Memberikan pendidikan terbaik bagi anak adalah impian setiap orang tua. Salah satu upayanya, memberikan fasilitas pelajaran tambahan di luar sekolah. Sebagai tempat les anak yang cukup memiliki nama di Indonesia, Kumon tak jarang dijadikan pilihan banyak orang tua.
Sejumlah pihak mengatakan, pembelajaran di Kumon yang tidak mengikuti kurikulum di sekolah itu terbukti sukses mendongkrak prestasi anak di kelas. Tak ayal, kepopuleran Kumon semakin menanjak berkat testimoni semacam itu. Ditambah lagi, Kumon memiliki jingle yang ceria dan mudah diingat sehingga mampu mendukung awareness dari brand waralaba asal Negeri Sakura.
Nyatanya, dibalik testimoni dan keceriaan lagu promosi tersebut, Kumon juga menyimpan sederet sisi gelap yang sebaiknya dipertimbangkan para orang tua sebelum mendaftarkan anaknya.
Daftar Isi
#1 Biaya Kumon cukup mencekik
Orang tua yang berkeinginan mengikutsertakan anaknya sebagai murid Kumon, tampaknya harus mempersiapkan kocek yang lumayan tebal. Sebagaimana lembaga kursus pada umumnya, selain uang les bulanan, Kumon juga mensyaratkan biaya pendaftaran di awal. Melansir dari situs resminya, biaya pendaftaran untuk area Yogyakarta dan Jawa Tengah dipatok di angka Rp300.000.
Sementara itu, biaya kursus bulanan yang dipublikasi berkisar di angka Rp400.000 untuk setiap mata pelajaran yang diambil dengan dua kali pertemuan selama seminggu bersama seorang mentor. Tentu saja, nominal ini akan berbeda di kota-kota lain yang memiliki UMK lebih tinggi. Intinya, pengorbanan secara materi demi menjadi siswa Kumon boleh dikata cukup tinggi.
#2 Metode repetisi Kumon rentan membuat bosan
Bukan rahasia lagi kalau metode yang diberlakukan di Kumon adalah pengulangan. Anak akan diberikan soal-soal yang persis setiap harinya selama masih berada di level yang sama. Walaupun soalnya tak berbeda, mereka dilarang keras untuk mencontek jawaban dari lembar yang sudah tuntas sebelumnya.
Gaya repetisi ini mungkin bekerja bagi sebagian anak sehingga mereka mampu menghitung cepat tanpa alat bantu. Di sisi lain, ada anak-anak yang justru merasa bosan dengan pembelajaran yang diterapkan lantaran merasa tidak ada kemajuan atau tantangan. Ujungnya, mereka yang merasa jengah justru rentan berbalik membenci pelajaran yang tengah ditekuninya di tempat les tersebut.
Baca halaman selanjutnya: #3 Waktu anak …
#3 Waktu anak tersita
Pertemuan tatap muka dengan pengajar memang hanya dilakukan sebanyak dua kali dalam sepekan. Akan tetapi, tidak lantas para siswa Kumon bebas dari tugas. Pasalnya, paketan soal sudah dipersiapkan oleh masing-masing pengajar untuk dikerjakan setiap siswa di rumah mereka berikut catatan waktu lama pengerjaan. Dengan demikian, peningkatan waktu berhitung siswa akan terpantau.
Tidak peduli hujan badai atau tanggal merah, anak wajib menyelesaikan pekerjaan rumah mereka saban harinya. Tugas tersebut tidak boleh dikerjakan dalam satu waktu sekaligus melainkan sesuai porsi harian siswa. Maksudnya tentu baik yakni untuk menciptakan kebiasaan dan meminimalisir siswa melupakan ilmu yang sudah dipelajari. Sayangnya, kebijakan tugas harian ini terkadang cukup menyita waktu anak sehingga mereka kesulitan dalam mengembangkan diri di bidang lainnya.
#4 Kumon bisa jadi mimpi buruk bagi beberapa anak
Tidak semua anak cocok dengan metode belajar Kumon. Bahkan, tak jarang anak-anak mengutarakannya sebagai mimpi buruk masa kecil. Hal ini mungkin disebabkan oleh sistem khas yang diimplementasikan di Kumon yakni larangan menggunakan jari dalam menghitung serta praktik belajar mandiri oleh setiap siswa.
Anak-anak yang belum beranjak dewasa lazimnya terbiasa belajar menghitung menggunakan jemari mereka. Ketika ada larangan tidak boleh memakai jari, tak jarang mereka merasa seperti sedang dipaksa melakukan sesuatu yang sulit dan tak disukai. Setali tiga uang, sistem belajar individualis yang minim interaksi juga berpotensi membuat anak menjadi tak lagi termotivasi.
#5 Kurangnya logika deduktif
Berbicara tentang belajar matematika di Kumon, ada opini yang menyatakan bahwa keterampilan yang diasah di tempat tersebut sejatinya adalah aritmetika. Tidak ada yang meragukan jika lulusan Kumon hampir selalu dapat menghitung cepat dan tepat mengalahkan kalkulator. Maka wajar saja apabila ada yang berargumen bahwa sisi pendidikan matematika di Kumon cenderung bersifat mekanistik.
Sementara, matematika sebenarnya tidak terbatas pada ilmu hitung cepat seperti aritmatika. Lebih jauh, disiplin ilmu matematika mengedepankan pemecahan permasalahan yang harus dipecahkan melalui proses berpikir deduktif. Oleh sebab itu, bukan sesuatu yang mencengangkan bila lulusan Kumon tidak selalu cakap dalam mengurai soal-soal cerita yang membutuhkan asumsi dan premis.
Setiap pilihan pasti mengandung risiko. Begitu pula dengan keputusan memasukkan anak ke sebuah lembaga pendidikan yang memiliki program tersendiri. Kumon yang berfokus pada frekuensi latihan yang padat tidak selalu sesuai diaplikasikan pada setiap anak. Itu mengapa, sebelum memasukan anak ke Kumon atau tempat les lain, hendaknya orang tua benar-benar mempertimbangkan metode tempat les dengan cara belajar dan karakter anak.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.