Jadilah Senior Ormawa yang Tidak Berlebihan, Kampus dan Mahasiswa Sudah Berubah

Jadilah Senior Ormawa yang Tidak Berlebihan, Kampus dan Mahasiswa Sudah Berubah Mojok.co

Jadilah Senior Ormawa yang Tidak Berlebihan, Kampus dan Mahasiswa Sudah Berubah (unsplash.com)

Jujur saja, saya sedih dengan stigma buruk yang melekat pada senior ormawa. Sebagai seseorang yang saat ini berstatus sebagai senior ormawa, saya melihat status ini tidak ada baik-baiknya sama sekali. Senior organisasi yang sudah purna tugas hanya dianggap juniornya pandai mengkritik dan terlalu intervensi pengelolaan ormawa. 

Sebagai senior ormawa, saya sangat jarang mau ambil peran di organisasi. Saya bersikap secukupnya saja kepada junior, salah satunya dalam hal mendampingi junior. Saya baru akan bergerak kalau diminta. Tidak mau lagi terlalu cawe-cawe dan mendikte ormawa. Toh, nggak ada untungnya juga kalau terlalu peduli dengan ormawa.

Sebelumnya, saya mau menyampaikan beberapa hal agar tidak ada salah paham di kalangan pembaca yang beberapa adalah junior saya. Ada perenungan panjang hingga akhirnya saya memilih sikap biasa saja sebagai senior ormawa. Keputusan ini bukan tiba-tiba muncul kemarin sore. 

Kondisi kader ormawa telah berubah

Kondisi mahasiswa hari ini sudah jauh berbeda dengan zaman saya kuliah dulu. Baik dari segi mental, sosial, dan ekonomi. Bukan berarti di zaman saya lebih baik ketimbang saat ini ya. Ini hanya soal perbedaan zaman saja. 

Perbedaan kondisi mahasiswa tentu mempengaruhi kader ormawa. Akibatnya, cara membimbing junior ormawa pada zaman dahulu tidak bisa lagi diterapkan untukn saat ini. Benar kata Ali bin Abi Thalib, didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu.

Cawe-cawe senior ormawa selalu dianggap negatif

Entah mengapa cawe-cawe senior di ormawa selalu dianggap negatif. Padahal, dari sudut pandang senior, mereka hanya mau organisasi berjalan sesuai jalurnya. Tidak melenceng ke hal-hal yang malah menurunkan standar kualitas ormawa.

Menurut saya, cawe-cawe senior tidak masalah. Asal cawe-cawenya tidak berlebihan dan menyesuaikan dengan visi dan misi pengurus yang sedang menjabat. Jika cawe-cawe senior berlebihan dan tidak sesuai keinginan pengurus yang menjabat, jelas akan terjadi konflik di internal organisasi. Ujung-ujungnya, korbannya malah ormawa itu sendiri.

Aturan kampus berkembang

Peraturan kampus terus berkembang mengikuti kondisi lingkungan. Zaman saya masih kuliah dahulu, ormawa dibolehkan melakukan kegiatan di ruang kelas saat akhir pekan. Namun, saat ini ormawa dilarang meminjam kelas untuk acara internal di akhir pekan. Bila ingin meminjam fasilitas kampus lain seperti auditorium di luar jam kerja, organisasi bakal dikenai biaya sewa yang lumayan menguras kas. 

Aturan-aturan tambahan semacam itu yang membuat banyak junior terhambat menggelar proker-proker yang sudah ada sejak kepengurusan zaman dulu. Proses kaderisasi akhirnya terhambat dan tidak berjalan semestinya. Output standar kualitas kader ormawa pun tak seperti yang dicita-citakan.

Saran senior ormawa kerap kurang relevan

Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, karakteristik kader dan kondisi kampus sudah berubah. Perubahan ini mungkin tidak banyak diikuti atau dekat dengan para senior. Oleh karena itu saran-saran atau solusi yang diberikan tidak relevan. Berkaca dari situ, saya sebagai senior ormawa tak pernah muluk-muluk memberikan saran ketika diminta junior. 

Ormawa makin tak sesuai kebutuhan mahasiswa

Saya tidak memungkiri, ormawa makin tak sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Harapan mahasiswa yang masuk ormawa tentu ingin dibentuk menjadi pribadi yang lebih progresif. Baik secara pemikiran, sosial maupun kemampuan bekerja sama.

Akan tetapi, nyatanya, yang didapat dalam ormawa malah sebaliknya. Mahasiswa sekarang masuk ormawa hanya dijadikan sebagai event organizer (EO). Belum lagi masalah-masalah yang menghinggapi ormawa sepanjang kepengurusan. Terkadang bikin pening kepala.

Situasi organisasi yang serba sulit seperti itu tidak pernah diinginkan oleh senior ormawa manapun, termasuk saya. Namun, saya juga tidak bisa mendorong bahkan memaksa ormawa keluar dari situasi itu. Apalagi  saya bukan lagi pemegang tonggak kepemimpinan. Saya cuma senior tua yang hanya mampu memberikan petuah dan cerita ketika diperlukan.

Kadang di-ghosting junior

Ghosting di sini bukan dalam hal hubungan asmara ya. Saya kerap di-ghosting dalam proses komunikasi antara saya dengan junior. Ketika dikabari terkait berbagai kegiatan yang dilaksanakan ormawa, saya jawab dengan sebaik-baiknya. Kadang saya semangati pula. Namun, ketika saya tanya balik terkait acara dan program kerja lain secara mendetail, nggak direspon lagi. Prasangka baik saya mungkin para junior sibuk. Hingga lupa dan nggak sempat membalas pertanyaan saya.

Begitu sekiranya yang membuat saya terlihat sebagai senior ormawa yang alakadarnya. Walau begitu saya tetap mendoakan yang terbaik di setiap kepengurusan ormawa. Walaupun saya tak mampu mendampingi ormawa secara ekstra seperti dulu lagi, paling tidak doa-doa saya selalu menyertai.

Penulis: Ahmad Arief Widodo
Editor: Kenia Intan

BACA JUGA Ormawa Lebih Tepat Jadi Tempat Melatih Kesabaran daripada Berorganisasi. Terlalu Banyak Masalah!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version