Ada banyak jalan dari Solo ke Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Banyaknya pilihan jalan pulang membuat anak rantau seperti saya jadi lebih tenang. Apabila satu jalan tidak bisa dilalui karena satu dan lain hal, setidaknya masih ada jalan lain tersedia. Namun, di antara banyaknya pilihan jalan pulang, jalur Selo selalu yang paling dulu terlintas di kepala.
Jalur yang berada di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu ini sudah sejak lama jadi jalur andalan banyak orang. Terlebih sejak kawasan ini dijadikan jalur resmi pendakian, Selo memang lebih sering dilewati orang. Walau semakin ramai, jalur Selo tetap sama saja di mata saya, jalan pulang yang bisa menghapus sisa-sisa keruwetan di tanah rantau.
Jalur selo yang magis
Pengalaman pulang ke Magelang dari Solo lewat jalur Selo selalu memikat. Memasuki wilayah Selo, suasana berubah tanpa aba-aba. Udara lebih dingin, jalanan lebih lengang, dan pandangan terbuka ke arah lereng. Jalur ini berada di ketinggian sekitar 1.500–1.800 mdpl, diapit Gunung Merapi (2.930 mdpl) dan Gunung Merbabu (3.145 mdpl), dua gunung yang diam-diam jadi penanda arah pulang.
Ada satu lengkungan besar di tengah jalur yang hampir selalu saya tunggu. Dari titik itu, Merapi terlihat jelas di satu sisi dan Merbabu di sisi lain. Kalau cuaca sedang ramah, keduanya berdiri utuh tanpa kabut. Biasanya, di titik ini pikiran yang sejak Solo penuh tenggat, tugas, dan rencana yang sering berubah, mulai turun gigi.
Tidak ada tiket masuk. Tidak ada hiasan. Tapi jalur ini tahu cara membuat kepala sedikit lebih tertib.
Puncak Selo dan jeda yang tidak pernah direncanakan
Sampai di puncak Selo yang secara administratif masuk Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali udara dingin terasa lebih menusuk. Saya hampir selalu berhenti, meski tidak punya alasan yang jelas. Kadang hanya mematikan mesin sebentar, menarik napas, lalu melanjutkan perjalanan.
Puncak Selo dikenal sebagai salah satu titik jalan raya tertinggi di Boyolali. Anginnya sering datang mendadak, seperti ingin mengingatkan bahwa saya sedang cukup jauh dari hiruk pikuk. Dari sini, arah Boyolali dan Magelang terbuka lebar. Ladang, kebun, dan rumah-rumah kecil terlihat berundak, rapi tanpa perlu banyak penjelasan.
Tidak ada tiket masuk. Tidak ada kewajiban berlama-lama. Tapi jeda singkat di tempat ini hampir selalu cukup. Buat saya, Puncak Selo adalah tempat berhenti yang tidak pernah saya rencanakan, tapi selalu saya butuhkan.
Turunan ke Magelang dan tanda bahwa pulang sudah dekat
Setelah puncak, jalur mulai menurun panjang ke arah Magelang. Dibandingkan sisi Boyolali yang lebih menuntut fokus, bagian ini terasa lebih ramah. Jalannya rapi dan tidak banyak kejutan.
Di kiri dan kanan, rumah warga dan ladang sayur mulai mendominasi. Beberapa titik sering dimanfaatkan untuk melihat matahari pagi dengan latar Merbabu. Pemandangan desa-desa kecil ini membuat perjalanan terasa lebih lambat.
Selo dan kebiasaan yang terlanjur cocok
Bagi saya, anak Magelang yang kebetulan merantau di Solo, Selo bukan jalur alternatif. Ini jalur yang sudah terlanjur cocok. Perpaduan udara dingin, dua gunung, dan jalan yang tidak tergesa membuat pulang terasa lebih utuh.
Selo juga dikenal sebagai salah satu kecamatan dengan jumlah basecamp pendakian terbanyak di Jawa Tengah karena menjadi akses resmi ke Merapi dan Merbabu. Maka wajar kalau jalurnya selalu hidup. Tapi, anehnya, suasana di sana tidak ribut dan ruwet, termasuk jalanannya.
Pulang lewat Selo bukan soal kewajiban. Ini kebiasaan yang bertahan karena selalu berhasil. Dan selama Merapi dan Merbabu masih berdiri di tempatnya, rasanya jalur ini akan terus saya pilih bukan karena paling cepat, tapi karena paling membantu kepala ikut sampai rumah dengan tenang.
Penulis: Fitria Salma Nur Azizah
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 4 Hal yang Membuat Orang Salatiga seperti Saya Kaget ketika Hidup di Solo.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
