Berbicara mengenai organisasi kampus, kita akan mendapatkan tanggapan yang berbeda dari dua generasi yang berbeda. Jika kita bertanya pada generasi milennial ke atas, mereka akan menjawab bahwa organisasi kampus adalah salah satu bentuk dinamika terbaik dalam fase perkuliahan yang penuh gengsi, manfaat, dan hal-hal hiperbola lainnya.
Berbanding terbalik jika kita menanyakan hal yang sama ke muda-mudi Gen Z saat ini. Persepsi mereka terhadap organisasi kampus berbanding terbalik dengan milenial. Pernyataan seperti mending magang lah, mending kupu-kupu lah, mending turu, serta segala mendang-mending yang lainnya jadi hal yang lebih berfaedah ketimbang ikut organsisasi.
Adanya hal tersebut menampakkan sebuah fenomena yang menarik, yakni mulai runtuhnya masa kejayaan organisasi kampus di kalangan mahasiswa. Bukti keruntuhan tersebut dapat dilihat dari penurunan antusiasme yang signifikan dari para mahasiswa untuk bergabung ke organisasi kampus. Bahkan untuk sekadar mengikuti event-event yang diselenggarakan organisasi kampus tersebut saja malas. Dan kalo boleh jujur, itu juga yang sedang saya alami langsung saat ini. Jumlah peminat oprec organisasi internal kampus yang saya ikuti turun secara mengenaskan dibanding jumlah peminat di oprec-oprec sebelumnya.
Kelakuan “menggemaskan” organisasi mahasiswa
Jika kita kulik permasalahan ini, sebenarnya dapat dengan mudah kita temukan bahwa salah satu faktor terbesar dari runtuhnya kejayaan organisasi kampus ini adalah kelakuan-kelakuan “menggemaskan” dari organisasi itu sendiri. Mulai dari maraknya ajang senioritas, slogan kekeluargaan yang ternyata keluarga “broken home”, sampai program-program danusan kuno seperti jualan risol atau paid promote yang ngerusak feed IG. Kelakuan-kelakuan menggemaskan ini tentunya cukup untuk menyentil hati dan pikiran para mahasiswa. Dan itu menyumbang anggapan bahwa mengikuti organisasi kampus lebih banyak dramanya dibanding benefit-nya.
Tapi selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, sejatinya ada satu faktor lain yang sering terlewat dari perhatian masyarakat, yakni perubahan pola pikir masyarakat yang mulai menjadi sangat materialistis. Mungkin buat yang belum tahu, pola pikir materialistis adalah pola pikir yang terkait dengan ideologi filsafat materialisme. Ideologi materialisme ini adalah ideologi yang berpandangan bahwa hakikat dunia terdapat pada hal-hal material yang “nyata” dan sesuai dengan realitas empiris. Menurut materialisme, Hal-hal yang nonmaterial—seperti ide/keyakinan, entitas ghoib, lemari trofi tottenham—dianggap tidak penting atau bahkan tidak diakui eksistensinya.
Orientasi yang bergeser
Dengan adanya kapitalisme dan industrialisasi, ideologi materialisme tersebut semakin mendarah daging di benak dan pikiran masyarakat seluruh dunia. Semakin hari masyarakat semakin terpaku pada realitas-realitas duniawi sempit seperti harta, tahta, Raisa, Mbak Gita. Di sisi lain, ideologi ini juga membuat kita semakin meninggalkan nilai-nilai filosofi dan spiritual dalam memaknai kehidupan secara lebih dalam.
Lebih jauh lagi, pola pikir materialism tersebut juga semakin menancapkan pengaruhnya di berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali di dinamika para mahasiswa dalam mengisi waktu gabutnya. Adanya dominasi pola pikir materialisme ini sukses membuat para mahasiswa menjadi terpengaruh dalam menentukan aktivitasnya selama kuliah. Dengan orientasi materialis seperti uang dan karier, banyak mahasiswa yang berpindah haluan untuk mengisi aktivitasnya dengan program-program magang, workshop, dan bootcamp skill.
Fenomena masyarakat dan mahasiswa materialis ini bukannya tidak memiliki berkah di dalamnya. Dalam konteks mahasiswa, adanya pola pikir materialisme ini membuat para mahasiswa semakin terpacu untuk produktif. Demi meningkatkan kompetensi dan skill-nya demi menyambut dunia kerja di depannya. Tapi disisi lain, pola pikir materialisme ini juga semakin menyingkirkan aspek moralitas mahasiswa. Narasi-narasi “mahasiswa berbakti” dan dorongan mahasiswa untuk berkontribusi langsung terhadap lingkungan semakin tergerus. Kalah dengan narasi-narasi financial freedom dan financial fafifu lainnya.
Nggak salah juga jadi materialis
Jika kita menarik memori ke belakang, kejayaan organisasi kampus ini dulunya tidaklah lepas dari narasi-narasi idealisme dan moralitas “pengabdian” mahasiswa, baik untuk lingkungan kampus maupun lingkungan masyarakat secara langsung. Tapi, dengan adanya perubahan pola pikir materialistis dan dorongan yang lebih kuat bagi mahasiswa untuk persiapan kariernya, minat mahasiswa untuk berdinamika dalam organisasi dan komunitas menjadi semakin menurun dan dianggap sudah tidak relevan.
Dan kembali lagi kami tegasken (diplomatis mode on), nggak ada yang mutlak salah dalam fenomena masyarakat materialistis ini, sumpah dah. Tapi sebagaimana Nanang Modip pernah berkata, “Manusia dilahirkan untuk manusia-manusia lainnya”.
Quote di atas harus jadi bahan renungan bagi kita semua untuk merenungi kembali persepsi kita terhadap irelevansi organisasi kampus. Karena jika kita berpegang pada quotes di atas, organisasi kampus masih tetep relevan kok. Mengingat salah satu esensi dari organisasi kan sebenernya tentang gimana kita berkolaborasi melakukan sesuatu berdampak yang benefit-nya bisa dirasakan “bersama”. Hal itulah yang terlewat jika kita cuma mogang-magang tok. Magang, tidak bisa dimungkiri, benefit-nya kalo nggak cuma buat diri sendiri, ya buat orang yang mbayar sampeyan (kalo pun dibayar).
Tapi gimanapun juga, nggak adil rasanya kalo kita menutup tulisan ini tanpa melempar saran ke pihak organisasi kampus. Jadi saran saya buat para organisasi kampus, mbok ya kalian itu juga adaptif terhadap perubahan demand masyarakat. Bikin-bikin lah inovasi dari sistem kalian yang nggak berubah-berubah dari zaman Boedi Oetomo itu. Kalo emang masih ngeyel nggak mau berubah, ganti aja deh AD/ART kalian jadi “Komunitas PSSI Wannabe”, biar ada validasi buat mempertahankan status quo ke-minus-an sistem kalian yang mantap betul.
Penulis: Farrel Ahmad Syakur
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Omong Kosong Peran Universitas dalam Mengentaskan Kemiskinan di Jogja