Sebelum Jakarta Tenggelam, Inilah 5 Tanda Semarang Bakal Kelelep Duluan di Laut Jawa

Sebelum Jakarta Tenggelam, Inilah 5 Tanda Semarang Bakal Kelelep Duluan di Laut Jawa

Sebelum Jakarta Tenggelam, Inilah 5 Tanda Semarang Bakal Kelelep Duluan di Laut Jawa (unsplash.com)

Semarang terancam tenggelam! Dan, boleh jadi, bakal kejadian lebih cepat dari pionir Kota Tenggelam 2050, sang (calon mantan) ibu kota negara, Jakarta.

Anda tidak percaya? Ah, kami selaku warga Semarang saja legawa menghadapi kenyataan ini. Bahkan, kami senantiasa “merayakannya” dengan berbagai festival tahunan. Ada festival bikin bendungan supaya banjir tidak masuk rumah. Ada festival usung-usung barang supaya nggak hanyut ditelan arus. Dan ada pula festival ngosek omah (membersihkan rumah) setelah lama terendam oleh kombinasi air got, tanah, sampah, ikan lele, dan sebagainya. 

Syarat ikut serta dalam festival ini gampang, kok. Anda nggak harus punya KTP Semarang. Anda juga nggak perlu merogoh kocek sedikit pun. Untuk tahun 2024, Anda cukup tinggal di 7 kecamatan yang langganan menjadi tuan rumah, seperti Kecamatan Genuk, Gayamsari, Pedurungan, Tugu, Semarang Utara, Semarang Barat, dan Semarang Timur. 

Sayangnya, festival tahun ini sudah diadakan pertengahan Maret kemarin. Pesertanya membludak hingga 158 ribu orang, dan saya kebetulan beruntung menjadi salah satunya. Anda merasa FOMO sama festival tahunan Semarang ini? Tunggu “puncak” acaranya saja, Lur! Datanglah pakai perahu karet, Anda akan disuguhi panorama kota bawah laut nan ciamik. 

Pantengin terus 5 tanda berikut sebelum tanggal mainnya rilis. Jangan sampai kehabisan tiket!

#1 Soal adu cepat, penurunan tanah di Semarang adalah jawara kelas dunia

Jangan sekali-kali meremehkan Semarang! Soal pembangunan dan infrastruktur, kami mengaku kalah telak dengan Jakarta. Tapi, soal kecepatan tenggelam, kami berani adu sama kota di belahan dunia mana pun!

Ini bukan lagi bicara banjir rob atau pasang air laut. Kedua hal itu nggak serta-merta mengancam eksistensi Semarang. Lagi pula, air laut selalu mengalami pasang-surut setiap tahun, kan? Lawang Sewu sudah lama karam kalau siklus alamiah itu penyebabnya. 

Alasan Semarang akan segera menjadi habitat Nemo adalah penurunan tanah yang gila-gilaan. Bukan hanya ekstrem, tapi mendunia, Lur! Semarang menggondol medali perak (juara 2) dalam liga adu cepat penurunan tanah kelas dunia. Bertanding melawan 98 kota pesisir lainnya, laju penurunan tanah di Semarang terekam oleh satelit sepanjang tahun 2015-2020.

Dalam liga ini, laju penurunan tanah di Semarang memperoleh skor 3,96 cm/tahun. Skor ini seakan-akan meledek Jakarta yang hanya 3,44 cm/tahun, dan harus berpuas diri di peringkat ketiga. Warga Semarang patut berbangga hati setelah menjadi kuda hitam. Siapa yang menyangka kota ini bisa bertengger di “pucuk dingin”?

Juri liga musim ini adalah sekelompok ilmuwan University of Rhode Island’s, Amerika Serikat. Jangan tanya sama saya soal kredibilitas jurinya. Yang pasti, pertandingan berjalan tenteram dan nggak ada kisruh mengenai VAR. 

Anda menanti puncak festival Semarang Underwater? Perhatikan betul-betul klasemen depan! Siapa tahu jagoan Anda bakal menggeser peringkat pertama, lalu menjadi kota tercepat menuju kedalaman Laut Jawa, menyelami keabadian. 

#2 Tanah Semarang masih muda, lemah, dan gampang tertekan

Sebelum “memuji” pihak-pihak terkait, Anda perlu tahu bahwa tanah Semarang umumnya lunak, rapuh, serta mudah mampat. Jenis tanah ini berasal dari aluvium, endapan lempung dan pasir yang mengalami pemadatan di usia muda. Jelas, ia kalah umur dibanding rekan-rekan tanah sejawatnya. 

Tanah ini memang agak sensitif. Saat diberi tekanan, ia mudah mengalami pemampatan sehingga permukaannya turun seiring waktu. Jenis tanah ini menopang seluruh wilayah Semarang bawah, yang mencakup pusat kota, tempat wisata, magnet ekonomi, dan rumah saya. 

Inilah yang membuat tanah Semarang merasa tertekan dan rendah diri. Begitu pun saya yang stres karena dipaksa ikut festival tahunan itu. Perbedaannya, tanah cuma bisa diem-diem bae, sementara saya menghadapi semua kebrengsekan ini sambil misuh-misuh sedikit. 

Biarpun pisuhan itu tidak mengendurkan ayunan pel karet saya, yang sebisa mungkin menghalau banjir masuk ke dalam rumah. Meski hampir semuanya berujung sia-sia, sih.

#3 “Ketidakbecusan pemerintah dalam mengontrol eksploitasi air tanah”

Pada segmen ini, saya izin mengutip pendapat para ahli saja. Saya nggak berani mengatakan pemerintah setempat nggak becus atau bagaimana. Lihat tanda kutip di judul segmen ini? Bukan saya yang mengatakannya secara gamblang, lho. Damai Bapak/Ibu Dewan yang terhormat, tolong jangan cari alamat rumah saya.

Pakar hukum lingkungan Unika Soegijapranata, Benny D. Setianto, mengatakan kepada Solopos Jateng bahwa Semarang berada di puncak klasemen kota paling cepat tenggelam berkat Pemerintah Kota (Pemkot) yang kurang tegas mengatasi penurunan tanah.

Lanjut ahli geodesi ITB, Heri Andreas, menilai faktor kunci penurunan tanah di Semarang adalah eksploitasi atau penyedotan air tanah besar-besaran. Ibaratnya, dari penurunan tanah sebesar 10 cm, 6 cm-nya (60%) terjadi akibat eksploitasi air tanah. 

Mila Karmilah, pakar tata kota Unissula Semarang, ikut nimbrung. Ia mengamini penyedotan air tanah oleh sejumlah industri di daerah pesisir mengakibatkan penurunan tanah yang ekstrem. 

Mila memberi perumpamaan begini kepada Kumparan, “Di situ, disebut ada 37 pabrik yang menggunakan air tanah. Misal satu pabrik ada 1.000 orang, maka 37.000 dikalikan kebutuhan air per orang. Anggaplah kalau di perkotaan sekitar 120 liter per orang per hari, maka 37.000 x 120 liter harus disediakan oleh pabrik setiap hari.”

Cakap-cakap bernada keluhan akademis ini belum usai. Rekan sejawat Pak Benny dari Unika Soegijapranata, Wijanto Hadipuro, menimpali belum ada kebijakan tegas dari pemerintah untuk melarang industri mengeksploitasi air tanah. Ditambah lagi, potensi sumur ilegal bikin penurunan tanah di Semarang semakin karut-marut.

Tak heran banyak orang optimis sama festival Semarang Underwater. Gimana Bapak/Ibu Dewan yang terhormat, sudah siap menikmati puncak festival ini?

#4 Tanah Semarang menderita, memikul gedung-gedung tinggi dan beban hidup seluruh warganya

Belum puas air tanahnya disedot, Semarang masih harus memikul gedung-gedung tinggi dan segala keluh kesah warganya. Baru-baru ini, kantor Pemkot Semarang digerebek oleh KPK atas dugaan korupsi Ibu Wali Kota. Ada yang menyebut langkah politik, ada yang memuji kinerja KPK, ada pula yang sambat susah cari kerja. Macem-macem, wes.

Kalau Semarang dikasih kesempatan mengeluh sekali saja, dengan nada Ki Arjuna Samudera, mungkin ia bakal bilang, “Ndes, Gondes, saya mau tenggelam. Bikin saya cepat kelelep. Kalau sudah tenggelam, bangunkan saya di saat tubuh saya sudah enak.” 

#5 Pemkot lupa akar masalahnya

Monggo segera berbenah Bapak/Ibu Dewan yang terhormat. Jangan sampai Bapak/Ibu kelewat fokus bikin tanggul-pompa sampai lupa akar masalahnya. Tanah Semarang saat ini sedang menderita, dan ia butuh sekali pertolongan dari tangan yang berkuasa. 

Ini masih teguran yang amat halus, lho. Gimana kalau yang menegur si empunya langsung? Bisa-bisa gedung Lawang Sewu berubah fungsi menjadi wisata bahari.

Kalau Bapak/Ibu tidak lekas bertindak, izinkan saya bertanya sekali lagi. Bapak/Ibu Dewan yang terhormat, sudah siap menikmati puncak festival Semarang Underwater ini?

Penulis: Bondan Attoriq
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Meski Banyak Orang Mencerca Kota Lumpia, Saya Memilih Menetap di Semarang ketimbang Jogja, Kota yang Pernah Saya Tinggali Belasan Tahun.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version