Bagi beberapa orang Semarang mungkin kota yang menyebalkan. Panasnya Semarang membuat perantau tidak betah. Belum lagi banjir yang mengintai di beberapa titik dan naik turun jalanan yang mempersulit hidup di Semarang.
Berbagai sentimen negatif seputar Ibu Kota Jawa Tengah ini tidak menggoyahkan pendapat bahwa Semarang adalah kota yang paling romantis. Iya, saya menyadari opini ini tidak populer. Kebanyakan orang menganggap Jogja atau Bandung kota paling romantis di Indonesia.
Akan tetapi bagi saya, kota di mana saya menghabiskan 4 tahun masa kuliah ini tetap yang paling romantis. Banyak pengalaman berkesan saya dapatkan di sana. Oleh karena itu, meninggalkan kota dengan berbagai problem itu tidak pernah mudah.
Daftar Isi
Rindu makan sego goreng gathel
Hal-hal yang membuat saya berat meninggalkan Semarang sebenarnya sederhana saja. Salah satunya, sego goreng gathel. Buat yang belum tahu, sego goreng gathel itu makanan murah meriah pada malam hari di Semarang. Lokasinya berada di dekat Museum Ronggowarsito.
Harga yang kelewat murah dan porsinya yang besar menjadi salah satu alasan saya menyukai makanan yang satu ini. Sewaktu saya masih kuliah, harga sego goreng gathel hanya Rp5.000 per porsi. Dengan harga segitu, pembeli sudah mendapat seporsi nasi goreng jumbo lengkap dengan telur goreng dan sayuran pelengkap macam kol dan timun.
Letaknya yang tidak jauh dari sego goreng gathel membuat saya dan teman-teman sangat sering makan di sana. Cukup membeli dua porsi sego goreng gathel bisa dimakan untuk empat orang. Benar-benar penyelamat mahasiswa.
Plesiran di tempat bersejarah Semarang
Sejak kecil saya memang menyukai hal-hal terkait masa lampau. Kecintaan terhadap sejarah tak pernah memudar hingga dewasa. Sekalipun saya tidak berkuliah di Jurusan Sejarah, minat saya terhadap sejarah masih tinggi.
Selama di Semarang saya benar-benar senang karena banyak tempat sejarah. Beberapa tempat yang pernah saya jelajahi ada Lawang Sewu, Kota Lama Semarang, Tugu Muda sampai Candi Gedong Songo.
Minat saya Kecintaan saya terhadap sejarah seolah difasilitasi oleh Semarang. Di kota lumpia cukup banyak tempat sejarah yang dapat dikunjungi. Misalnya Lawang Sewu, Kota Lama Semarang, Tugu Muda sampai Candi Gedong Songo. Semua tempat itu sudah pernah saya jelajahi. Salah satu penjelajahan yang berkesan, saya pernah ke makam massal korban pembantaian G30S di daerah Plumbon.
CFD Simpang Lima
Simpang Lima merupakan salah satu ikon Semarang. Di sekitar Simpang Lima terdapat mall, bioskop, hingga tempat bermain anak. Di antara begitu banyak keistimewaan Simpang Lima, saya paling suka saat tempat tersebut dijadikan sarana Car Free Day (CFD).
Saat CFD kita dapat bertemu seluruh orang dari berbagai penjuru Semarang. Mereka yang tinggal di Semarang atas, bawah, barat, timur, mengunjungi tempat ini untuk refreshing. Belum lagi berbagai komunitas di Semarang yang kerap kumpul di CFD Simpang Lima.
Di CFD Simpang Lima juga sering digelar olahraga bersama, salah satu yang sering diadakan adalah senam bersama. Kalau setelah olahraga kalian lapar, jangan khawatir di sana banyak penjual kudapan dan minuman khas Semarang.
Kenangan di Jalan Pandanaran Semarang
Jika di Jogja ada yang namanya Jalan Malioboro, Semarang juga punya Jalan Pandanaran. Nama jalan ini berasal dari nama Adipati (sekarang Bupati) Semarang pertama yang diangkat oleh Sultan Demak, yaitu Ki Ageng Pandanaran. Kabarnya, beliau juga sangat berjasa dalam penyebaran Islam di tanah Jawa.
Jalan Pandanaran ini surganya jajanan di Semarang. Di jalan ini sangat mudah mencari makanan khas The Port of Java seperti lumpia, bandeng juwana dan wingko babat. Kalau dari sisi harga sebenarnya agak mahal, apalagi untuk kantong mahasiswa waktu itu, tapi soal rasa dan kualitas jangan ditanya!
Bagi saya pribadi, Jalan Pandaran bukan sekadar tempat jajanan. Saya punya kenangan magang di salah satu bank yang dulu punya kantor cabang di sana. Saya pernah menimba ilmu praktik pekerjaan dan hidup sebagai pekerja di Jalan Pandanaran. Pengalaman itu tentu saja berharga bagi pondasi kokoh dalam membangun karir saya hari ini.
Saya menyadari, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Setiap awal pasti ada akhir. Mau tidak mau saya mesti meninggalkan Semarang untuk lebih berkembang. Kota yang menyebalkan di mata beberapa orang, tapi bagi saya, tidak mudah untuk meninggalkannya.
Penulis: Ahmad Arief Widodo
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 5 Fakta Keliru Terkait Semarang yang Telanjur Dipercaya Banyak Orang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.