Shuukatsu biasa dilakukan di Jepang oleh para lansia. Mereka seolah tak ingin jadi beban meski sudah meninggal.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Menulis ini saja sebenarnya sudah cukup membuat saya merinding. Memang benar faktanya kalau kita semua akan mati, tapi bagaimana bisa seseorang mempersiapkan pemakamannya sendiri? Tentunya butuh keberanian dan ketegaran hati. Ternyata di Jepang ada, lho, fenomena ini. Mungkin kita bisa belajar dari mereka apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum menghadapi kematian, selain amal soleh tentunya.
Shuukatsu sebagai upaya mempersiapkan kematian sendiri
Shuukatsu berasal dari huruf owari “akhir” dan katsu yang berarti “hidup atau kegiatan”, bisa diartikan sebagai kegiatan atau aktivitas untuk mempersiapkan akhir hidup kita. Seperti yang kita ketahui, 25 persen penduduk Jepang sekarang adalah kaum lansia. Para lansia ini sepenuhnya percaya mereka suatu saat akan meninggal dunia. tapi siapa yang akan mengurus segala sesuatu setelah mereka tak ada, bagaimana pemakaman kelak, itulah yang mereka persiapkan. Kegiatan mempersiapkan pemakaman ini juga bukan sesuatu yang baru di Jepang lantaran fenomena ini sudah ada sejak belasan tahun lalu.
Rasa pekewuh orang Jepang melatarbelakangi fenomena ini. Mereka tidak ingin membebani dan merepotkan orang lain, baik pasangannya sendiri maupun anak dan menantu. Meski kesannya inividualis dan dingin, itulah yang terjadi di Jepang.
Biaya pemakaman di Jepang sangat mahal. Untuk biaya makam/kuburan saja menghabiskan 1.350.000 yen atau sekitar 170 juta rupiah. Biaya pembelian altar Buddha-nya 730.000 yen (sekitar 95 juta rupiah). Pengurusan prosedur kematian dan warisan peninggalan lainnya bisa menghabiskan sampai 2.000.000 yen (sekitar 260 juta rupiah). Itu pun belum biaya yang dikeluarkan untuk upacara ritual pemakamannya yang bisa menghabiskan uang sekitar 1.840.000 yen (sekitar 200 juta rupiah). Bayangkan saja, total biaya persiapan kematiannya kira-kira 700 juta rupiah! Belum termasuk memesan pembaca doa yang harus dibooking jauh-jauh hari. Jangan salah, orang Jepang sangat religius, lho. Mereka bahkan sampai rela merogoh kocek dalam untuk ritual keagamaan ini. Mereka masih mempercayai hal tersebut, kok.
Meski terkesan kurang ajar dan pamali, ada juga sales yang mengiklankan melalui telepon atau brosur dan menawarkan jasa funeral organizer (panitia pemakaman) yang datang kepada para lansia di Jepang. Penawaran tur pemakaman untuk para lansia pun ada. Funeral organizer akan membantu mencarikan tanah pemakaman untuk dibeli sekalian atau disewa saja, memesan batu nisan, peti mati, dan segala tetek-bengek persiapan upacara pemakaman. Bisnis seperti ini termasuk laku dan menjamur di Jepang.
Entah apa yang ada dalam pemikiran para lansia tersebut saat mencoba mempersiapkan itu semua. Apa ya tidak takut dan malah stres sendiri? Saat tur pemakaman melewati para nisan, misalnya. Atau ketika mencoba masuk peti mati satu per satu dengan berbagai jenis dan model dalam pameran peti mati. Bahkan ada juga yang sudah mengukir namanya sendiri di batu nisan yang sudah dipesan meski belum meninggal dunia. Mereka tidak ingin merepotkan anak-anak untuk mengeluarkan biaya tambahan saat mengubah batu nisan. Di Jepang, biasanya satu kuburan digunakan untuk satu keluarga. Abu akan disimpan bersama-sama dalam satu kuburan keluarga.
Karena mahal, ada juga kredit untuk membayar semua biaya pemakaman ini dan bisa mencicilnya sejak masih muda. Masa bekerja banting tulang tiap hari hanya untuk mencicil biaya kematian dan pemakaman nantinya? Kapan bersenang-senang dan menikmati hidupnya? Duh, pusing kan jadinya.
Indonesia: Tabu membicarakan kematian?
Berbeda dengan Jepang, di Indonesia membicarakan kematian adalah hal yang tabu. Jangankan membicarakan di pemakaman mana nanti akan dikubur atau peti mati mana yang akan dipakai, bagi beberapa orang, membicarakan warisan saat masih hidup saja sudah pamali.
Namun, bagi beberapa yang lain, sekarang membicarakan bersama pasangan kemungkinan kalau kita mati juga bukan hal yang aneh. Meski utamanya yang dibahas ya lagi-lagi soal warisan dan keuangan, sih. Hal seperti ini memang sudah selayaknya dibicarakan, syukur-syukur dipercayakan pada pengacara juga. Adegan di sinetron sih ini, hehehe.
Memang ada baiknya juga kita mempersiapkan kematian kita sendiri, selain amal soleh sendiri tentunya. Meski tidak seribet dan semahal Jepang karena Indonesia masih menggunakan asas gotong royong, gratisan atau sukarela, kekeluargaan, makanya tidak banyak juga yang perlu dipersiapkan, kan? Kalau istilah bahasa Jawanya, “gentenan” (gantian). Beban juga jadi ringan.
Pemakaman misalnya, toh sudah ada kuburan di kampung. Hanya saja di daerah perkotaan, seperti Jakarta atau Jogja bagian kota, tanah kuburan sudah semakin sempit dan mahal. Di Jogja, malah ada biaya yang harus dikeluarkan kalau memakamkan jenazah yang bukan warga kampung setempat. Panitia upacara pemakaman juga sudah secara otomatis dilakukan oleh warga setempat dibantu aparatur desa. Kursi, kain kafan, bahkan sampai makanan yang disajikan, dll. sudah dibantu dari perkumpulan RT. Pembaca doa juga sudah menjadi “tugas” pemuka agama setempat. Peti mati juga tak semua berkenan menggunakannya karena ada keranda milik kampung/RT. Makanya tidak perlu mempersiapkannya dengan detail jauh-jauh hari sebelumnya.
Namun, karena semua kemudahan itu, terkadang kita jadi meremehkan dan menganggapnya sepele. Shuukatsu versi Indonesia yang kita lakukan adalah ikut pengajian, rajin ke masjid, memperbanyak amal ibadah untuk bekal di kehidupan setelah kematian, bukan dengan ikut tur pemakaman, memesan batu nisan atau peti mati seperti yang orang Jepang lakukan.
Padahal saat kita melakukan shuukatsu ini, bisa jadi kita akan lebih banyak mengingat mati, kan? Memperbanyak mengingat kematian adalah hal yang bagus karena hal tersebut bisa mengontrol kita untuk berbuat lebih baik dan bijak. Bukankah begitu?
Nasihat-nasihat kematian seperti “Perbanyaklah kalian mengingat kepada sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu maut”, atau “Orang yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah orang-orang yang bijak” juga akan sangat bermanfaat bagi yang masih hidup.
Ada baiknya kegiatan shuukatsu ini dilakukan tidak hanya untuk para lansia, tetapi anak muda sebaiknya juga melakukannya. Tentunya agar kita lebih baik lagi dalam memanfaatkan waktu yang tak banyak ini untuk lebih berkarya dan bermanfaat untuk sesama. Bukankah sebaik-baik nasihat adalah kematian?