Familiar dengan iklan bumbu dapur? Biasanya di sana akan menampilkan perempuan atau ibu yang mempesona dengan kepiawaiannya meracik hidangan. Lalu setelah hidangannya tersaji di meja makan, adegan selanjutnya sudah bisa ditebak yaitu suami dan anak-anak yang sumringah saking enaknya masakan ibu yang menggunakan bumbu X tadi. Padahal, kalau kita coba sendiri di rumah, rasanya justru jadi ambyar.
Ya, namanya juga promosi pasti akan mencoba meyakinkan target pasar dengan segala cara. Macam iklan mie instan yang selalu ada ayam dan telur separuh ketika dihidangkan, tapi kalau kita masak di kos ya gitu-gitu aja wujudnya.
Iklan bumbu masak ini dalam edisi apa pun akan cenderung memiliki pola yang sama, termasuk edisi Ramadan. Coba kita perhatikan, iklan bumbu dapur ini kalau Ramadan cenderung merendahkan laki-laki, ya. Bagaimana tidak? Hampir setiap iklan bumbu dapur yang menampilkan hidangan sahur, itu ibu yang memasak. Lalu ibu membangunkan ayah dan anak kemudian sahur di meja makan.
Begitu pula dengan adegan iklan berbuka puasa, pakai yang manis-manis biasanya. Dan lagi-lagi ibu yang harus kerepotan sendirian di dapur sedangkan anak dan ayahnya menunggu waktu berbuka puasa dengan santai gabutnya. Seolah-olah yang bisa produktif di rumah itu cuma ibu. Sementara ayah atau laki-laki itu kalau di rumah bisanya cuma nungguin makanan. Lalu mereka makan sambil terbelalak karena rasa masakan yang mengandung MSG bumbu masakan. Lama-lama jobdesk para ayah ini mirip kucing di rumah saya, minta makan-nunggu makan-makan.
Konstruksi pemikiran kita mengenai keluarga memang terlanjur kacau. Hal ini terlihat dari bagaimana media dan lingkungan sosial kita menempatkan perempuan sebagai kanca wingking atau pekerja domestik yang sekadar memuaskan perut suami. Bukan suatu hal yang asing kita dengar jika perempuan dituntut untuk bisa memasak. Sementara laki-laki? Dituntut untuk bisa memakan? Gitu?
Padahal yang membutuhkan makan itu keduanya. Kenapa yang harus bisa bikin makanan cuma perempuan? Lagi pula, memasak itu kerja kreatif yang membutuhkan skill, kalau nggak ada skill-nya tapi dipaksa masak, ya jadinya kaya para atlet yang maksain nyanyi. Hasilnya sudah bisa ditebak.
Untungnya, saya lahir dan besar di lingkungan yang tidak memandang pembagian peran di rumah secara timpang. Yang bisa bantu nyapu ya nyapu, yang bisa bantu nyuci ya nyuci. Urusan masak, bahkan menjadi spesialisasi jobdesk ayah saya karena dari semua penghuni rumah, racikan tangan ayah yang paling bisa diterima oleh lidah. Meski demikian, nggak jarang kok kami masak bareng, menentukan mau makan apa lalu melakukan eksekusi di dapur bersama-sama. Tentu kalau sudah begitu semacam restoran yang memiliki kepala koki dan staf. Maka ayah saya jadi kepala koki dan saya staf spesialis ulek bumbu.
Kalau Ramadan tiba, adegan bangun membangunkan sahur dalam keluarga kami juga tidak seperti iklan bumbu masak. Yang mana ibu bangun duluan, masak, lalu membangunkan anggota keluarga. Di rumah saya, barang siapa bangun duluan ya bertugas membangunkan anggota keluarga yang lain. Bahkan tidak jarang kalau ayah saya menghabiskan waktu malam dengan tadarus di masjid sampai tiba waktu sahur, maka beliau yang akan membangunkan kami begitu sampai di rumah. Soal menu sahur, kami jarang memasak, paling sering ya makan apa yang ada di kulkas.
Sebenarnya tidak masalah juga dengan konstruksi keluarga yang dibangun ideal seperti di dalam iklan bumbu masak. Namun, apakah selamanya akan begitu?
Wahai para laki-laki yang paling bangga kalau dijuluki kepala rumah tangga, coba lihat bagaimana pimpinan lain bekerja? Apakah ia memimpin dengan cara melihat dari jauh dan meminta ini itu? Atau turun tangan bahu-membahu serta memberi contoh kepada staf yang dipimpin? Mana ada “kepala” yang bangun lebih siang dari anggota?
Maka sudahlah, daripada ribut minta dihormati sebagai kepala keluarga, tapi bangun sahur saja masih bergantung, lebih baik ikut singsingkan lengan bahu-membahu saling membantu dalam rumah tangga. Toh, tujuan rumah tangga kan untuk membentuk keharmonisan dan menciptakan sakinah mawaddah warahmah. Lha gimana bisa tercipta kalau yang berusaha cuma ibu? Cuma satu orang?
Untuk para kepala divisi dan staf marketing, saya berdoa semoga kalian semua dilimpahi rezeki yang melimpah. Supaya bisa liburan, bisa beli buku lalu dapat ide-ide segar untuk promosi daripada sekadar menggunakan cara kuno yang menempatkan perempuan di dapur dan laki-laki pemalas yang menunggu makanan. Juga tak lupa, semoga kalian tidak mendapatkan jodoh yang cuma mau nungguin kalian masak seperti dalam iklan kalian, tapi bercanda sambil masak di dapur kecil kalian bersama-sama. Amin.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.