Sifat Teman Bikin Males: Suka Cerita Tanpa Diminta & Kalau Dinasihati Jawabnya ‘Tapi…’

saya memang begitu orangnya, keburukan orang lain. teman lama ngontak lagi, orang datang pas butuh doang sifat teman menyebalkan bikin dijauhi teman suka ngomong sendiri suka cerita tanpa ditanya nggak mau dinasihati mojok.co

orang datang pas butuh doang sifat teman menyebalkan bikin dijauhi teman suka ngomong sendiri suka cerita tanpa ditanya nggak mau dinasihati mojok.co

Ada dua penyebab saya menulis artikel ini. Pertama, karena beberapa hari yang lalu ada sebuah utas di Twitter, seingat saya, judulnya seperti ini, “DIDEKETIN 4 COWOK SATU TONGKRONGAN SEKALIGUS”. Alis saya otomatis naik, “Hm???” Sayang sekarang utasnya sudah dihapus. Kedua, karena pertanyaan saya di paragraf selanjutnya.

Saya suka ngobrol. Tapi dari kegiatan ngobrol itu, aktivitas yang paling saya suka adalah mendengar. Saya suka kalau ada orang mau cerita apa pun dan ngobrol tentang apa pun sama saya, termasuk kehidupan pribadi. Bagi saya, cerita hidup orang itu sama menariknya seperti baca buku dan nonton film; sama-sama selalu ada hal yang bisa diambil, minimal sebagai hiburan.

Tapi, karena satu kejadian, yang terjadi saat saya makan siang bersama teman-teman saya sebelum masa self-quarantine, saya baru paham memang ada orang yang bisa membuat kita enggan mendengarkan ceritanya dan kehilangan respek.

Beberapa bulan yang lalu saya mulai sering mengobrol dengan seorang teman kampus yang awalnya tidak begitu dekat, hanya sebatas kenal. Teman saya itu perempuan, panggil saja Gibran.

Beberapa bulan yang lalu Gibran bercerita sendiri kepada saya tanpa diminta tentang hal-hal yang tidak saya tahu soal kenapa dia dijauhi teman-temannya. Jadi sekitar tiga tahun yang lalu, pertengahan tahun 2017, Gibran ini pernah dijauhi oleh teman-teman terdekatnya. Yang saya tahu saat itu, masalah kepemimpinan organisasi. Saya memang suka mendengar orang becerita tapi secara personal, bukan ikut campur drama orang lain. Jadi, saat itu saya nggak kepo-kepo banget kenapa Gibran bisa dijauhi teman-teman dekatnya.

Gibran mengaku ia difitnah oleh teman perempuan dalam lingkungan pertemanan terdekatnya, panggil saja Agus. Saya percaya cerita Gibran karena saya juga pernah diperlakukan tidak baik dan beberapa kali menyaksikan langsung Agus ini berkata hal yang berbeda kepada pihak A dan pihak B. Ya seperti adu domba.

Mendengar cerita Gibran, saya jadi bersimpati.

Tapi semakin saya sering mengobrol dengan Gibran, semakin saya mengenal Gibran, saya justru punya penilaian lain. Gibran ini tidak jahat. Dia bertanggung jawab. Dia cukup cerdas, cekatan pula. Tapi hal paling menyebalkan dari Gibran ini adalah ia selalu bertingkah seolah orang-orang yang tidak sejalan dengan cara ia berpikir itu salah. Dan dia selalu membuat saya merasa seolah-olah saya tidak mengenal siapa-siapa di kampus, tidak seperti Gibran yang katanya kenal dengan mereka semua.

Dia juga selalu berusaha mendeklarasikan diri sebagai perempuan yang didekati banyak laki-laki. Beneran deh. Saya senang kalau teman saya—memang—benar-benar didekati banyak laki-laki. Tapi, apa benar begitu?

Sering sekali ketika saya membicarakan sesuatu atau seseorang yang tidak ada hubungannya dengan status kedekatan Gibran dengan orang seseorang, selalu diinterupsi dengan kalimat-kalimat yang mendeklarasikan bahwa dia dekat dengan orang yang saya bicarakan. Misalnya, saya pernah bilang, “Tadi ada Didi ke gedung lho. Itu lho, anak desain produk angakatan veteran yang disuka sama Tia (teman dekat saya yang lain). Yah, sayang banget Tia nggak lihat.”

Lalu Gibran menjawab dengan angkuh, “Oh, iya tahu. Aku kenal sama Didi. Kita pernah ngobrol. Teman ya dia itu, Rio, waktu itu pernah deketin aku.”

Saya bingung. Perasaan saya nggak nanya kalau temannya Didi itu pernah deketin Gibran atau nggak. Kalimat yang saya ucapin sebelumnya itu kalimat pernyataan, bukan pertanyaan.

Atau ketika di lain waktu saya makan bersama teman-teman yang lain dan Gibran juga ada di sana, tiba-tiba Gibran senyum-senyum melihat ponselnya dan memesan makanan lain, dibungkus. Saya tanya, “Buat siapa?”

Gibran jawab sambil senyum malu-malu, “Buat Rahim.”

Saya nggak curiga apa-apa tapi tiba-tiba Gibran bilang, “Aku udah tiga hari chat intens sama Rahim. Padahal dia tuh nggak gini ke temen-temennya.”

Ingin saya teriak ALLOHUAKBAR GIMANA BISA NITIP MAKANAN DOANG DIANGGAP SUKA???

Ingin juga saya balas, “Gibran sayang, Rahim orangnya memang ramah dan suka ngobrol. Waktu aku kerja profesi di luar pulau pun Rahim orang pertama yang bertanya kabar, teman ngobrol intens seminggu, tapi nggak sedikit pun kepikiran di kepala aku kalau Rahim itu naksir sama aku. Itu namanya berteman, Gibran.”

Alasan kenapa saya nggak bilang ke Gibran adalah karena Gibran itu orang yang nggak mau kalah. Kalau saya bilang, pasti selalu ada “tapi” sebagai sanggahan. Sudah pernah saya beda pendapat sama Gibran dan selalu begitu. Capek saya. Jadi lebih baik saya diam sambil senyum-senyum mengiyakan.

Sebagai perempuan selama lebih dari dua puluh tahun, saya sendiri masih bingung mengapa perempuan nggak suka kalau diperlakukan seperti objek tapi merasa bangga ketika didekati banyak laki-laki? Jujur, saya sendiri merasa senang kok kalau saya update swafoto di instastory terus banyak DM yang masuk. Walaupun sebenarnya saya lebih suka dapat komentar positif dari teman sesama perempuan daripada laki-laki. Tapi toh, kalau ada laki-laki (ganteng) yang muji pun saya senang-senang saja.

Dari dua kejadian di atas, soal Gibran dan utas Twitter dimana penulisnya mendeklarasikan kalau mereka ini perempuan yang sedang banyak didekati oleh laki-laki, saya jadi bertanya-tanya. Apa ada standar khusus dimana kita bisa bilang kalau kita itu betul-betul sedang didekati oleh seseorang atau kita nya saja yang kegeeran?

Salah satu hal penting yang saya pelajari—dari pengalaman pribadi—di perkuliahan soal persahabatan beda gender adalah nggak peduli seberapa dekat kamu sama seseorang, nggak peduli sesering apa kalian jalan bareng, sepeduli apa orang itu sama kamu, sebanyak apa hal-hal yang sama-sama disukai atau dibenci, kalau laki-laki itu nggak pernah bilang secara verbal dan jelas kalau dia itu suka sama kamu, ya artinya emang nggak. Jangan langsung kegeeran dan banyak ambil asumsi.

Soal self-branding, saya selalu ingat ini.

“Any man who has to say ‘I am the King’ is not true king.”

– Tywin Lannister

Justru ketika seseorang kebanyakan mendeklarasikan soal dirinya sendiri, saya malah jadi makin ragu. Apa iya begitu? Kalau boleh dibandingkan, saya pun punya teman yang cantiknya luar biasa. Tidak perlu dia cerita dan berkoar-koar pun, saya tahu kalau dia itu didekati oleh BANYAK sekali laki-laki di kampus. Dan saya jadi semakin respect sama teman saya itu. Dia tahu dia siapa, dia biarin orang yang bilang hal-hal baik soal dirinya, bukan dia sendiri. Hebat, ya, orang kayak gitu tuh?

Mungkin, selain karena difitnah, alasan lain orang seperti Gibran dijauhi oleh teman-teman dekatnya adalah karena dirinya sendiri; merasa selalu benar, tidak mau kalah, dan terlalu banyak mendeklarasikan diri yang tidak pada tempat dan waktunya.

BACA JUGA Rasanya Punya Mantan yang Menikah dengan Sahabat Sendiri

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version