Bertepatan dengan bulan kasih sayang ini, saya teringat pada salah satu materi kuliah saya yang kebetulan membahas mengenai cinta. “Kuliah kok bahas cinta? Kuliah jurusan mak comblang?” Ya memang begitulah jurusan saya, jurusan yang kepo segala kehidupan manusia termasuk dunia percintaan manusia, Jurusan Sosiologi namanya. Pembahasan materi kuliah tentang cinta pada kala itu, hanya berfokus pada satu tokoh sosiolog saja, yakni Erich Fromm.
Inget-inget ya, “Erich Fromm”, bukan Erick Thohir, awas keliru atau terpeleset menyebutkan namanya.
Nah, mbah Fromm ini saking tergila-gilanya dengan dunia percintaan manusia, sampai-sampai ia mengarang buku yang fokus membahas mengenai konsep cinta. Buku tersebut berjudul The Art of Loving, sebuah buku yang biasanya paling laris untuk didiskusikan mahasiswa sosiologi.
Tulisan ini juga sedikit mengacu dengan isi buku tersebut mengenai perilaku yang paling mendasar dalam hal mencintai. Setidaknya ada empat perilaku dasar mencintai ala Erich Fromm yang perlu dilakukan oleh setiap insan yang sedang jatuh cinta. Siap-siap, ilmu ini bisa digunakan untuk kebutuhan yang-yangan dan memadu kasih.
#1 Perhatian
Perhatian di sini dalam artian usaha untuk memperhatikan apa pun yang ada pada sosok yang dicintai. Ibarat mencintai seorang perempuan, maka perhatianlah pada segala kehidupan, kondisi, bahkan hal-hal kecil yang ada dalam diri perempuan tersebut, misal anting-anting yang dikenakannya.
Panji Pragiwaksono dalam tour stand up-nya pernah menjelaskan rumus mendapatkan seseorang yang dia cintai, meskipun orang tersebut telah memiliki pasangan. Begini rumusnya, “perempuan butuh perhatian, laki-laki butuh pengakuan, kasih dia lebih dari biasanya didapatkan dari pasangan, dia jadi milik lo.” Melalui rumus ini, kalian akan sukses menjadi pelakor yang profesional.
#2 Tanggung jawab
Tanggung jawab yang dimaksud bukanlah sebuah beban tugas layaknya dalam dunia kerja yang cukup menjenuhkan jiwa, melainkan, sebuah bentuk sukarela.
Seseorang harus dapat mencintai secara sukarela tanpa ada paksaan maupun kekangan yang menghantamnya. Saya teringat wejangan mbah Sudjiwo Tejo, “Cinta itu nggak pake itung-itungan. Kalo udah mikir ‘pengorbanan’ itu namanya kalkulasi.” Nyatanya begitulah seharusnya mencintai, tanpa merasa berkorban, paksaan atau segala kekangan lainnya, melainkan secara sukarela.
#3 Rasa menghormati
Hormat di sini bukan berarti instruksi “hormat grak!” layaknya upacara setiap Senin semasa sekolah dulu. Rasa menghormati yang dimaksud adalah sebuah kemampuan untuk melihat seseorang sebagaimana apa adanya, sebagai sosok yang unik.
Jadi sosok yang dicintai dibiarkan hadir sesuai caranya sendiri, sesuai keinginannya sendiri, tanpa paksaan maupun ambisi oleh mereka yang mencintai. Kalau boleh saya katakan bahwa model mencintai seperti ini adalah model mencintai yang membebaskan. Jauh dari kata posesif.
#4 Pengetahuan
Nah, ini nih, yang mungkin sedikit berbeda dibandingkan dengan tips-tips mencintai dari mak comblang pada umumnya. Mbah Erich Fromm menekankan bahwa mencintai itu harus berlandaskan pada pengetahuan.
Pengetahuan yang dimaksud adalah bentuk mengetahui dengan baik mengenai segala hal yang terkait dengan sosok yang dicintainya. Mulai dari mengenali kepribadian, karakter, sifat, kondisi, perubahan diri, latar belakang, dan lain sebagainya. Mencintainya nggak sebatas abal-abal ngomong “cinta” doang, tapi juga tahu betul sosok seperti apa yang dia cintai.
Setidaknya kalau manut Mbak Erich Fromm, mencintai itu sekurang-kurangnya memiliki empat perilaku ini. Kalau nggak punya keempat perilaku ini mending nggak usah sok ngaku mencintai orang lain deh, lha syarat dasarnya saja nggak terpenuhi kok bilang cinta. Haaash!
BACA JUGA Salahkah Mencintai Orang yang Tidak Mencintai Kita? dan tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.