Sinoman: Sekelompok Pemuda yang Jadi Kunci Sukses Resepsi Pernikahan

Pernikahan Saat Pandemi Mengatasi Malu dan Gengsi terminal mojok.co

Pernikahan Saat Pandemi Mengatasi Malu dan Gengsi terminal mojok.co

Jika berbicara tentang resepsi pernikahan di kultur Jawa, rasanya tidak adil kalau tidak membicarakan sinoman. Bagi masyarakat Jawa terutama kaum pria, mereka tentu bukan istilah atau kelompok yang asing. Mereka adalah sekelompok pemuda (biasanya masih melajang atau belum menikah) yang membantu orang yang sedang mempunyai hajat atau resepsi pernikahan. Mereka bisa dibilang bagian dari rewang, yang kalau kata Mbak Theresia Eva Hapsari dalam tulisannya sebagai konsep selanjutnya dari gibah versi 2.0. Namun, lingkup sinoman tentu lebih terbatas: Hanya kaum pria dan biasanya lebih suka minum-minum daripada gibah

Ruang kekuasaan mereka pun bisa dibilang cukup besar dalam sebuah resepsi pernikahan. Mereka mengurusi sajian makanan, sajian jajanan, dan mengurusi sirkulasi piring dan perabot makan lainnya. Mereka juga bertanggung jawab supaya makanan yang tersaji selalu penuh. Itu kalau prasmanan. Kalau sistem “piring terbang”, ya siap-siap fisik dan mental mengantarkan ratusan piring ke tangan tamu-tamu saja. Tidak jarang mereka juga mengurusi meja dan kursi untuk para tamu yang hadir. Mulai dari menata meja dan kursi hingga merapikannya kembali setelah resepsi selesai.

Sebagai anggota sinoman, ada rasa bangga yang muncul di dalam diri saya ketika berkali-kali dipercaya untuk menjadi “juru laden” dalam resepsi pernikahan. Orang yang punya hajat akan datang beberapa hari sebelum hari-H, meminta secara langsung untuk menjadi sinoman. Kalau di tempat saya, ada namanya “lurah sinoman”, orang yang mengoordinasi pemuda yang bakal tergabung. Siapa saja yang akan menjadi sinoman dalam sebuah resepsi biasanya akan dipilih oleh si lurah secara bergantian.

Saya cukup beruntung, karena saya cukup sering dipercaya sebagai sinoman. Ini artinya, saya dipercaya mengurusi perut dan kebahagiaan orang banyak yang mana itu bukan tugas mudah. Tidak heran kalau sinoman ini bisa dikatakan sebagai kunci dari kesuksesan sebuah resepsi pernikahan. Itu juga berarti bahwa saya harus menyiapkan fisik dan mental setidaknya untuk tiga hari. H-1 untuk persiapan, hari-H, dan h+1 untuk beres-beresnya.

Banyak sekali keuntungan ketika kita menjadi sinoman. Mulai dari bebas makan apa saja yang ada, diberi jatah rokok 2 atau 3 kali sehari, hingga jatah “jamu” yang cukup banyak setelah acara selesai. Tentu jamu yang dimaksud adalah minuman keras yang sudah menjadi tradisi ketika selesai acara. Jadi, mereka ini akan mendapat jatah beberapa botol minuman keras sebagai “jamu” setelah bekerja seharian. Mereka biasanya juga mendapat pesangon atau amplop dari yang punya hajat, meskipun sistemnya sebenarnya sukarela dan saling bantu saja. Akan tetapi, ya lumayan, lah, 100-200 ribu bisa masuk kantong.

Semua hal tentu ada tidak enaknya, termasuk menjadi sinoman. Tidak jarang kami menemui orang punya hajat yang menyebalkan. Ada yang ribet sendiri sehingga mengganggu kerjanya sinoman, ada juga yang tidak percaya dengan apa yang sinoman kerjakan. Misalnya, masalah penataan meja prasmanan. Sebagai sinoman, saya tentu paham bagaimana enaknya menata meja prasmanan sehingga pergerakan orang-orangnya lebih nyaman. Si empunya hajat kadang tidak suka dengan tatanan tersebut dan akhirnya merombak lagi tatanan tersebut. Walhasil, ketika acara sedang ramai, pergerakan orang-orang tidak teratur dan sinoman lah yang disalahkan.

Sinoman ini adalah wujud nyata bagaimana pengabdian kepada masyarakat, apalagi bagi saya yang hidup di lingkungan desa yang masih “guyub”. Bukan sekadar pengabdian kosong, tetapi lebih seperti simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Saya bantu mereka sekarang dan mereka bisa bantu saya nanti. Bahkan sampai ada sindiran kepada pemuda yang tidak mau bergabung dengan sinoman. Sindirannya adalah kalau dia nanti menikah, maka jangan minta bantuan pada sinoman. Ya, itu hanya sindiran saja. Toh, kalau dia sampai menikah, kami harus bantu juga.

Maka tidak heran keberadaannya ini bukan hanya penting ketika resepsi pernikahan. Keberadaannya ini juga penting dalam kultur kehidupan masyarakat Jawa yang masih mempertahankan guyub rukunnya. Sebagai pemuda, tidak perlu malu untuk menjadi sinoman. Jadi sinoman harusnya bangga, bangga bisa berguna untuk masyarakat. Saya percaya satu hal, mereka tidak akan punah, meskipun moderenisasi dan jasa katering untuk resepsi pernikahan semakin banyak.

BACA JUGA Rawon, Makanan Primadona Ketika Resepsi Pernikahan dan tulisan Iqbal AR lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version