Sisi Gelap Mahasiswa Pertukaran: Seru, tapi Menyebalkan

Sisi Gelap Mahasiswa Pertukaran- Seru, tapi Menyebalkan (Unsplash)

Sisi Gelap Mahasiswa Pertukaran- Seru, tapi Menyebalkan (Unsplash)

Apa yang paling menyebalkan di kehidupan kampus? Tugas yang menumpuk? Dosen yang galak? Atau kisah romansa di perkuliahan yang tanpa kemajuan? Nah, selain itu, ada satu faktor lain yang membuat kehidupan kampus saya jadi menyebalkan: mahasiswa pertukaran.

Pertama-tama, izinkan saya menceritakan terlebih dahulu perihal “perkenalan” saya dengan mahasiswa pertukaran. Jadi, sejak masa-masa awal masuk universitas, ketika masih maba, saya sudah cukup sering berada di kelas yang sama dengan mahasiswa pertukaran. 

Kala itu, saya sangat terkejutnya ketika mengetahui bahwa saya satu kelas dengan mahasiswa pertukaran dari Jepang. Meskipun hanya satu semester dan tidak pernah berjumpa secara langsung karena online, tetapi hal itu tetap membuat saya bahagia. Pasalnya, dengan begitu, relasi saya jadi bertambah luas dan saya jadi memiliki teman dari negara lain.

Namu, pengalaman saya dengan mahasiswa pertukaran tidak cuma yang menyenangkan saja. Ada pula pengalaman-pengalaman buruk yang saya anggap cukup menyebalkan.

Kuliah offline jadi jarang dilaksanakan

Sebagai mahasiswa yang masuk pada 2020, saya harus rela melewati dua tahun pertama kuliah secara online. Itulah mengapa, ketika pandemi mulai mereda dan kuliah kembali offline, saya girang bukan main. 

Semester lima saya lalui dengan semangat karena sudah bisa ke kampus. Namun, kebahagiaan saya seketika sirna begitu mengetahui bahwa saya akan satu kelas dengan para mahasiswa pertukaran di semester enam.

Pasalnya, karena merekalah kuliah offline jadi jarang dilaksanakan. Saya ingat sekali momen minggu pertama kuliah semester enam dilaksanakan. Saat itu, dosen saya bertanya melalui grup WhatsApp kelas perihal rencana untuk mengadakan kuliah secara offline pada pertemuan di minggu kedua. 

Ketika mayoritas dari kami sudah menyambut kabar tersebut dengan antusias, tiba-tiba ada mahasiswa pertukaran yang nyeletuk, “Maaf, Pak, saya nggak bisa mengikuti kuliah offline di minggu depan karena saya masih berada di daerah asal saya.”

Dosen saya lalu menanyakan lebih lanjut mengenai hal itu. Mereka kemudian menjelaskan bahwa dia adalah mahasiswa pertukaran dari salah satu kampus di daerah luar Jabodetabek yang mengambil program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) di kampus saya. Setelah mendengar penjelasan tersebut, dosen saya pun memaklumi dan meniadakan kelas secara offline hingga sekarang ketika semester enam telah hendak menemui ujungnya.

Jujur, saya termasuk ke dalam golongan mahasiswa yang kesal bukan main. Sebagai mahasiswa yang juga merantau, barang tentu keinginan saya untuk merasakan kuliah offline sangatlah tinggi. Namun, karena kehadiran para mahasiswa pertukaran, keinginan saya itu hanya tinggal menjadi angan-angan. 

Padahal, harap diketahui bahwa jumlah mahasiswa yang bisa mengikuti kuliah offline jauh lebih banyak dibandingkan yang tidak bisa. Namun, mengapa malah kami yang harus mengalah dengan mereka?

Jadi, tak usah heran jika saya menyebut hal ini sebagai sesuatu yang menyebalkan, bukan?

Sering menghilang tanpa kabar

Seakan tak cukup dengan ketiadaan kelas offline, alasan lainnya mengapa saya kesal kepada mahasiswa pertukaran adalah kebiasaan buruk mereka. Iya, mereka sering menghilang tanpa kabar. 

Kasus ini sering terjadi. Sebagai contoh, ketika dosen telah membagikan tautan untuk Zoom Meeting di grup kelas, ada saja mahasiswa pertukaran yang malah absen dan tidak bergabung. Tindakan itu tentu tidak terpuji, terlebih jika dilakukan oleh mahasiswa pertukaran yang seketika membuat malu universitas asal mereka. 

Akan tetapi, ketahuilah, aksi bolos kelas yang mereka lakukan bukanlah yang paling menyebalkan. Masih ada lagi tindakan mereka yang membuat saya langsung ingin berkata kasar.

Jadi, ketika memberikan tugas kelompok, dosen saya sering mencampurkan mereka dengan mahasiswa-mahasiswa “asli”. Hal itu dilakukan agar ikatan kami dapat menjadi lebih erat, bisa saling berbagi pikiran serta pengetahuan. 

Jujur, saya sama sekali tidak masalah. Namun, masalah malah diciptakan oleh mereka sendiri yang sering nge-ghosting. Mereka sering tidak merespons tatkala pembagian tugas di dalam kelompok telah diberikan dan deadline mendekat. Ketika kami sibuk mengerjakan bagian masing-masing, mahasiswa pertukaran itu malah hilang tanpa kabar. Pada akhirnya, seringnya kami malah harus mengerjakan bagian mereka.

Setelah itu, berbagai macam alasan akhirnya mereka keluarkan. Misalnya, susah sinyal, sedang sibuk, dan sebagainya. Namun, ada juga yang main menghilang tanpa penjelasan. Menyebalkan, bukan?

Memang, tindakan berikutnya yang perlu kami lakukan hanyalah melapor ke dosen. Namun, tetap saja, suatu pekerjaan yang mestinya dilakukan bersama-sama secara berkelompok ujung-ujungnya malah harus dikerjakan oleh segelintir orang saja. Ke mana rasa tanggung jawab mahasiswa pertukaran ini? Apakah sikap tersebut tidak diajarkan di kampus asal mereka?

Terkadang menyebalkan, terkadang menyenangkan

Sejak awal, saya tak henti menguraikan hal-hal menyebalkan terkait mahasiswa pertukaran. Pertanyaannya, apakah semua dari mereka seperti itu? Jawabannya: tidak. Jangan salah, saya juga menemukan beberapa mahasiswa pertukaran yang menyenangkan. 

Ketika bertemu dengan yang “positif”, saya langsung dapat mengerti mengapa program pertukaran diciptakan. Tujuannya supaya mahasiswa bisa saling berbagi dalam banyak hal. Mulai dari pengetahuan, cara berpikir, cara menyelesaikan masalah, atau bahkan sekadar untuk saling mengenal budaya masing-masing. 

Selain itu, program ini juga dapat menjadi pintu bagi para mahasiswa untuk menambah relasi dan berkenalan dengan orang-orang baru. Tujuan yang positif, bukan?

Jadi, jika diterapkan secara benar, program pertukaran mahasiswa memang bisa memberikan banyak efek positif. Akan tetapi, seperti yang telah saya jabarkan secara panjang lebar di atas, ada pula contoh kasus di mana mahasiswa pertukaran justru bertingkah menyebalkan dan menyusahkan para mahasiswa “asli”. 

Jika yang terjadi adalah yang kedua, kalian tak perlu heran jika akhirnya saya malah misuh-misuh di Terminal Mojok, bukan?

Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Curhat Mahasiswa yang Nyambi Jadi Driver Ojol di Kota Malang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version