Sisi Gelap Gamping Sleman yang Jarang Dibicarakan Orang

Sisi Gelap Gamping Sleman yang Jarang Dibicarakan Orang

Sisi Gelap Gamping Sleman yang Jarang Dibicarakan Orang (unsplash.com)

Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Sleman bagian barat, tepatnya Kecamatan Gamping, saya cukup kenyang merasakan bagaimana rasanya tinggal di tempat yang “hampir Jogja tapi tetap terasa jauh dari Jogja”. Iya, Gamping memang masih masuk Sleman, dan Sleman itu kabupaten yang sama dengan kampus-kampus besar, kafe hits, dan warung mie ayam viral. Tapi jangan salah, Sleman itu luas. Dan bagian barat? Ya, seluas itu juga kesepiannya.

Saya menulis ini bukan untuk menjelek-jelekkan kampung halaman. Tidak. Justru karena saya sayang, maka saya ingin jujur. Ada sisi gelap dari tinggal di Gamping Sleman, sisi yang jarang dibicarakan karena kita terlalu sibuk membanggakan akses ring road dan view gunung. Padahal di balik hijaunya sawah dan ademnya angin sore, ada keresahan yang makin hari makin susah ditepis.

Gamping Sleman jauh dari kota, ke mana-mana terasa melelahkan

Saya tahu, “jauh” itu relatif. Tetapi kalau kamu harus berangkat kerja ke pusat kota Jogja jam 7 pagi dari Moyudan, kamu akan paham apa yang saya maksud. Butuh waktu nyaris satu jam kalau jalan kaki dari rumah ke jalan besar, lalu lanjut naik ojek atau nebeng ke Godean dulu buat dapet angkutan. Itu pun belum tentu sampai tepat waktu.

Teman saya yang kerja di kawasan Lempuyangan pernah bilang, “Rasanya lebih gampang pulang ke Jakarta naik kereta malam daripada ke rumah sendiri di Seyegan.” Dan itu bukan hiperbola. Jalan Godean sering padat, ring road utara juga penuh pas jam berangkat kerja. Belum lagi kalau hujan. Motoran jadi rawan, mobilan jadi lambat.

Transportasi umum ada, tapi nyaris nggak bisa diandalkan

Kalau kamu pikir tinggal agak jauh nggak masalah karena ada Trans Jogja, mari saya ajak ke realita. Di Sleman barat, khususnya Gamping ke barat, layanan Trans Jogja itu ada tapi jarang lewat. Rutenya terbatas, jam operasionalnya juga belum ramah pekerja kantoran.

Seorang kawan saya yang tinggal di Minggir bahkan lebih sering pakai sepeda motor tua buat ke Godean atau pusat kota. “Trans Jogja? Enak dilihat di peta, tapi saya belum pernah menggunakannya,” katanya. Ironi betul.

Fasilitas umum di Gamping Sleman kurang meriah, nongkrong harus keluar kecamatan

Sebagai anak muda yang butuh ruang untuk sekadar menyeruput kopi atau diskusi tugas, Gamping bagian dalam atau Moyudan Sleman bukan tempat yang ramah. Ada sih kafe, tapi pilihannya sedikit, jam bukanya pendek, dan kadang nggak ada WiFi. Mau nongkrong agak serius dikit? Ya ke Sleman kota atau Jogja sekalian.

Seyegan dan Godean sebenarnya kondisinya nggak beda jauh. Ada geliat ekonomi dan beberapa tempat nongkrong yang mulai muncul, tapi kalau dibandingkan dengan Kaliurang atas atau area Demangan, tentu belum ada apa-apanya. Akhirnya, saya dan teman-teman sering merasa seperti warga yang “menumpang gaul” di kota sebelah.

Sulit menemukan lapangan kerja sekitar rumah

Bekerja dekat rumah itu impian banyak orang, tapi di Sleman barat, khususnya Gamping, hal itu lebih seperti angan-angan. Mayoritas lowongan kerja yang tersedia adalah di sektor informal atau UMKM kecil. Kalau ingin bekerja di bidang kreatif, teknologi, atau profesional lain, ya harus ke Jogja kota.

Saya sendiri pernah mencoba bertahan dengan kerja freelance dari rumah. Tapi jaringan internet yang tidak stabil, suasana rumah yang kadang terlalu “nyantai”, dan kebutuhan untuk tetap terhubung dengan komunitas, bikin saya harus ke kota lagi. Ya balik ke soal nomor satu, jauh.

Hidup nyaman tapi kadang terlalu sepi

Saya akui, salah satu alasan orang betah tinggal di Sleman barat adalah suasananya yang tenang. Tapi tenang yang berlebihan bisa jadi sepi, dan sepi bisa berubah jadi asing. Banyak tetangga yang akhirnya pindah, dijual lah rumahnya, dan yang beli? Developer atau orang kota cari investasi.

Hasilnya, makin banyak kompleks baru yang berisi rumah-rumah kosong. Anak-anak jarang main di luar. Warung mulai sepi. Jangan tanya soal ronda malam, kadang cuma tinggal satu atau dua orang tua yang masih rajin keliling. Sisanya? Ya entah di mana.

Harga tanah makin mahal di Gamping Sleman

Dulu, orang tua saya bisa punya tanah di Gamping dengan harga yang sekarang mungkin hanya cukup buat beli motor matic. Sekarang, harga tanah sudah tembus Rp3–5 juta per meter persegi, dan itu pun bukan di pusatnya. Di daerah seperti Minggir dan Moyudan yang dulu dianggap “pelosok”, harga tanah juga terus naik karena incaran orang kota.

Akan tetapi mahalnya tanah ini tidak membuat daerah jadi makin hidup. Malah makin banyak rumah kosong, lingkungan jadi makin sunyi. Banyak yang beli tanah untuk ditimbun, bukan untuk ditinggali. Alhasil, kampung-kampung jadi terasa seperti perumahan hantu—ruko-ruko tutup, warung susah hidup, dan suasana makin tak akrab.

Teman saya yang tinggal di Seyegan pernah bilang, “Rasanya kayak tinggal di transit area. Kita cuma numpang hidup, nggak benar-benar hidup.” Dan saya diam-diam mengangguk. Karena saya pun kadang merasa begitu.

Tetap sayang, tak perlu dibenahi

Saya tetap mencintai Gamping Sleman. Saya masih menikmati sore-sore di teras rumah dengan suara jangkrik dan bau sawah. Tetapi saya juga tidak bisa menutup mata bahwa kami—warga barat yang (sering) tertinggal—butuh lebih dari sekadar ketenangan. Kami butuh koneksi. Kami butuh fasilitas. Kami butuh hidup yang tak harus selalu melangkah jauh hanya untuk merasa menjadi bagian dari Jogja.

Kalau memang Sleman ingin tumbuh merata, maka bagian barat juga harus diberi perhatian. Karena di balik sepinya kami, ada banyak orang yang ingin tetap tinggal tapi juga tetap terhubung. Semoga tidak butuh terlalu lama untuk mewujudkan itu.

Kalau kamu juga tinggal di Sleman barat dan merasa relate, mari kita ngopi bareng. Tapi ya di Jogja kotanya, karena di sini belum banyak tempat ngopi yang buka pagi.

Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Kos LV di Gamping Sleman Banyak Diminati Mahasiswa Membuat Warga Sekitar Resah.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version