Aturan untuk tidak berkerumun dan kontak fisik dalam jumlah yang banyak kadang menguntungkan juga. Teknologi benar-benar berguna secara penuh dalam situasi seperti ini. Salah satunya bagi mahasiswa, yang tidak perlu ada kelas, bimbingan skripsi, dan sidang skripsi tatap muka. Semua dilakukan secara online atau daring. Beberapa mahasiswa memang ada yang dirugikan dengan sistem online ini, di mana mereka harus tetap membayar penuh, meskipun tidak ada fasilitas kampus yang terpakai. Namun itu soal lain, yang tidak akan dibahas di sini.
Perkara sistem perkuliahan online ini memang agak mengejutkan, mengingat tidak banyak yang pernah atau bahkan sudah melakukannya. Sebagian besar kampus (sebelum pandemi) masih terpaku dengan sistem offline, yang kita tahu betapa ribetnya itu. Maka tidak heran kalau sistem online yang baru hampir satu tahun ini berjalan (akibat pandemi) masih terasa cukup asing bagi mahasiswa. Oke lah kalau untuk urusan kuliah sehari-hari, masih bisa pakai Zoom, Google Meet, atau sekadar grup WhatsApp. Untuk urusan lain semacam bimbingan skripsi, sidang skripsi, atau mengurus yudisium pasca sidang, ini juga tidak kalah ribet.
Untuk urusan bimbingan skripsi hingga sidang skripsi secara online, memang kesannya kita dipermudah. Namun, kenyataannya, tidak semudah itu. Bimbingan skripsi secara online saja kita masih bingung, apakah dosennya bersedia atau tidak. Kalau pun bersedia, apakah dosennya dapat melayani bimbingan dengan maksimal atau tidak. Itu masih jadi kendala sistem online-online ini. Ini jelas berbeda dengan sistem offline, yang kita tahu jadwal dosennya, dan kita tinggal datang saja ke orangnya, meskipun kadang mahasiswanya di-PHP oleh dosen.
Proses menuju sidang skripsi pun sama. Misalnya, ketika kita meminta tanda tangan dosen untuk lembar persetujuan sidang, kita memang hanya tinggal mengunggah suratnya dan menunggu ditandatangani oleh dosen. Namun, permasalahannya adalah ada beberapa dosen yang masih gaptek dan awam dengan sistem online ini. Jadinya, untuk urusan tanda tangan persetujuan sidang, bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan bisa sampai seminggu. Kalau offline kan enak, tinggal datang saja ke orangnya langsung (asal semua persyaratan sudah selesai), lalu serahkan lembar persetujuan ujian, minta tanda tangan, selesai, meskipun kadang ada ribet-ribetnya juga. Disuruh ini lah, itu lah.
Itu masih proses menuju sidang skripsi. Ketika sidang skripsi pun juga mengalami kendala serupa, meskipun ribet-ribet banget. Sidang skripsi secara online ini memang kurang greget, seperti tidak ada pressure yang biasa muncul ketika sidang offline. Saya adalah satu dari sekian banyak orang yang mengalami sidang skripsi secara online, di mana rasanya seperti ujian biasa, hanya saja yang diujikan lebih susah. Tidak ada grogi yang sampai keringat dingin, tidak ada tekanan apa-apa, hanya takut kalau tiba-tiba internetnya mati saja. Sidang skripsi tanpa tatap muka itu rasanya seperti makan ayam geprek tanpa sambal, kurang lengkap.
Selesai sidang online, keribetan akibat sistem online-online ini masih berlanjut. Revisi skripsi, misalnya, akan mengulang proses seperti bimbingan online di awal. Ada lagi ketika meminta tanda tangan untuk lembar pengesahan skripsi secara online, yang mana mencakup tanda tangan pembimbing, penguji, kepala jurusan, dan dekan. Ribetnya adalah, dosen-dosen yang belum terbiasa online ini kadang lupa mengecek pengajuan surat online. Jadinya, untuk urusan tanda tangan saja bisa memakan waktu satu hingga dua pekan. Saya salah satu korbannya, ketika beberapa waktu lalu saya mengajukan lembar pengesahan untuk skripsi saya, butuh waktu hampir dua pekan baru bisa keluar lembar pengesahannya. Alasannya, ada salah satu dosen yang lupa mengecek layanan pengajuan surat.
Proses yudisium juga sama ribetnya. Dokumen-dokumen yang harus diunggah secara online terpaksa harus di-scan dulu, lalu dikecilkan ukurannya, baru bisa diunggah. Ini jadinya kan kerja berkali-kali. Coba kalau offline, kan tidak perlu unggah ini itu, tinggal kumpulkan saja dokumennya, lalu diserahkan ke pihak akademik kampus. Sekali kerja, selesai. Prosesnya pun bisa dibilang tidak seribet yang online ini.
Sebenarnya, ribet-ribet urusan online di dunia perkuliahan ini penyebabnya hanya satu, yaitu keterbiasaan. Berhubung kampus tempat saya kuliah masih kurang terbiasa, jadinya ya ribet, masih kaget dengan sistem online-online ini. Kalau kampusnya sudah terbiasa online, ya pasti tidak ada banyak kendala. Intinya, kalau memang dunia perkuliahan ke depannya akan jalan dengan sistem online, cobalah sistemnya diperbaiki supaya mudah digunakan dan tidak ribet. Ke-gaptek-an di kalangan dosen juga harus diberantas. Mahasiswanya sudah belajar canggih, masa iya dosennya masih kolot.
BACA JUGA 4 Tips Jitu agar Tambah Molor Mengerjakan Skripsi dan tulisan Iqbal AR lainnya.