Proyek nota kosong
Entah kenapa, pejabat-pejabat lokal dan pegawai-pegawai pabrik setempat, di daerah saya itu sering banget meminta nota kosong. Iya memang bener mereka fotokopi atau membeli ATK di toko saya. Tapi mereka juga meminta notanya dikosongin, nggak diisi sama sekali dengan apa yang mereka belanjakan.
Awalnya saya begitu polos, tapi setelah saya berbincang dengan beberapa kolega, ternyata hal tersebut dilakukan untuk melancarkan praktik-praktik korupsi di instansi atau perusahaan mereka. Yang awalnya fotokopi cuma merogoh kocek sepuluh ribu, ditulis mereka sendiri di nota itu fotokopi menghabiskan lima puluh ribu. Awalnya beli pensil satu pak yang harganya hanya lima belas ribu, ditulisnya jadi tiga puluh ribu.
Kecil memang, kalau dibandingkan dengan praktik di atas sana, tapi bagaimanapun itu adalah korupsi. Jika dilakukan secara berkala, udah bisa merugikan instansi bahkan perusahaan hingga jumlah yang tak terbayangkan. Selain itu, toko saya sendiri masih belum begitu besar. Saya nggak bisa bayangkan ketika praktik ini juga berlaku di toko fotokopi yang lebih besar. Sangat mungkin terjadi jumlah manipulasi nota kosongnya juga berjumlah besar dengan belanja yang sedikit dibanyakin.
Oleh karenanya, setiap ada pelanggan yang minta nota kosong, saya pasti ngibuli mereka. Entah ngomong notanya habis, belum cetak lagi, atau bahkan saya tulis sendiri dengan stempel resmi toko. Itung-itung bantu KPK dari akarnya, bukan nunggu uangnya ilang baru tangkap tangan.
Dokumen bocor
Terakhir, yang mana ini bukan berangkat dari pelanggan, tapi dari si pemilik toko fotokopinya. Asal kalian tau, bahwa di toko fotokopi itu banyak banget kertas-kertas bekas. Entah hasil dari kegagalan cetak, entah itu tintanya bocor, hasil cetak nggak merata, nyangkut di mesin, dan lain sebagainya. Nah, bagi pemilik fotokopi yang cerdas, kertas bekas ini tentu tidak dibuang begitu saja, melainkan dijual ke pengepul barang bekas, untuk dijadikan uang.
Namun, sayangnya, meskipun cerdas, tidak semua pemilik fotokopi itu bijak. Pasalnya, beberapa dari mereka itu asal-asalan ngejual kertas bekas mereka tanpa memilah. Jadi, kertas bekas fotokopi kartu keluarga, KTP, buku rekening, dan dokumen lain pun ikut terjual ke pengepul. Dari tragedi inilah, kemudian kita sering menemui bungkus brambang itu dari kertas fotokopi kartu keluarga.
Ini bukanlah masalah yang sepele. Dokumen-dokumen penting yang digandakan itu seharusnya tidak diedarkan begitu saja. Pasalnya, di tangan yang salah, dokumen tersebut bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang buruk. Bahkan merugikan pemilik asli dokumen tersebut. Dibuat transaksi pinjol misalnya, yang bisa saja sangat merugikan pemilik aslinya.
Untuk menghindari sesuatu yang nggak diinginkan tersebut, akhirnya saya selalu memisahkan kertas-kertas bekas dokumen penting. Yang kemudian tidak saya jual, melainkan saya bakar beserta sampah-sampah lainnya. Itu adalah cara paling aman. Sedangkan kertas bekas lain yang nggak berisi dokumen penting, itulah yang saya jual ke pengepul.
Begitulah sisi gelap dunia fotokopi yang banyak orang tidak tahu. Semoga para pengusaha yang berkecimpung di dunia yang sama tidak mudah tergoda. Praktik ilegal harus diberantas dari bawah. Yang atas mah, biarin aja, udah ada yang ngurusin.
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Usaha Fotokopi: Revisi Skripsi Berujung Dapat Istri hingga Ahli Menyediakan Contekan