Setiap bulan Ramadan, ada satu amalan sunah yang biasanya dijalankan, yakni salat Tarawih. Salat Tarawih ini biasanya dilakukan setelah salat Isya. Untuk pemilihan rakaatnya, ada dua pandangan berbeda. Ada yang melakukan salat Tarawih sebanyak delapan rakaat dan ada yang melakukan salat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat. Kalau di desa saya yang memiliki latar belakangnya NU tulen, maka yang dipilih adalah Tarawih dengan jumlah keseluruhan sebanyak dua puluh tiga rakaat. Dua puluh rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.
Terkait dengan pemilihan ini, saya tak punya sanad keilmuan yang tepat untuk menjelaskan perihal pemilihan jumlah rakaat salat Tarawih. Jadi, saya rasa kurang jika memperdebatkan hal ini. Saya, keluarga, dan masyarakat di sini hanya manut saja.
Di desa saya, pada Ramadan kali ini tidak ada yang berbeda. Kita semua tetap melaksanakan salat Tarawih di musala sebagaimana biasanya. Kalau boleh jujur, sebenarnya saya agak gimana gitu kalau ikut Tarawih di musala. Kan, kondisinya lagi menganjurkan untuk tidak berkumpul dulu. Tapi mau gimana lagi, saya tak bisa kalau tiba-tiba mengumumkan bahwa Tarawih di musala sebaiknya dihentikan dulu. Selain tidak punya otoritas, saya juga tak mau mengganggu niat tulus dan pandangan polos warga sini terhadap berita-berita tentang pandemi.
Akhirnya, saya tetap ikut dengan tetap menjaga kewaspadaan. Saya memilih tempat yang kira-kira agak berjarak dengan jamaah lainnya dibarengi dengan perasaan pasrah dan harapan agar tak terjadi apa-apa. Di tengah-tengah salat Tarawih saya yang tidak pernah khusyuk, tiba-tiba saya kepikiran untuk menuliskan tentang keunikan Tarawih di sini. Yang menjadikannya unik adalah singkatnya waktu pelaksanannya.
Di sini, Tarawih biasa dimulai sekitar pukul 18.45 dan selesai pada pukul 19.10. Rentang waktu untuk menyelesaikan Tarawih-nya berarti hanya sekitar 25 menit. Ini berbeda dengan waktu salat Tarawih di tempat saya kuliah. Di sana—dengan jumlah rakaat yang sama—salat Tarawih dimulai sekitar pukul 19.00 dan berakhir pada pukul 20.00 yang berarti menghabiskan waktu satu jam. Terlihat kan, perbedaannya? Ada selisih waktu sebanyak 35 menit antara salat Tarawih di desa saya dan di tempat saya kuliah. Ini hanya selisih waktu. Tapi, bagaimana dengan selisih kecepatan rata-rata dari keduanya?
Hanya untuk iseng-iseng saja, saya ingin melakukan komparasi kecepatan rata-rata antara salat Tarawih di desa saya dan di tempat saya kuliah. Rumus yang akan digunakan adalah rumus fisika dasar yang didapat ketika SMP. Kalau tidak salah, rumusnya adalah v=s/t.
Simbol v diartikan sebagai kecepatan. Simbol s diartikan sebagai jarak. Dan simbol t diartikan sebagai waktu.
Jika salat Tarawih di desa saya dianggap sebagai contoh soal A, dengan rakaat yang diasosiasikan sebagai jarak, maka akan ditemukan persamaan: v Tarawih = 20 rakaat/25 menit.
Ini akan menghasilkan kecepatan rata-rata salah Tarawih di desa saya sebesar 0,8 rakaat/menit.
Untuk menguji kebenarannya, kita balik saja rumusnya dengan mencari jaraknya dengan rumus s=v x t.
Berarti 0,8 x 25 menit. Hasilnya adalah 20. Sudah benar kan? Jika salah, mohon anak fisika mengkritik dan mengajari saya.
Sekarang lanjut ke penghitungan kecepatan rata-rata salat Tarawih di tempat saya kuliah. Sama seperti tadi, rakaat diasosiasikan sebagai jarak. Persamaan yang didapat adalah v Tarawih = 20 rakaat/60 menit. Hasilnya adalah 0,33 rakaat/menit.
Untuk mendapatkan selisihnya, cara yang digunakan adalah mencari hasil pengurangannya. Jadi, 0,8 – 0,33 = 0,47 rakaat/menitnya.
Sudah tahu, kan, selisihnya? Kalau lagi tidak tahu mau ngapa-ngapain, coba aja hitung kecepatan Tarawih di daerahmu agar tidak terlalu nganggur-nganggur amat dan ada sedikit kerjaan bagi otak.
Oh iya, untuk tambahan saja, ada lagi perbedaan yang pernah saya rasakan. Yakni tentang sambatan dari orang-orang yang ikut Tarawih. Kalau di desa saya, biasanya yang banyak sambat adalah orang-orang yang sudah berumur. Biasanya, mereka mengeluhkan terlalu cepatnya imam. Ya keluhannya tak jauh-jauh dari sakit pinggang, sakit lutut, rematik kambuh, dan komplikasi ‘sakit tua’ lainnya. Namanya sudah tua, ya wajar kalau tak bisa menyamai gerakan gesit imam salat Tarawih di desa.
Berbeda dengan di tempat saya kuliah, sambatan banyak saya dapatkan dari teman-teman yang masih muda dan seumuran. Karena di tempat saya kuliah ini, imam sering ganti-ganti. Ada beberapa imam yang karakteristiknya kurang disukai. Penyebabnya tak lain dan tak bukan karena saking leletnya salat Tarawih yang dipimpin. Mungkin sambatan ini bisa saya setujui dan diberikan pembenaran, karena mengingat mayoritas dari jamaah Tarawih di tempat saya kuliah adalah mahasiswa.
Kita kan tahu, kalau mahasiswa pada umumnya masih punya daaaraah muudaaa, darah yang berapi-api (kok malah nyanyi, sih?). Masih kenceng-kencengnya dan tulang-tulangnya masih bisa diajak bergerak gesit. Jadi, kalau imamnya agak lama, wajar kalau yang muda-muda ini jengkel.
Tapi untungnya, tak ada seorang pun, yang rebel lalu mencetuskan revolusi ketika Tarawih berlangsung. Kalau sampai terjadi, bisa gawat. Masa iya imam Tarawih mau dikudeta dan digantikan sesuai yang muda-muda inginkan ini? Bisa terjadi turbulensi bin chaos binti riot.
Dan yang paling saya takutkan lagi, akan ada sekte-sekte dan aliran baru dalam dunia per-Tarawih-an dengan dasar kecepatan waktu yang digunakan. Akan ada sekte Tarawih konservatif yang memilih lamban, sekte Tarawih moderat yang memilih agak cepat, sekte Tarawih revolusioner yang grusa-grusu, atau bahkan ada sekte Tarawih anarko syndicate yang tugasnya bikin kacau dan bakal Tarawih semau-maunya. Pokoknya, saya imbau agar jangan sampai ini terjadi.
BACA JUGA Kebiasaan Pilih-Pilih Masjid Saat Salat Tarawih Sebelum Ada Pandemi dan tulisan Firdaus Al Faqi lainnya.