Akui saja, buat orang-orang yang tergolong malas seperti saya, munculnya tukang sayur keliling adalah secercah nikmat. Ini juga berlaku buat ibu-ibu, yang mungkin malas pergi ke pasar, belum lagi kalau jauh.
Beberapa tahun ke belakang, jumlah tukang sayur keliling sudah banyak. Di satu sisi, keberadaan mereka sangat membantu masyarakat. Namun, di sisi lain, ada sisi gelap yang sebetulnya muncul. Izinkan saya menceritakannya.
Daftar Isi
Semakin banyak saluran gosip, semakin banyak waktu tersita
Mereka ini memang cukup membantu urusan dapur. Tidak perlu repot jalan ke pasar, efisiensi waktu, dan efektif. Tapi, untuk dua alasan terakhir, rasa-rasanya sudah tidak relevan lagi.
Iya, sudah menjadi rahasia umum kalau tukang sayur keliling itu salah satu saluran gosip para warga. Belanja sayur cuma 30 menit, ngomongin orang bisa 60 menit lebih. Coba saja kalikan jumlah menit itu dengan jumlah pedagang yang semakin banyak. Waktu yang tersita akan semakin banyak.
Dulu, sewaktu saya kecil, orang bergosip ini biasanya ditemui saat rewang hajatan tetangga. Tapi sekarang, tukang sayur ini memfasilitasi kegiatan tersebut. Justru kadang saya kasihan sama pedagangnya. Harusnya sudah bisa jalan lagi, tapi tertunda karena aktivitas gosip-gosipan tadi.
Pedagang sayur di pasar menderita karena naiknya jumlah tukang sayur keliling
Sisi gelap kedua adalah berkurangnya pemasukan pedagang sayur di pasar. Ini bukan mengada-ngada.
Saat ini, di perusahaan tempat saya bekerja, sedang melakukan kajian pengembangan pasar rakyat. Selama proses penyusunan kajian tersebut, kami melakukan wawancara terkait beberapa hal ke lurah pasar dan pedagang-pedagangnya.
Nah, dari situ, satu fakta yang bikin saya kaget adalah pengakuan pedagang. Kata mereka, tukang sayur keliling membuat dagangan mereka nggak laku, khususnya sayur-mayur.
Okelah, kalau pedagangnya ini masih muda, sehat jasmani dan rohani. Dia bisa mendapatkan rezeki dari cara lain selain menggantungkan hidupnya sebagai pedagang sayur di pasar.
Baca halaman selanjutnya
Gimana kalau pedagangnya sudah renta?
Tapi, gimana kalau pedagangnya sudah renta? Terlebih banyak dari mereka yang hanya hidup sebatang kara. Kebanyakan dari pedagang tua ini menerima sayuran dari tengkulak dan hanya berjualan di kiosnya sendiri. Sudah begitu nggak laku karena tukang sayur keliling semakin banyak.
Ini fakta sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Kita nggak bisa menyalahkan kemunculan tukang sayur keliling. Begitulah zaman bergerak dan selalu ada yang mau tidak mau menjadi korban perubahan. Sedih, tapi kenyataannya begitu.
Strategi mengikat konsumen dengan utang
Ceritanya Begini. Suatu ketika, tetangga saya mau mengadakan hajatan. Tentu saja dia membutuhkan sayur-sayuran untuk mendukung suksesnya acara tersebut. Nah, masalahnya, ternyata tetangga saya ini pas-pasan saja modalnya. Di situlah, tukang sayur keliling melakukan manuver.
Seorang tukang sayur keliling menawarkan jasa untuk mencukupi kebutuhan sayur ketika hajatan. Kok si tukang bisa tahu? Ya karena jaringan pergosipan yang kita bahas di atas. Lantaran terdesak kebutuhan hajatan, tetangga saya menerima “bantuan” itu.
Tetangga saya mendapat jaminan sayuran segar. Nilai plusnya adalah tetangga saya nggak perlu pusing soal membayar sayuran dalam jumlah banyak itu. Sudah dapat sayuran segar, diantar sampai depan rumah, bayarnya bisa mencicil lagi.
Bagus sebetulnya, simbiosis mutualisme terjadi dalam transaksi tersebut. Namun, tanpa disadari, tukang ini mengikat si konsumen dengan “konsep utang”. Apalagi di budaya Jawa, ada konsep rasa pakewuh.
Jadi begini. Tetangga saya merasa si tukang tadi punya andil besar dalam hajatan penting itu. Oleh sebab itu, tetangga saya jadi nggak enak hati kalau belanja di tukang sayur lain. Sudah begitu si tukang menawarkan fitur utang dan cicilan lagi.
Akan menjadi masalah ketika kualitas produk menurun. Tetangga saya tetap akan membeli di sana karena “ikatan emosional” tadi. Tiba-tiba saja semuanya jadi repot.
Begitulah pembaca yang baik. Profesi tukang sayur keliling jelas profesi yang legal dan baik. Namun, di balik semua hal positif, apa saja, pasti ada hal negatif yang mengiringi. Namanya saja kehidupan, semuanya serba seimbang.
Penulis: Faiz Al Ghiffary
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Strategi Tukang Sayur Keliling agar Tidak Rugi