Lewat Terminal Mojok, Mbak Hanifatul Hijriati menanggapi kehebohan tentang puluhan siswa SMP tidak bisa membaca di Pangandaran. Sebagai orang tua dari tiga anak sekolah, saya pun tergelitik membaca tulisan itu. Bagaimana tidak, dalam tulisan itu beberapa kali Mbak Hanifatul menyentil peran orang tua dalam mengajari anak membaca.
Saya sepakat dengan pernyataan di sana, bahwa untuk bisa membaca tidak harus sekolah. Kedua anak saya pun bisa membaca bukan karena diajari a-i-u-e-o di sekolah. Saya pun memahami tentang betapa beratnya tugas guru dengan beban administratif. No debate tentang hal itu.
Tapi, untuk soal kasus siswa SMP di Pangandaran, ya wajar saja kalau netizen menyalahkan pihak sekolah.
Jadi begini, anak-anak yang tidak bisa membaca itu kan sudah mengalami 6 tahun pendidikan di tingkat SD. Berarti setidaknya mereka pasti sudah mengalami 12 kali ujian semester. Nah, bagaimana mungkin mereka bisa melewati 12 kali ujian semester jika tidak bisa membaca?
Saya menduga, ada intervensi dan rekayasa yang dilakukan di sana. Sampai-sampai fakta bahwa puluhan siswa SMP belum bisa membaca tertutupi selama mereka duduk di bangku SD. Pertanyaannya, mengapa pihak sekolah seolah mengabaikan kenyataan itu? Enam tahun dan sudah di usia siap mental membaca dan menulis itu waktu yang sangat panjang, lho. Saya merasa kasus ini lebih dari sekadar isu tentang kemampuan literasi pada anak.
Kerja guru memang melelahkan, tapi orang tua siswa pun sama
Lewat tulisan Mbak Hanifatul, saya menangkap soal betapa lelahnya kerja sosial sebagai guru. Saya pernah mendapat cerita dari seorang teman yang anaknya belum bisa membaca di kelas 2 SD. Gurunya mau memberi pelajaran tambahan tidak berbayar demi siswanya bisa membaca. Dan ini bukan SD elite dengan privilese maksimum, lho ya. Saya rasa, guru-guru seperti ini masih sangat banyak di sekitar kita. Perkara si anak tetap saja kesulitan membaca, tentu perlu sinergi dengan orang tua.
Saya sependapat dengan pernyataan Mbak Hanifatul, bahwa kemampuan membaca pada anak bisa banget dilatih dari rumah. Pada dasarnya, bisa membaca adalah sebuah kebutuhan. Artinya, ketika anak-anak mulai membutuhkan itu untuk bertualang di dunia, secara natural ia akan berusaha memahami lambang dan deret huruf. Hal itulah yang kemudian menjadi landasan mereka untuk membaca secara tekstual.
Tapi, hal ini kan tidak dipahami oleh semua orang tua siswa. Terlebih orang tua yang sudah lelah dengan kemiskinan struktural. Bayangkan saja bagaimana kondisi pikiran orang tua yang setiap hari harus bergelut dengan kondisi fight untuk nyari duit. Ada token listrik yang minta diisi, ada tagihan yang harus dibayar, ada cicilan yang harus dilunasi, ada perut yang harus diisi. Siapa lagi yang mengurus itu jika bukan diri sendiri?
Dalam hal ini, beban orang tua sama saja dengan beban sebagian guru, sebagai sesama warga negara yang hidup untuk nyari duit.
Baca halaman selanjutnya
Gap yang terlihat
Terbayang bukan, bahwa saja aja mumetnya baik itu guru maupun orang tua yang punya anak PAUD. Pasalnya, siswa PAUD masa kini diberi saran untuk tidak terburu belajar baca tulis. Sementara itu, jelas bahwa buku-buku SD, kalimatnya saja njlimet luar biasa. Jangankan anaknya, orang tuanya pun ada lho yang tidak paham dengan isi buku pelajaran. Jadi bagaimana orang tua yang sudah lelah untuk bertahan hidup, bisa mengupayakan lebih untuk urusan akademis?
Menurut saya, perbaikan yang perlu dilakukan ya di dalam pembuat kebijakan soal pendidikan itu sendiri. Dalam sosialisasi di TK tempat anak bungsu saya bersekolah, hadir narasumber dari Kemendikbudristek. Beliau menyampaikan bahwa saat ini ada Gerakan Transisi PAUD SD yang Menyenangkan.
Secara tersirat disampaikan bahwa gerakan ini dirancang untuk menjembatani gap antara Guru PAUD dan SD awal terkait kemampuan calistung anak. Dalam gerakan ini, capaian calistung dilonggarkan hingga anak berada di kelas 2 SD dan penekanan penghapusan sistem ujian calistung untuk seleksi SD. Meski gagasannya bagus, tapi ya percuma kan jika di tingkat SD sendiri instrumen pembelajaran dan ujiannya jelas-jelas menuntut kemampuan calistung siswa.
Seperti biasa
Seperti biasa, program baru yang visi misinya indah itu, baru tersosialisasikan ke sebagian kecil guru dari ratusan ribu guru di Indonesia. Masih banyak guru yang belum mendapatkan pembekalan soal ini. Ketidakmerataan begitu nyata. Inilah mungkin pemicu dari apa yang sedang terjadi di Pangandaran.
Ketidakmerataan program, ketimpangan wawasan, telatnya pembekalan, banjirnya program baru, serta daftar kerja yang panjang untuk pihak sekolah yang menjadi latar belakang fenomena siswa SMP belum bisa membaca.
Artinya apa, kita tidak usah saling tunjuk siapa yang salah dan harus ngapain. Karena yang sudah kita percaya dan kita tunjuk serta punya kewenangan masih banyak melengosnya. Ya, mau bagaimana lagi, hidup memang tidak pernah ideal.
Penulis: Butet Rachmawati Sailenta Marpaung
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Anak Haram itu Bernama Calistung (Membaca, Menulis, dan Berhitung)