Sebagai orang Batang, saya justru jatuh cinta pada Semarang. Kota ini nggak seburuk yang dikatakan orang-orang, kok.
Setelah membaca tulisan Mas Bondan Attoriq yang tayang di esai Mojok beberapa waktu lalu melalui repost story salah satu teman, saya jadi berpikir, seburuk itukah Semarang? Meskipun harus saya akui apa yang dikatakan Mas Bondan ada benarnya juga. Gimana ya, wong beliau lahir dan besar di Kota Semarang, tentu beliau tahu persis kota ini.
Akan tetapi menurut saya selaku orang Batang yang merantau ke Semarang, ibu kota Jawa Tengah ini cukup nyaman buat ditinggali. Entah sebagai mahasiswa atau pekerja. Selama dua setengah tahun menetap di Kota Lumpia, berikut alasan mengapa kota ini sebenarnya nggak buruk-buruk amat.
Daftar Isi
- Nggak terlalu sumpek, tapi juga nggak lengang banget padahal ibu kota provinsi
- UMR Semarang memang nggak gede-gede amat jika dibandingkan dengan Jabodetabek, tapi paling gede se-Jawa Tengah
- Trans Semarang masih jadi transportasi umum primadona
- Banyak komunitas di Semarang yang bisa dijadikan tempat buat menyalurkan hobi
- Kalau sakit nggak perlu khawatir, banyak klinik kesehatan terjangkau dan bisa pakai BPJS
Nggak terlalu sumpek, tapi juga nggak lengang banget padahal ibu kota provinsi
Saya suka berkeliling Semarang untuk sekadar mencari makan atau menikmati suasana kota ini. Daerah Gunung Pati, Tembalang, Tlogosari, atau Pleburan, bisa dibilang surganya jajanan di kota ini. Meski daerah-daerah ini cukup ramai, tapi saya masih bisa menikmati suasana di sini sambil jajan makanan kesukaan.
Saya jadi mengamini apa yang teman saya sering katakan. Dia lebih dulu jatuh hati pada Semarang setelah kuliah dan memutuskan kerja di sini. Kata teman saya Semarang itu cukup. Kota ini nggak terlalu ramai kayak ibu kota pada umumnya, tapi juga nggak terlalu sepi. Intinya, kota ini cukup menyenangkan.
UMR Semarang memang nggak gede-gede amat jika dibandingkan dengan Jabodetabek, tapi paling gede se-Jawa Tengah
Bagi pekerja seperti saya, kalau disuruh memilih mending kerja gaji kecil dekat rumah atau gaji agak besar tapi merantau ke Semarang, tentu saya akan memilih opsi kedua.
Sebagai manusia realistis, uang itu segalanya. Apa-apa butuh uang termasuk buang air kecil. Toh kalaupun pulang kampung, nggak jauh-jauh amat. Kalau saya mau pulang ke Batang cuma butuh waktu dua jam. Pokoknya Semarang-Batang nggak sejauh itu. Setidaknya nggak sejauh kalau saya merantau ke Jabodetabek, meski UMR-nya memang nggak gede-gede amat. Tapi UMR Semarang masih lebih besar daripada Batang.
Rekan kerja saya yang sama-sama berasal dari Jawa Tengah dan sudah delapan tahun tinggal di Semarang juga mengamini hal tersebut. Dia enggan balik kampung karena UMR-nya nggak sebesar Semarang.
Meski ngekos, saya tetap bisa menabung dan sesekali liburan. Lha, kalau saya tetap tinggal di kampung, boro-boro mikir liburan, bisa bertahan sampai gajian selanjutnya saja sudah bersyukur. Ya kecuali kalau punya side job, bolehlah dipertimbangkan tetap tinggal di kampung halaman.
Trans Semarang masih jadi transportasi umum primadona
Meski sering diejek dengan sebutan cumi darat saking hitam dan tebalnya asap yang keluar dari knalpot bus, nggak bisa dimungkiri banyak orang yang masih bergantung pada Trans Semarang.
Selain karena tarifnya yang murah, rute yang dilalui Trans Semarang cukup banyak. Sehingga memudahkan warga lokal dan perantau yang nggak bawa kendaraan pribadi. DiKota Lumpia mau ke mana saja gampang karena ada transportasi publik satu ini.
Kalau di Batang gimana? Tentu saja bisa naik bus “tuyul” atau angkot, tapi orang Batang tahu sendiri lah ya gimana astaghfirullah-nya.
Banyak komunitas di Semarang yang bisa dijadikan tempat buat menyalurkan hobi
Bagi pekerja atau mahasiswa yang rutinitasnya template, tentu kehidupan yang gitu-gitu saja terasa membosankan. Kadang kita membutuhkan angin segar atau aktivitas baru supaya hidup jadi lebih berwarna. Cara paling mudah adalah dengan mengikuti berbagai kegiatan di luar rutinitas, misalnya bergabung dengan komunitas membaca, komunitas lari, dll.
Di Semarang, ada banyak komunitas yang bisa dijadikan tempat untuk menyalurkan hobi. Buat yang gemar membaca bisa gabung klub buku yang rutin tiap minggu baca buku bareng di Taman Indonesia Kaya. Gusdurian Semarang kadang juga suka bikin diskusi di Semarang. Selain itu ada pula 1000 Guru Semarang yang suka mengadakan event bareng anak sekolah atau komunitas lain sesuai dengan minat. Intinya, ada berbagai aktivitas yang bisa diikuti di Semarang buat membunuh kejenuhan sehari-hari.
Kalau sakit nggak perlu khawatir, banyak klinik kesehatan terjangkau dan bisa pakai BPJS
Lagi-lagi saya harus membandingkan Semarang dan kampung halaman saya, Batang. Di Semarang, ada banyak klinik kesehatan yang sudah termasuk poli umum dan poli gigi. Periksa ke sini bisa pakai BPJS pula. Sementara di Batang, kalau sakit biasanya paling mentok ya ke puskesmas karena klinik kesehatan nggak begitu banyak dan nggak lengkap.
Pergi ke puskesmas pun kadang ketemu pegawai rese. Sudah sakit, masih harus pula menghadapi cobaan bertemu petugas loket atau bahkan perawat dan dokter judes. Bukannya sembuh, balik dari puskesmas malah bikin saya misuh.
Jadi menurut saya pribadi, terlepas dari Semarang yang mataharinya ada lima, yang di daerah tertentu sering banjir, rob, bahkan longsor, atau yang punya walikota sangat narsis persis penjabat bupati tempat saya, nggak bisa dimungkiri bahwa merantau di sini banyak senangnya.
Saya jadi teringat pertanyaan seorang teman pada saya. Dia bertanya, “Sejatuh hati itukah kamu sama Semarang?” Sekarang saya bisa menjawabnya, ya. Mau disajikan seratus alasan sengsara tinggal di Semarang pun kalau sudah nyaman bisa apa?
Penulis: Nina Fitriani
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Batang, Kabupaten di Jawa Tengah yang Nggak Terkenal.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.