Kemarin, tepatnya 31 Agustus 2023, Kota Mataram memperingati hari ulang tahun ke-30. Usia yang masih sangat belia untuk sebuah wilayah. Jika dibandingkan dengan usia manusia Indonesia, Mataram tengah melewati peralihan dari usia 20-an tahun yang meletup-letup menuju usia dewasa yang lebih kalem dan lebih bisa merenung jika mengambil keputusan. Sebelum terlambat, Kota Mataram—yang tentu saja maksudnya pemerintahnya—perlu memahami salah satu potongan lirik dari lagu milik Pee Wee Gaskins yang berjudul “Selama Engkau Hidup”. Selamat ulang tahun, jangan jadi tua dan menyebalkan.
Kota Mataram merupakan salah satu kota yang sangat layak menjadi tempat tinggal dan bekerja dan beranak pinak. Sebagai ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat, kota ini memiliki daya pikat yang begitu kuat. Kota Mataram terletak di salah satu pulau terindah di Indonesia yang memiliki bentang alam pantai dan gunung sama indahnya, Pulau Lombok.
Daftar Isi
Daya pikat Kota Mataram
Pantai-pantai di Lombok masih relatif alami dan belum terlalu banyak disentuh investor. Gunung Rinjani di Lombok juga jadi salah satu gunung yang sangat ramai didaki. Belum lagi deretan perbukitan di sekitar Gunung Rinjani yang jadi buruan banyak orang.
Orang yang tinggal di Kota Mataram bisa mudah berwisata ke mana saja di Pulau Lombok. Jarak antara satu wilayah dengan wilayah lain di sini relatif dekat dan tidak memakan banyak waktu. Jadi sebagai warga Mataram, saya bisa healing kapan saja saya mau.
Kota Mataram juga terletak di daerah pantai, penduduknya bisa melihat sunset saban sore. Jika ingin melihat pantai yang lebih estetik, warga Mataram tinggal bergeser sedikit ke wilayah Senggigi di Kabupaten Lombok Barat.
Meskipun kecil, saya justru senang menetap di Mataram. Usia saya dengan kota ini hanya berbeda satu tahun, saya 31 tahun sementara Mataram 30 tahun. Jadi bisa dibilang saya telah merasakan perubahan Mataram yang relatif pelan-pelan saja. Dan itu sebenarnya lebih mengasyikkan.
Jalanan di kota ini tidak seramai jalanan di kota-kota besar. Saya sangat jarang menemui yang namanya macet. Tidak ada bangunan yang menjulang terlalu tinggi di Mataram. Udaranya pun selalu bersih karena tidak ada pabrik besar. Jumlah penduduk di sini juga tidak terlalu banyak, jadi tenang. Sebuah kota yang tepat untuk menghabiskan hidup.
Meski kotanya relatif kecil, sudah ada tiga mal di Kota Mataram. Berbagai brand nasional juga sudah masuk di mal-mal itu. Toko buku dengan gerai terbanyak di Indonesia juga sudah ada di Mataram. Intinya, meski kota kecil, Kota Mataram tidak terlalu menyedihkan.
Kota Mataram bukan kota besar yang dipenuhi orang-orang bergegas saban pagi untuk mencari sesuap nasi. Bukan kota yang tepat untuk sobat ambis. Justru kota yang biasa-biasa saja ini yang sangat nikmat ditempati. Tidak terlalu banyak keluhan seperti di kota-kota besar, juga minim keluhan karena sulitnya mendapatkan akses berbagai kemudahan hidup layaknya kota-kota kecil.
Mulai muncul tanda-tanda yang mengkhawatirkan
Akan tetapi saat ini Kota Mataram mulai memunculkan tanda-tanda mengkhawatirkan. Pariwisata di Pulau Lombok tengah menggeliat efek hadirnya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang merupakan bagian dari proyek “10 Bali Baru”.
Lombok bertubi-tubi jadi tuan rumah ajang balap motor bergengsi di dunia, mulai dari World Superbike (WSBK), MotoGP, dan Motocross Grand Prix (MXGP). Mau tidak mau Kota Mataram juga mendapatkan efeknya. Tidak hanya efek positif, tapi juga negatif. Arus urbanisasi mulai terasa. Jumlah penduduk juga terus bertambah.
Contoh paling nyata yang gampang terlihat, dalam dua tahun terakhir mulai bermunculan “pak ogah”, istilah untuk orang di luar petugas resmi yang mengatur jalan. Tandanya, kendaraan di Kota Mataram mulai banyak hingga membutuhkan seseorang untuk mengatur lalu lintas. Terbaru, sekitar satu dua bulan terakhir, muncul badut di jalan-jalan. Ketika ditangkap oleh petugas dari Dinas Sosial, mereka mengaku datang dari luar NTB.
Oleh karena itu, kembali ke paragraf pertama tulisan ini, pemerintah Kota Mataram perlu memikirkan upaya agar Kota Mataram tidak beranjak menua dan menjadi kota yang menyebalkan. Upaya ini perlu dipikirkan jauh-jauh hari sebelum terlambat, sebelum keruwetan dan masalah-masalah sosial terus bertambah. Sebelum Kota Mataram menjadi Jogja atau Denpasar yang dipenuhi dengan berita kemacetan dan persoalan sampah.
Sebagai warga biasa di Mataram, saya ingin menyampaikan harapan-harapan kepada Kota Mataram yang tengah berulang tahun agar berbagai kekhawatiran di masa depan tidak menjadi kenyataan.
Kurangi pelebaran jalan yang mengorbankan pohon peneduh
Kota Mataram memiliki beberapa ruas jalan yang relatif padat kendaraan. Salah satu solusi yang dilakukan pemerintah Kota Mataram adalah melakukan pelebaran jalan.
Sayangnya, pelebaran jalan itu mengorbankan pohon-pohon peneduh di pinggir jalan seperti yang terjadi di Jalan Panca Usaha dan Jalan Pendidikan. Memang sih rencananya akan ditanam pohon lagi, tapi realisasinya relatif lama. Jalanan yang dulunya teduh ketika dilewati, berubah menjadi jalan yang sangat panas.
Niat pelebaran jalan memang baik agar pengendara nyaman. Namun kenyataannya tidak terlalu banyak memberi dampak yang tepat.
Jalan yang lebih lebar, bukannya jadi tempat yang lapang untuk mengendarai kendaraan, tapi malah dijadikan tempat parkir. Lihat saja ketika jam-jam padat aktivitas di siang atau malam hari di Jalan Panca Usaha dan Jalan Pejanggik, Cakranegara. Banyak mobil yang parkir di pinggir jalan. Bahkan parahnya, di beberapa titik di Jalan Pejanggik, dari tiga ruas jalan, hanya tersisa satu ruas yang bisa dilewati.
Jika tidak dipikirkan serius ke depan dan hanya pelebaran jalan dengan menebang pohon sebagai solusinya, maka akan ada ancaman kerusakan lingkungan ke depan.
Kota Mataram butuh transportasi publik yang terintegrasi
Salah satu yang kerap menjadi kekhawatiran penduduk kota adalah kemacetan. Di jam-jam padat arus lalu lintas terutama jam pergi dan pulang kerja, arus lalu lintas beberapa titik Kota Mataram terasa lebih padat. Sering kali juga menimbulkan macet selama beberapa saat. Salah satu yang bikin kemacetan itu karena tidak ada transportasi publik yang memadai di Mataram.
Saat ini hanya ada angkutan kota (angkot) sebagai transportasi publik—saya tidak memasukkan transportasi online atau taksi sebagai transportasi publik yang dimaksud—di Mataram. Sayangnya, jumlah angkot sangat minim, penggunanya pun semakin jarang.
Kota Mataram memerlukan transportasi publik yang terintegrasi hingga ke pinggiran-pinggiran kota. Pemkot perlu memikirkannya dengan serius. Apalagi dengan jumlah kendaraan pribadi yang terus bertambah. Kelak, jika pemerintah terus mengabaikan urusan transportasi publik yang baik, kemacetan dan kemsewarutan jalanan Kota Mataram jadi ancaman menakutkan ke depan.
Edukasi dan sistem yang tepat atasi sampah
Pemerintah Kota Mataram memang sudah melakukan berbagai upaya mengatasi persoalan sampah. Sampah-sampah yang menumpuk di pinggir jalan relatif jarang ditemui lagi. Petugas pengambil sampah di rumah tangga juga sudah ada hingga kampung-kampung.
Akan tetapi, persoalan buang sampah di saluran air masih sering dijumpai. Akibatnya, ketika hujan deras, mudah memunculkan genangan air di beberapa titik.
Diperlukan edukasi dan sistem yang tepat mengatasi persoalan sampah. Pemerintah perlu memikirkan langkah tepat agar benar-benar nol sampah di mana saja.
Kota Mataram perlu mengatasi penyakit sosial
Beberapa penyakit sosial masih terjadi di Mataram, beberapa kampung di Mataram bahkan dicap sebagai “kampung narkoba” oleh masyarakat. Sebagai kota yang terus menggeliat, penyakit sosial seperti itu perlu dicarikan solusinya. Belum lagi dengan terjadinya arus urbanisasi, pasti ada dampak negatif yang mengikuti. Ancaman hadirnya penyakit sosial di masyarakat perlu diantisipasi sejak dini.
Itulah beberapah harapan saya untuk Kota Mataram. Seperti potongan lirik lagu Pee Wee Gaskin di paragraf pertama itu, saya berharap Kota Mataram tidak menjadi tua dan menyebalkan.
Penulis: Atanasius Rony Fernandez
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Senjakala Mataram Mall, Mal Pertama di Kota Mataram: Dulu Kebanggaan Warga, Kini Menuju Temaram.