Kalau kalian selama ini mengira kerja di call center itu cuma duduk manis sambil ngopi, lalu sesekali jawab telepon sambil scroll Instagram, percayalah: itu cuma mitos yang lebih menyesatkan daripada promo “kuota unlimited” yang ternyata dibatasi FUP.
Teman saya, sebut saja Lisa (nama samaran), sudah tiga tahun jadi agent call center di sebuah provider telekomunikasi. Satu malam, sambil menunggu bakso tetelan langganan, dia cerita kalau pekerjaannya bukan sekadar “halo-halo” ramah di telepon.
“Aku kerja sambil nahan marah, nahan nangis, bahkan kadang nahan pipis,” katanya.
Saya awalnya ketawa, tapi ternyata ini bukan bahan komedi. Ini realitas.
Makian, SOP, dan Salah Paham Se-Indonesia Raya
Call center itu seperti tempat pembuangan akhir emosi pelanggan. Sinyal lenyap, kuota mendadak habis, tagihan melonjak, bahkan kekecewaan hidup yang tidak ada hubungannya sama sekali—semuanya tumpah di telinga agent.
Masalahnya, agent hanya penyambung lidah. Eksekusi ada di tim lapangan atau divisi lain. Tapi di mata pelanggan, agent adalah perusahaan itu sendiri.
“Bilang aja perusahaan kalian malas. Masa masalah kayak gitu harus nunggu tiga hari?”
“Ini prosedur, Pak. Sesuai SOP”
“Ngeles aja kamu! Dasar tukang bohong!”
Lisa bilang, itu termasuk yang masih “halus”. Sisanya? Lebih pedas dari sambal terasi yang dimakan pakai cabe rawit mentah.
Agent call center: gaji nggak banyak, ganti rugi dari kantong sendiri
Kalau ada pelanggan yang salah langganan paket atau lupa mematikan layanan berbayar, tagihannya tentu membengkak. Lalu komplain. Dan kadang meminta ganti rugi. Bukan dari perusahaan, tapi dari kantong pribadi: agent diminta “ganti rugi”.
“Gaji sebulan aja pas-pasan buat kos, makan, bensin, dan kirim ke kampung. Masih harus keluar uang buat nutupin tagihan pelanggan yang nggak baca syarat dan ketentuan,” kata Lisa.
Kalau hidup ini ujian kesabaran, agent call center itu pesertanya. Dan sayangnya, hadiahnya bukan emas 10 gram, tapi SP kalau rating pelayanan jeblok.
Pelecehan berkedok komplain
Bagian ini bikin saya geram. Ada saja penelepon yang menelepon bukan untuk tanya promo atau komplain layanan, tapi melakukan hal tak senonoh sambil bicara.
Lisa pernah mengalami, awalnya mengira penelepon itu sesekali terengah karena sinyal jelek. Tapi makin lama, kok desahannya makin intens. Langsung end call dan lapor. Sayangnya, kejadian ini bukan kejadian yang langka.
Jam kerja call center 24 jam. Malam memang rawan, tapi justru pagi dan siang lebih sering karena agent perempuan lebih banyak di jam ini. Sampai sini saya cuma bisa bengong. Kok bisa ada manusia yang menjadikan layanan pelanggan sebagai layanan hiburan pribadi?
Agent call center: tameng sekaligus tumbal
Lisa menutup ceritanya dengan satu kalimat yang membekas:
“Kami ini garda terdepan, tapi juga garda terbelakang. Di depan, kami jadi tameng perusahaan. Di belakang, kami sering jadi tumbal kebijakan yang nggak masuk akal.”
Dan benar saja, selama ini kita sering memaki orang yang salah. Kita mengira agent call center adalah otak di balik kebijakan perusahaan, padahal mereka cuma juru bicara yang kebetulan suaranya terdengar paling jelas.
Besok kalau nelpon, ingat ini
Besok atau lusa kalau nelpon call center, entah karena kuota hilang atau tagihan nyeleneh, ingatlah: di balik suara ramah itu ada orang yang juga punya batas sabar, punya cicilan, dan ingin hidup dengan layak.
Kalau mau marah, marahlah pada kebijakan, bukan pada orang yang cuma membacakannya. Dan mungkin—siapa tahu—satu-satunya hal yang lebih lelah dari sinyal provider adalah mental agent call center itu sendiri.
Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pengalaman Suram Fresh Graduate Kerja Jadi Operator Call Center yang Punya Banyak Sisi Gelap
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

















