“Selingkuh atau diselingkuhi?”
Mungkin banyak orang sudah sangat akrab dengan pertanyaan ini. Memang awalnya hanya iseng dan mungkin sekadar bercanda, tapi nyatanya pertanyaan ini dari zaman Nobita masih SD sampai sekarang Nobita juga masih SD, tetap saja dipertanyakan. Sudah gitu kebanyakan orang mesti menjawab, “Mending diselingkuhi ketimbang selingkuh.” Walaupun ada juga sih orang yang terbuka dan menjawab memilih selingkuh ketimbang diselingkuhi.
Bagi orang yang belum pernah merasakan atau terkena dampak dari perselingkuhan, mungkin bisa dengan enteng menjawab pertanyaan guyonan semacam itu. Saya sendiri waktu dulu ditanyai pertanyaan tersebut, dengan yakin saya memilih diselingkuhi saja ketimbang selingkuh. Di pikiran saya kala itu, mungkin orang yang selingkuh itu memiliki beban mental yang berat karena sudah menyakiti orang lain. Jadi, sederhananya saya pikir ketimbang saya menyakiti orang lain, mending saya yang disakiti saja. Konyol, ya. Wkwkwk.
Setelah dewasa saya baru mikir, pertanyaan semacam itu merupakan pertanyaan yang super toxic banget. Entah selingkuh atau diselingkuhi, itu dua hal yang nggak perlu dipilih, soalnya dua-duanya nggak menyehatkan banget secara fisik dan mental. Terkadang memang ada orang-orang di dunia ini yang justru bangga kalau bisa selingkuh, ini mah penyakit. Ya kali, ngapain bangga sudah nyakitin orang lain?
Pada kenyataannya, orang yang memilih diselingkuhi meski kelihatannya sangat bijak dan sabar, sesungguhnya membangun rasa pasrah. Dia terima saja diselingkuhi. Tak sedikit loh orang yang saya kenal itu meski sudah diselingkuhi berkali-kali oleh pasangannya, tetap memaafkan lagi dan lagi. Dia sedih, sakit hati, terluka, namun tetap mau menerima. Dia kayak orang yang pasrah ketimbang harus mengakhiri sebuah hubungan, apalagi kalau sudah menikah. Tak banyak orang yang mau melepaskan ikatan meski pasangannya terang-terangan selingkuh. “Yang penting bukan aku yang selingkuh!”
Sudah pernah baca penulis fiksi yang suka menulis kalimat “bagai disambar petir di siang bolong”? Mungkin kedengarannya hiperbola banget, ya. Gimana gitu rasanya disambar petir di siang bolong? Padahal itulah yang sebenarnya dirasakan mereka yang pernah diselingkuhi. Apalagi yang memergoki secara langsung. Dada kayak dihantam gada Werkudara. Badan mendadak dingin dan gemetaran meski matahari tengah panas-panasnya. Mulut rasanya kelu dan air mata kayak nggak ada remnya. Selain itu, mendadak mereka kayak habis keluar dari panci presto, lunak tak bertulang. Rasanya lemas banget.
Bagi mereka yang belum pernah merasakan diselingkuhi, mungkin bakalan bilang hal kayak gitu tuh lebay dan terlalu berlebihan. Tetapi, bagi mereka yang pernah mencintai sepenuh hati, pernah percaya setulus batin, pernah sayang dengan segenap jiwa, pernah memiliki impian seindah mungkin, pasti bakalan hancur sehancurnya ketika melihat orang yang mereka sayang, percaya, dan cintai itu mengkhianati di depan mata. Rasanya mungkin semacam ilusi.
“Yaelah, kalau diselingkuhi mah tinggal cari yang lain aja gampang. Cewek/cowok di dunia banyak, nggak cuma dia doang!”
“Yaelah, gitu aja lebay. Kalau aku diselingkuhi ya selingkuh balik lah.”
Berdoa saja, semoga kita nggak dipertemukan dengan spesies yang suka komen seperti ini. Efek samping dari diselingkuhi itu nggak semudah itu, Markonah! Tak sedikit orang yang mengalami trauma karena hal ini. Mereka merasa insecure, tidak berharga, sulit percaya, dan sulit untuk membuka hati lagi. Bahkan, anak yang mengetahui salah satu orang tuanya itu selingkuh, banyak yang mengalami ketakutan saat mereka dewasa. Jadi, efek samping dari perselingkuhan itu nggak semudah apa yang mereka sepelekan.
Banyak teman saya yang akhirnya tak mau pacaran atau menikah lagi gara-gara pernah diselingkuhi oleh pasangannya. Hal ini nggak hanya merujuk pada perempuan loh sebagai korban perselingkuhan. Tapi, nyatanya banyak perempuan yang justru jadi pelaku. Bahkan bisa dibilang perselingkuhan perempuan itu justru lebih rapi dan sulit terendus. Beda halnya dengan cowok. Sehingga, kalau ada cowok yang mengalami trauma, menurut saya itu juga wajar dan manusiawi. Yang bisa sedih, kecewa, terluka, dan sakit hati itu nggak hanya perempuan saja loh, ya.
Pertanyaan “selingkuh atau diselingkuhi” itu mungkin sama halnya kayak memilih “sakit gigi atau sakit hati”. Yang pilih mending sakit gigi, saya yakin seyakin-yakinnya mereka belum pernah gulang-guling tersiksa lahiriah dan batiniah gara-gara si gigi yang besarnya tak seberapa dibanding biji salak itu. Mbok ya sudah, cari pertanyaan lain gitu yang berbobot. Masih banyak hal di dalam hidup ini yang harus dipikirkan ketimbang menjawab segala kemungkinan dalam dunia perselingkuhan.
Paling juga mereka yang menyepelekan diselingkuhi, sekali merasakan diselingkuhi bakal langsung nyanyi lagunya Taxi Band, “Tak ingin lagi rasanya kubercinta… Setelah kurasa perih…”
BACA JUGA 5 Macam Kepribadian Kucing Kompleks Berdasarkan Observasi Lapangan dan tulisan Reni Soengkunie lainnya.