Siapa yang tahu, Flores itu di mana? Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak aneh sebenarnya, bukan? Hampir semua guru IPS atau Geografi saya yang dulu kalau mengajar akan menggunakan formulasi kalimat ini untuk menanyakan suatu daerah dalam peta buta—saya sangat bersyukur karena saya setidaknya pernah belajar peta buta di masa lalu. Peta buta menjadikan saya tidak buta peta di masa kini. Dengan belajar peta buta saya jadi ingat nama-nama daerah di Indonesia dengan berbagai kekhasannya.
Jadi, Flores itu di mana? Beberapa teman dari Flores yang mengajar di Pulau Jawa mengeluh dan merasa sedih karena hampir semua anak didiknya tidak tahu lokasi tempat ini berada. Padahal di jaman serba online ini seharusnya lebih gampang orang mengetahui—setidaknya lokasi—suatu daerah. Lebih dari itu akhir-akhir ini daerah ini selalu tampil dalam iklan-iklan media nasional lantaran panorama alam dan aneka tawaran wisata eksotisnya—kurang apa lagi coba?
Karena terdorong oleh rasa ingin tahu saya juga bertanya pada anak didik saya, Flores itu dimana? Bukan apa-apa, saya hampir mual mendengar jawaban mereka. Segala bentuk rasa percaya diri dan bangga runtuh seketika ketika mendegar jawaban yang mereka berikan. Ada yang mengatakan di Papua, ada yang mengatakan di Kalimantan, ada yang bilang di Sulawesi dan lebih parah lagi ada yang bilang di Padang, Sumatra Barat—what?
Hal tersebut menyebabkan sebuah pertanyaan besar timbul dalam sanubari—mengapa di tengah berkembangnya teknologi informasi masih ada orang tidak kenal Flores? Setelah sekian hari berefleksi saya pun mempromosikan lokasi ini lewat proses belajar mengajar. Sederhana, setiap kali membuat contoh soal saya selipkan nama tempat dan daerah di Flores. Selain itu ketika memperkenalkan berbagai daerah dan tempat wisata saya menugaskan mereka untuk mencari di internet berbagai tempat wisata di daerah ini.
Lebih dari itu saat mereka mulai merasa bosan dengan pelajaran saya menceritakan dongeng-dongeng dari daerah saya. Saya bahkan menceritakan tentang tanah kelahiran saya, jenis permainan masa kecil, asyiknya mandi di sungai tanpa plastik, menangkap udang dan kepiting di sungai dengan mengunakan tangan dan menjelajah hutan hingga ke puncak gunung demi mencari kayu bakar. Alhasil, mereka seakan terbang ke dunianya Upin Ipin hingga sampai ke alam sihir dan penuh magisnya Harry Potter.
Saya juga berani untuk mencoba menggambar peta buta tentang Nusa Tenggara Timur (NTT). Saya menyuruh mereka menunjukkan tempat-tempat di NTT dari nama kabupaten, kota, bahkan daerah-daerah wisata yang terkenal. Meski awalnya agak susah, perlahan-lahan mereka mulai terbiasa dan akhirnya mulai tahu tentang Flores, terutama bahwa lokasinya itu berada di NTT.
Luar biasa, setiap hari anak-anak menagih janji untuk menceritakan tentang Flores. Lebih dari itu sebagian dari mereka bertanya tentang berbagai daerah wisata di Flores bahkan NTT. Mereka mulai banyak bertanya tentang makanan khasnya orang lokal daerah saya—terus terang masalah hal yang satu ini saya masih bingung menjawabnya. hehe.
Mereka bahkan membangun niat untuk sekali waktu ke Flores, “Saya ingin ke Labuan Bajo, Pak. Saya ingin ke Wae Rebo, Pak. Saya ingin ke kampung Bapak, Pak—itu di Flores, NTT kan?”
Sampai hari ini saya cukup terkenal—setidaknya di tempat saya bekerja. Beberapa orang yang punya cukup uang, digoda oleh rasa ingin tahu dan penasaran akan cerita saya berani ke Flores. Dengan berseri-seri mereka pulang membawa banyak cerita dan kisah tentang indahnya alam tanah kelahiranku. Beberapa orangtua murid dan kenalannya jika bertemu akan berujar riang, “Kata anak saya, Bapak orang Flores ya? Flores itu indah loh.” dan seterusnya. Siapa tidak bangga?
Ah, jangan takut menjadi orang Flores—dan jangan ragu kalau kita tidak terkenal. Rasa ingin tahu berawal dari sesuatu yang tidak diketahui dan dikenal. Saya jamin anda dan Flores kita akan lebih terkenal, lebih dari Bunaken, Raja Ampat bahkan Bali. Percayalah!
Zao ata Golingkara, Flores. Ayo ke Flores!
Tanah Rantau Sumatera Barat
Akhir Mei 2019