Setelah Kuliah di Jogja, Kota Ini Tak Lagi Terlihat Istimewa

Culture Shock yang Dialami Pemuda Jogja Saat Kuliah di Jogja Terminal Mojok

Sebagai arek Jawa Timur, kuliah di Malang dan Surabaya adalah jalan utama. Wajar, dua kota ini menyuguhkan kampus kampus ternama yang sering bertengger di deretan 10 kampus terbaik se-Indonesia. Sebut saja, Universitas Brawijaya di Malang dan Universitas Airlangga di Surabaya. Sayangnya, keinginan saya untuk kuliah di dua kota tersebut harus pupus, beautifikasi Jogja di sosial media, mendoktrin saya untuk berproses di kota yang (katanya) Istimewa.

Kuliah di Kota Pelajar adalah harga mati, itu pikiran saya pas masih mengenakan seragam putih abu-abu. Jogja adalah tempat terbaik untuk bertumbuh dan berproses, itu cuitan saya di Twitter saat mendengar kabar masuk daftar siswa eligible, siswa yang punya peluang masuk kampus lewat jalur rapor dan prestasi. Tidak semua siswa punya kesempatan ini. Tapi, ini bukan soal siswa eligible, ini soal penyesalan saya kuliah di Jogja.

Madiun dan ekosistem kampus

Tinggal di Madiun adalah hal terbaik yang pernah saya rasakan. Kota seribu julukan ini mengajarkan saya arti cinta, benci dan keikhlasan. Bagaimana tidak cinta dengan Madiun, lha wong air yang tiap hari saya minum, tanah yang tiap jam saya injak, adalah tanah air Madiun. Terlalu licik jika saya cangkeman bahwa Madiun tidak mengajarkan saya arti hidup. I love Madiun pokoke, belahen dadaku nek ra percoyo. Tapi rasah ding.

Selayaknya hidup, bagaikan yin dan yang. Madiun mengajarkan saya cinta, juga mengajari kebencian saat hidup di Madiun. Saya benci tiap kali keluar kota selalu dicap PKI, benci karena iklim diskusinya itu-itu aja, benci karena omong kosong pejabat pemerintahannya, benci karena pernah di-ghosting salah satu gadis di kota ini. Kisah patah hati dan rungkat entek-entekan ini akan saya tulis panjang di rubrik Sapa Mantan Terminal Mojok, yen ra keturon tapi!

Madiun juga mengajarkan saya arti ikhlas. Harus legowo saat saya memutuskan diri untuk kuliah di Jogja, meninggalkan kota di mana kita tumbuh dewasa adalah hal yang berat, ada puluhan kisah dan kemapanan yang harus kita tinggalkan. Tapi begitulah hidup, harus ada yang dipertaruhkan untuk kemenangan, eh gimana sih? Intinya, saya harus ikhlas meninggalkan Madiun demi kuliah di Jogja.

Oh iya, ekosistem kampus di Madiun yang kurang begitu menantang bagi saya pribadi, membuat keputusan kuliah di Jogja makin bulat dan harga mati. Di Madiun tidak ada universitas negeri. Eh ada deng, tapi, Politeknik Negeri Madiun. Sayang beribu sayang, masuk politeknik bukan jadi prioritas saya pas masih berseragam SMA. Jogja makin jadi satu-satunya tempat yang harus saya capai.

Saya kira, Jogja beneran jadi surga untuk mahasiswa, setidaknya untuk saya. Nyatanya, tidak.

Baca halaman selanjutnya

Saya menyesal kuliah di Jogja

Penyesalan kuliah di Jogja

Saya kuliah di salah satu kampus negeri berbasis islam di Yogyakarta, tentu saja bukan UMY apalagi UII, the one and only kampus pergerakan bernafaskan semangat islam; UIN Jogja. Bisa masuk UIN adalah kebanggan tersendiri bagi warga kampung. “Alhamdulillah, bisa masuk negeri, Le,” begitu ucap mak’ku setelah membaca pengumuman penerimaan.

Tiga bulan ngekos di Jogja, kota ini tampak begitu istimewa, sama seperti keindahan yang selama ini saya nikmati di media sosial: gemerlap lampu Malioboro, konser musik band-band ibu kota, ekosistem diskusi yang menyenangkan, city light yang aestetik, dan makanan yang (katanya) kelewat murah. Tapi, keindahan di atas tak berlangsung lama.

Enam bulan ngekos di Jogja, saya mulai menyesal kuliah di sini. Kejahatan jalanan (baca: klitih) mengancam warganya, mau menikmati city light yang aestetik saja harus berada dalam bayang-bayang sabetan sajam. Ya rasanya tidak wangun mengambil video aestetik dengan risiko punggung sobek. Jelas milih turu wae timbang numpak ambulans!

Makanan murah adalah hoax terbesar yang pernah saya dengar dari Jogja. Kita ambil studi kasus makan di angkringan; nasi kucing dua bungkus 4K, es teh 3K, total cuma 7K sekali makan. Murah kan? Matamu.

Saat kalian makan di angkringan, sudah dapat dipastikan, Anda-anda akan ngambil gorengan, sate ati, ceker, kepala dll. Lauk-lauk tersebut tidak murah, Bos!

Macet sana, macet sini

Dan, Jogja punya hal yang sering dinormalisasi kota kota besar: kemacetan. Memang, macet Jogja tidak separah yang ada di Jabodetabek. Tapi, macet ya macet, tetap saja membosankan. Sabtu malam, hari di mana saya sering berdamai dengan macetnya Kota Yogyakarta, saking macetnya, saya pernah melibas Gejayan-Janti 15 menit, normalnya paling cuma 4 menitan.

Dan masih banyak lagi hal hal tidak menyenangkan dari Kota Istimewa. Rasisme, biaya kuliah yang melambung tinggi dan tanggapan ndlogok dari para pejabat publik perihal problematika yang sedang terjadi bikin kuliah di Jogja serasa jadi hal yang nggak menarik.

Untuk teman-temanku Jawa Timur, yang punya niatan untuk kuliah di Jogja, pikirkan kembali, lebih baik ke Malang atau Surabaya. S di kata surabaya artinya Senang dan M dari kata Malang artinya menyenangkan. Sedangkan J di Jogja artinya jan….gan dibanding-bandingke. Hayo, mikirmu sing aneh-aneh mesti. 

Penulis: Geza Xiau
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Omong Kosong Peran Universitas dalam Mengentaskan Kemiskinan di Jogja

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version