Sehabis Subuh tadi ada DM masuk di IG saya, dari teman yang udah lama nggak ketemu. Sekitar 6 tahun, mungkin. Sapaan berubah jadi obrolan, kami saling berbagi kabar dan cerita. Inilah teman yang membuat saya punya panggilan “Pak Mekanik” lantaran setelah lulus sekolah saya kerja di bengkel mobil, kemudian di bengkel motor. Di masa-masa itu kami sangat akrab. Saling berbagi keuntungan dari bisnis spare part yang kemudian uangnya dihabiskan untuk touring-touringan naik motor.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, ada satu pertanyaannya yang menyentuh hati saya.
“Eh, kenapa tiba-tiba banting setir jadi jualan buku?”
Setelah 6 tahun nggak ketemu, jelas saja ada kata ‘tiba-tiba” dalam pertanyaan itu. Saya senyum-senyum sendiri. Sejenak berpikir. Ceritain nggak ya? Tangan saya siap mengetik. Saya nggak tahu harus mulai dari mana.
Ya udah. Ceritain aja.
Saya mulai dari sini saja. Mendengar kata “banting setir”, saya jadi sadar bahwa manusia juga mengalami metamorfosis. Nggak berubah wujud kek kupu-kupu, tapi jalan hidupnya yang berubah. Dulu saya sangat terobsesi dengan otomotif. Hal ini yang mengantarkan saya jadi mekanik motor.
Saya memutuskan berhenti jadi mekanik dan memilih kerja jadi kurir toko di Jakarta karena gajinya lebih besar dari mekanik bengkel motor di Bekasi. Hidup saya terus berjalan. Hari ke hari. Bulan ke bulan. Tahun ke tahun. Saya sudah hilang kontak dengan teman saya ini. Kemudian saya punya pacar yang kini menjadi istri saya.
Bersama istri, saya masuk ke dunia yang istri suka: buku. Istri saya suka baca, nggak heran ketika pertama kali kami satu rumah lebih banyak buku yang dia bawa ketimbang peralatan rumah tangga. Di sini saya iseng-iseng baca buku. Baca bacaan yang direkomendasikan istri saya. Aneh aja, banyak bukunya yang, kok, nggak pernah saya baca sebelumnya.
Ternyata saya malah ketagihan. Satu buku selesai, lanjut ke satu buku lainnya. Nikmat banget ternyata. Satu tahun menikah dan saling beradaptasi, saya dan istri sudah menemukan satu kesukaan yang sama. Suatu hari, saya pingin banget beli buku terbitan dari Buku Mojok. Di Bekasi saya nemu reseller dari Bumo. Saya WA lah reseller itu.
Semakin ke sini semakin banyak aja buku yang saya beli. Terlebih lagi pada buku-buku terbitan Buku Mojok. Saya punya ide, kenapa nggak jadi reseller aja. Di satu sisi saya bisa terus baca buku-buku yang saya minati itu. Di sisi lain dapat harga reseller yang lebih murah dan bisa sekaligus jual buku. Dapat keuntungan lagi.
Dua sampai tiga bulan ide itu bersarang di pikiran saya. Akhirnya saya penuhi persyaratan jadi reseller. Yaaa, awalnya jual buku juga antara niat dan nggak niat. Mikirnya, kalau laku, ya allhamdulillah. Nggak laku, ya baca sendiri aja. Saya nggak pernah berpikir target pasar.
Duh, dibilang saya nggak niat. Boro-boro mikir target pemasaran. Buat cara jualnya aja saya bingung. Paling-paling cuma bisa upload di IG. Ketidakniatan ini nampaknya jadi semacam efek bola salju. Kecepatan membaca saya yang lambat ditambah rasa kemaruk, malah bikin buku-buku yang masih terbungkus plastik malah menumpuk.
Baiklah, saya putuskan buat buka di marketplace, siapa tahu kalian mau singgah, klik di sini aja. Saya mulai promo-promo—sedikit serius lewat medsos @bukumee. Tiga bulan berjalan sudah mulai membuahkan hasil. Teman-teman dari istri saya banyak yang membeli. DUARRR! Saya dapat banyak pesanan lagi ketika buku “Perihal Cinta Kita Semua Pemula” masuk masa PO untuk terbit. Lalu disusul lagi pesanan dari NKSTHI-nya Mas Aik.
Di titik ini, saya baru benar-benar serius memikirkan jalan panjang yang akan saya tempuh menjadi seorang pedagang buku di Bekasi. Saya mulai menanamkan mimpi-mimpi pada diri saya agar semangat berusaha ini punya tujuan pasti. Ya, minimal punya toko fisik dari sekadar online shop. Menjadi toko buku alternatif yang menyediakan buku-buku terbitan indie yang nggak bisa didapatkan di toko buku arus utama.
Saya benar-benar serius belajar cara ngepak buku dengan baik dan aman agar buku yang sampai ke pembeli nggak rusak. Saya jadi benar-benar belajar cara melayani pembeli dengan fast response. Lebihnya lagi, saya jadi belajar desain grafis untuk membuat konten medsos olshop saya. Hal-hal manis menjadi pedagang buku online mulai saya rasakan.
#1 Nggak perlu lagi keluar uang untuk membaca buku
Baca aja buku yang ada. Lah kan niatnya emang gitu, jadi seller biar bisa baca buku. Semakin ke sini, saya malah semakin merasa kebanjiran bahan bacaan. Yah akhirnya sambil menyelam minum nata de coco. Manis kan~
#2 Dapat bayaran lebih dari pembeli
Nggak cuma sekali, pembeli suka ngasih bayaran lebih ke saya. Misalnya udah saya hitung nih harga buku + ongkir, 87 ribu. Sering kali dibayar dengan nilai bulat, jadi 90 ribu. Pernah suatu hari, saat saya lagi ngadain promo cash back. Eh, cash back-nya malah nggak diambil. Katanya si pembeli, “Buat beli susu anaknya aja, Min.”
Terus pernah juga, dari total belanja yang 270 ribuan gitu, dibayarnya malah jadi 300 ribu. Ya jelas saja, saya mempertanyakan lebihnya itu. Tapi katanya, “Nggak apa-apa Min. Sengaja. Buat jajan aja lebihnya.” Ya Allah, beruntung banget hambamu ini. Udah dapat untung dari penjualan, dapat lebihan dari pembayaran pula. Terima kasih ya, Allah.
#3 Jadi tahu buku-buku apa saja yang sedang popular dan best seller
Misalnya, saat Ramadan seperti ini buku-buku bertema religi sedang banyak dicari oleh para pembeli. Dari terbitan Buku Mojok, buku berjudul “Laki-laki yang Tak Berhenti Menangis” dan “Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya” karyanya Rusdi Mathari sedang laris-larisnya di olshop saya.
#4 Punya banyak teman reseller lain dari berbagai daerah di Indonesia
Nggak lepas dari peran WAG yang menjadi tempat untuk mempertemukan kami semua. Selain untuk menjalin silaturahmi dan berbagi informasi seputar dunia perbukuan. Sering kali saya dan teman-teman saling berbagi omset.
Misalnya saya—reseller di Bekasi, ada pembeli dari Bali. Kalau si pembeli itu merasa keberatan dengan harga ongkirnya, saya bisa arahkan ke teman reseller yang ada di Surabaya. Begitu juga sebaliknya, saya pernah dapat lemparan omset dari teman reseller yang ada di Tangerang.
#5 Jadi senang kalau dapat bintang 5 di marketplace
Hal ini menjadi paling manis bagi saya. Apalagi kalau ditambah testimoni di Insta Story, serasa jerih payah saya dalam melayani pembeli, mengepak buku dengan rapih, pergi ke agen ekspedisi—panas-panasan, hujan-hujanan—jadi terbayar semuanya. Uang bukan semata-mata yang saya cari.
Usaha olshop juga bermodal kepercayaan, saya senang jika kepercayaan yang diberikan dari pembeli kepada saya berbuah sebuah testimoni. Lumayan buat naikin rating marketplace. Dari sekian rasa manis yang saya rasakan seolah ini menjadi bonus tersendiri buat saya. Sudah pasti ada juga asam dan pahitnya yang saya rasakan. Tapi saya lebih suka manisnya aja, deh. Uwuwu~
BACA JUGA 5 Promo Paling Ampuh buat Menaikkan Penjualan Olshop dan tulisan Allan Maullana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.