dialami sebagian besar kaum saya ini benar-benar sebuah krisis kebingungan atau iri dengki yang terselubung. Saya jadi ingat dulu di kampung saya tidak ada orang yang punya mobil, satu-satunya mobil yang ada adalah mobil ambulan punya puskesmas. Sampai suatu hari salah satu tetangga saya beli mobil kijang. Saat itu saya masih SD, tapi walaupun tidak jadi pengamat mobil saya tau kalau mobil itu bukan mobil baru dan keluaran lama. Karena kejadian ini jadi heboh satu kampung, termasuk ibu saya. Beliau cerita begini-begitu tentang tetangga saya dan mobil barunya tapi karena saya cuman butuh kaki untuk pergi ke sekolah, jadi saya tidak perduli-perduli amat. Sampai beberapa bulan setelahnya ada tetangga saya lagi yang membeli mobil sedan, berita mengenai si kijang jadi hilang ditelan bumi karena ada berita si sedan.
Beberapa bulan setelahnya tetangga saya yang beli sedan itu masuk rumah sakit. Ibu saya, sebagai sumber informan paling up to date, tanpa saya tanya sudah bercerita kata beliau sedan itu dibeli dengan cara kredit tapi setelah beberapa bulan si tetangga saya ini tidak sanggup bayar cicilan hingga rumahnya sering disatroni debt collector. Rupanya pembelian sedan ini adalah bentuk tidak mau kalahnya tetangga saya dengan si pemilik kijang. Akhirnya dia stres sendiri dan masuk rumah sakit.
Kenapa saya merasa krisis ini sepertinya menjadi pembenaran atas iri dengki yang kita alami. Sekarang, kita dapat dengan mudah melihat semua kemewahan orang di sosial media. Instagram, Twitter, Youtube dan lainnya. Mulai pamer makanan, minuman, barang baru, pacar baru, motor, mobil, perhiasan kalau bisa buka pameran di sosial media supaya orang-orang tau apa yang mereka punya. Lalu kita sebagai penonton akan membandingkan dengan apa yang kita punya. Dengan makanan, minuman, barang, pacar yang tidak ada, mobil tidak ada juga, perhiasan apa lagi yang kita punya. Kita jadi menyimpulkan bahwa kita gagal dalam hidup karena tidak punya pameran dalam sosial media kita.
Lama-lama kita stres seperti tetangga saya yang beli sedan itu dan menyalahkan quater life crisis, lagi. Padahal memang kitanya saja yang menanam iri dengki.
Saya tidak mau sok bijak, soalnya saya masih belum berhasil-berhasil amat sebagai manusia tapi ketika melihat kawan kita yang bisa sukses di usia muda, kaya raya dan bisa foya-foya lalu kita mulai membandingkan kehidupan kita terus kita mulai berfikir “Kok bisa ya dia seumuran sama saya tapi sudah lebih sukses?” sukses itu bukan hanya dari satu sisi, bisa saja secara karier teman kita itu sukses belum tentu dalam urusan pertemanan. Kita mungkin yang tidak sesukses dia dalam urusan karir nyatanya tidak pernah punya masalah dalam lingkup pertemanan, teman kita banyak dan tidak pernah punya musuh.
Kalau saya boleh bandingkan, saya jadi teringat dengan bapak tua berjanggut putih yang jadi lambang makanan cepat saji yang terkenal seantero dunia. Colonel Sanders di usia senjanya, yakni 65 tahun, ia baru sukses mendirikan restoran KFC dan resep ayam gorengnya disukai banyak kalangan. Kalau si Sanders ini hidup di zaman sosial media terus melihat teman-teman seangkatannya di SMA sudah ada yang jalan-jalan naik kapal pesiar sedangkan dia masih keliling-keliling jualan ayam saya yakin dia pasti kena Quarter life crisis juga.
Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Yang penting konsisten dalam mencapai tujuan. Coba kalau si Sanders berhenti di umur 64 tahun, mungkin saya tidak akan pernah merasakan enaknya kulit ayam dengan resep rahasia miliknya. (*)
BACA JUGA Quarter Life Crisis Ala Sobat Misqueen Twitter atau tulisan Sabrina Mulia Rhamadanty lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.