Trailer Sewu dino mengundang banyak kritikan karena penggunaan bahasa daerah yang kacau. Jujur saja, masalah ini bukan kali pertama
“Hari itu kita mulih.”
“Untuk apa kalian mrene?”
Adalah kalimat yang pasti akan terdengar saat kalian memutar video trailer dari film Sewu Dino yang sedang hangat-hangatnya bertengger di beranda YouTube. Berlatar hawa mistis dari hutan belantara, munculnya penggambaran rumah tua bermaterial kayu usang, lalu terdapat kakek-kakek dengan kepribadian yang misterius, sampai dengan alasan klasik dari pemeran utama yang kepepet mencari kerja apapun karena nggak punya uang adalah paket lengkap yang terkemas dalam film ini.
Film yang rencananya akan ditayangkan pada saat Lebaran ini merupakan adaptasi dari thread horor yang pernah mengguncangkan dunia Twitter. Sebelas dua belas dengan KKN di Desa Penari, masyarakat banyak yang berharap agar penggambaran ceritanya akan dikemas secara apik layaknya tweet asli yang dibuat oleh akun Simpleman, akun yang juga menceritakan legenda KKN itu.
Memang benar kalau perkembangan industri film khususnya genre horor di Indonesia sudah sangat berubah sejak beberapa tahun silam. Film-film ini sudah berhasil melepas stigma negatif dari tema yang melenceng ke arah pornografi. Hal inilah yang membuat saya cukup bersemangat untuk menonton beberapa film horor yang akan tayang di tahun ini, salah satunya Sewu Dino.
Dialog Sewu Dino blas ra ketok Jawa
Terlepas dari hal tersebut, saat melihat cuplikan filmnya ada beberapa bagian saat para pemeran mengucapkan kata-kata berbahasa Jawa. Para pemeran ini berusaha untuk memakai logat medhok padahal dialognya saja bahasa Indonesia. Maksudnya, kenapa tidak langsung saja pakai bahasa Jawa sehari-hari gitu, biar pendalaman karakternya lebih kerasa?
Saya tahu, mungkin saja dari pihak penulis memang membuat naskah dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, alangkah lebih baik jika memang berkomitmen menggunakan suatu ciri kedaerahan dibuat dengan maksimal, natural, dan lebih mengalir. Masalah lain bisa juga karena faktor pemerannya bukan orang daerah asli atau warga lokal yang memang sudah kental mengalir dalam dirinya atas bahasa Jawa, misalnya saja.
“Untuk apa digowo mrene.”
“Sing harus kalian lakukan hanya mbasuh dan jogo Dila.”
“Sri gak mau kelangan Bapak karena kita gak punya uang, Pak.”
Gimana? Kalian kesal tidak bacanya? Apalagi saat mendengarkannya secara langsung. Sayangnya ini bukan hanya terjadi di film Sewu Dino saja, ada beberapa film lain yang tertangkap basah gunain bahasa gado-gado campur, kanibal sana-sini, sambung gini sambung gitu.
Saran saja, kalau misal alasannya karena takut penonton nggak ngerti ucapan dari aktor dan aktrisnya ya silahkan saja gunakan subtitle dalam penayangannya. Toh masyarakat kita juga biasa nonton film luar dengan bahasa asing yang secara total sebenarnya nggak paham pemeran ngucap apa, tapi terbantu sama subtitle yang ada.
Baca halaman selanjutnya
Penyakit yang telanjur dimaklumi…