Sebagai profesional, saya cukup gremetan melihat tingkah laku wajib pajak (WP) yang terkadang menjengkelkan dan sok tahu. Pekerjaan saya sehari-hari memang sebagai konsultan pajak yang tugasnya mendampingi wajib pajak jika bermasalah dengan urusan perpajakan. Ibarat sebagai dokter, konsultan pajak itu mengobati urusan-urusan pajak.
Bolak balik ke kantor pajak memang sudah menjadi tugas saya sehari-hari, eyel-eyelan dan adu pendapat dengan fiskus juga menjadi makanan saya sehari-hari, tapi kalau sudah berhadapan dengan WP yang sok kemen slentheng dan nggak kepengin diatur, terus terang saja saya angkat tangan. Alhamdulillah-nya, saya punya klien yang masih mau dan bisa dikontrol, meskipun awalnya “begitu”, lambat laun akhirnya manut juga ke konsultannya.
Di kantor pajak juga banyak sekali cerita-cerita aneh dari wajib pajak lain di luar klien saya. Nggak sengaja saya yang cuma nguping, malah jadi ikutan mangkel. Meskipun hari-hari saya dan fiskus ada tandem dan lawan kerja, tapi untuk memberikan pemahaman kepada klien dan WP tugas kami sama.
Pada dasarnya, tidak ada alasan bagi WP untuk tidak mengetahui isu-isu update apa saja yang ada di sekitar dunia perpajakan. Toh, sekarang ini apa-apa serba digital dan online, tentu googling saja sudah lebih dari cukup untuk mengetahui info terbaru. Sama saja kok sebetulnya kalau kita ke bank, ke kantor pajak pun punya metode-metode yang sama. Asal si WP mau membaca dan mencari tahu kalau ada masalah terkait perpajakan, bukan marah-marah dan mengeluh ribet. Situnya juga yang harus aktif.
Di sisi lain, wajib pajak pun ada yang sudah sepuh dan (mohon maaf) agak gaptek, sehingga sulit memahami: gimana sih caranya berurusan dengan administrasi perpajakan? Nah, tugas fiskus harus mau mendampingi dan mengarahkan. Sementara wajib pajak yang milenial dan yang berusia produktif, harusnya mau banyak membaca dan bukan banyak beretorika.
#1 Wajib pajak mudah mengeluh
Poin ini adalah hal yang sangat sering saya temukan di lapangan. Bahkan setelah saya menulis artikel ini, mungkin ada beberapa wajib pajak yang tidak setuju dengan saya. Semenjak mulai berkembangnya revolusi industri 4.0, seluruh instansi di Indonesia, khususnya yang berkaitan langsung dengan masalah ekonomi mulai melakukan penyesuaian. Di DJP (Direktorat Jenderal Pajak), salah satunya adalah dengan penerapan big data untuk mempermudah instansi tersebut mendata identitas wajib pajak itu sendiri.
Dampaknya, sistem perpajakan di Indonesia mulai menyesuaikan dengan perkembangan zaman, yaitu digitalisasi secara massal. Hampir di seluruh unit vertikal di DJP yang biasa pembaca sekalian ketahui yaitu KPP (Kantor Pelayanan Pajak) Pratama, meminta WP untuk melaporkan kewajiban pajaknya melalui online dengan cukup mengakses DJP Online. Tujuannya tidak lain dan bukan untuk mempermudah kedua belah pihak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya tanpa harus repot-repot datang ke kantor pajak, antre, dan lain sebagainya. Cukup kerjakan SPT-nya di software E-SPT dan laporkan di DJP Online. Selesai, kan?
Faktanya, beberapa kali saya melihat wajib pajak marah-marah di kantor pajak dengan dalih, “Saya ini mau laporan pajak, kok, malah dipersulit? Masih mending lho saya mau jauh-jauh datang ke kantor pajak buat laporan….”
Yup, secara inisiatif diri saya betul-betul mengapresiasi WP tersebut. Namun, kalau yang bersangkutan mau mengedukasi diri tanpa harus marah-marah, malah mempermudah dirinya sendiri, lho. Tanpa harus ia mengeluarkan ongkos dan tenaga ke KPP. Dia hanya cukup modal kuota internet saja untuk laporan pajak.
Kalau diberitahu, marah-marah. Dikasih yang mudah, bilangnya nggak ada sosialisasi terlebih dahulu. Se-ketinggalan zaman itu, kah? Bikin akun Facebook dan Instagram saja bisa, masak mencari tahu laporan pajak secara online saja nggak bisa?
Dengan dalih digitalisasi yang saat ini diterapkan oleh DJP, justru berbanding lurus pula dengan keluhan wajib pajak yang merasa bahwa laporan pajak saat ini ribet, berbelit-belit, susah. Akibatnya kewajiban pemenuhan perpajakannya yang harusnya rutin dilakukan malah ditinggalkan.
Coba, deh, sekali-kali lihat Twitter, YouTube, atau Instagram-nya DJP, mereka komunikatif, kok, mencerahkan pula. Saya rasa nggak ada ruginya WP untuk melakukan pendekatan secara edukatif melalui channel DJP yang sudah mengikuti zaman. Jadi WP pun nggak ndeso-ndeso amat buat laporan pajak. Jangan bilang sulit dulu kalau belum mencoba. Coba deh tanya saja sama Redakturnya Terminal, mereka laporan pajak lewat apa ? Pasti lewat online, kan? Eh, jangan-jangan nggak pernah laporan pajak lagi ?
Ingat, Gengs, jangan hanya laporan pajak saat ada kredit di bank saja. Kalau sudah punya NPWP, tanggung jawabnya juga harus dipenuhi.
#2 Wajib pajak masa bodoh dengan perkembangan DJP
Ketika DJP melakukan pendekatan secara digitalisasi massal, mulai dari pelaporan sampai permohonan lainnya melalui online, tampaknya tidak dipedulikan oleh kebanyakan wajib pajak. Coba saya tanya kepada pembaca sekalian apakah ada yang familiar dengan EFIN, ID Billing, E-Filling, E-Form, E-Reporting, E-Bupot, E-Faktur, KSWP, E-SKD? Saya yakin ketika pertama kali membaca banyak yang tidak kenal dan familiar secara langsung. Padahal beberapa fitur yang saya sebutkan tadi adalah beberapa fitur yang memang disediakan oleh DJP untuk mempermudah urusan administrasi perpajakan WP itu sendiri.
Hal yang saya tangkap selama ini, inisiatif wajib pajak untuk mengurus administrasi dan pemenuhan kewajiban perpajakan adalah karena keterpaksaan suatu hal. Tidak jauh dari urusan kredit dan bank, barulah WP berbondong-bondong mengurus keperluan perpajakannya di kantor pajak.
Melihat perkembangan dan digitalisasi yang dilakukan oleh DJP, tentu akan membuat WP shock dan bingung sendiri. Seakan-akan hal tersebut asing dan terlihat rumit, padahal kalau mau belajar dan mencari tahu dulu, tentu akan mempermudah urusannya di kantor pajak. Apalagi kalau ke kantor pajak hanya untuk mengurus NPWP, setelah itu ditinggal nggak tau ke mana. Kalau ada surat imbauan dari kantor pajak, baru datang lagi.
Perilaku masa bodoh seperti itulah yang kadang-kadang justru merugikan wajib pajak itu sendiri. Padahal, dengan mengurus NPWP maka WP punya tanggung jawab secara moril untuk ikut berkontribusi kepada negara, dengan cara melaporkan dan menyetorkan pajak dari penghasilan yang diterima oleh masing-masing NPWP. Bukan hanya sekali mendaftar NPWP lalu ditinggal begitu saja. Sadari bahwa fasilitas yang selama ini kalian gunakan ada kontribusi besar dari penerimaan pajak juga di dalamnya. Perkara pilihan politik, itu urusan lain, tapi yang jelas selama WP ikut memanfaatkan fasilitas negara seperti jalan raya, jalan tol, dan lainnya, maka sudah seharusnya WP juga ikut berkontribusi kepada negara. Poinnya di situ kok, jangan masa bodoh, ya.
#3 Wajib pajak ragu dengan petugas pajak
Perkara yang satu ini cukup sensitif. Masih ingat dengan kasus Gayus Tambunan beberapa tahun lalu? Adanya kasus tersebut, tentu mencoreng institusi besar DJP dibawah Departemen Keuangan (saat itu namanya masih DepKeu) dan membuat citra fiskus di seluruh Indonesia hancur. Bahkan wajib pajak pun saat itu menganggap semua petugas pajak “sama saja” dengan dia.
Fakta tersebut juga kadang masih saya dengar di lapangan. Bila istirahat tiba, jika saya sedang ada tugas di kantor pajak, saya masih mendengarkan curhatan WP-WP yang seperti itu. Ada cerita bahwa petugas pajak begini lah begitu lah, yang hanya bisa saya balas dengan anggukan kepala dan senyum tipis.
Argumen ini menjadi argumen pembelaan saya kepada seluruh petugas pajak di Indonesia. Yup, betul sekali. Petugas pajak itu hanya manusia biasa. Kurang lebih, sempurna atau tidak adalah keterbatasan dan kelebihan yang mereka punya.
Banyak kok di luar sana, petugas pajak yang bersih dan lurus-lurus saja. Hanya saja, rasa traumatik yang masih besar dari beberapa WP yang menganggap bahwa petugas pajak “sama saja” dengan yang dulu-dulu. Saran saya sih, petugas pajak banyak senyum dan sabar menghadapi karakter dari masing-masing wajib pajak. Adakalanya tegas diperlukan tanpa harus marah-marah.
Citra petugas pajak itu sangat penting menurut saya. Dengan diterapkannya zona integritas di seluruh kantor pajak di Indonesia, menjadi tanggung jawab moral penting bagi petugas pajak untuk menjaga citranya tetap baik di mata wajib pajak. Saya yakin, semakin bagus citra petugas pajak, semakin banyak juga kok WP yang akan patuh dengan kewajiban perpajakan mereka.
BACA JUGA Urgensi Kepemilikan NPWP yang Harus Dipahami oleh para Wajib Pajak dan tulisan Muhammad Abdul Rahman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.