Tulisan ini akan saya dedikasikan pada para orang tua yang tengah bersuka dan ber-ria menunjukkan kalau putra-putrinya dapat juara di sekolah. Di saat bersamaan, para orang tua ngedumel sepanjang hari dan mencerabih putra-putrinya untuk belajar lebih giat lagi. Bahkan berencana memasukkan anaknya ke les privat sebagai tambahan jam belajar karena anaknya tak kunjung mendapat juara di sekolah.
Akhir-akhir ini saya menyadari bahwa belajar seharusnya mengajarkan seseorang untuk bebas berpikir. Bebas mengkontruksikan otaknya sendiri, tak berpatok pada standardisasi yang ditentukan oleh siapa pun, termasuk sekolah. Maka, begitu juga dengan juara-juaraan palsu itu. Orang terpelajar tak butuh itu, karena pengetahuan tak dapat dihitung dengan angka.
Sedari awal, memang tidak boleh ada standardisasi ilmu, karena ia dinamis. Tak dapat diinterpretasikan oleh subjektivitas manusia. Tak bisa juga disamaratakan standarnya. Seharusnya sekolah menjadi laboraturiom sungguhan, tempat di mana anak manusia bisa bereksperimen untuk mengembangkan apa yang jadi minatnya. Sebab, yang paling penting dari tugas sekolah adalah untuk membuat pelajar menyukai dan menyenangi ilmu. Bukan mendapatkan juara di kelas.
Ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah semua orang, tidak hanya pembuat kebijakan. Toh, ternyata para orang tua juga justru terbawa atmosfer yang diciptakan sistem tersebut. Itu terbukti dengan tuntutan mereka untuk anaknya mendapat juara di kelas. Mereka tidak tahu, bahwa dengan begitu si anak justru bisa saja semakin jengah dengan belajar, suntuk dengan ilmu pengetahuan, karena ia harus menguasai semua pelajaran yang tidak menjadi minatnya sama sekali.
Demi melihat semua itu, saya ucapkan selamat untukmu yang tidak mendapatkan juara di kelas! Sebab, saya yakin bahwa kalian sedang membuktikan pada orang-orang kaku yang memandang bahwa juara di kelas adalah indikasi dari orang yang paling pintar. Saya yakin, pengertian sesat itu sedang mencoba kalian luruskan. Teruskan! Jangan menyerah hanya karena pandangan umum yang tak tentu benar itu.
Tentu saja, saya juga tak menafikan orang yang dapat juara kelas adalah orang pintar, tetapi sesat juga jika semua orang mesti dituntut mencapai itu. Ada banyak hal dari ilmu pengetahuan yang tak dapat dihitung dengan standardisasi yang ditentukan para guru.
Oleh karenanya, para orang tua juga sudah seharusnya lebih memahami kemampuan khusus putra-putrinya. Mesti terkadang kemampuan tersebut tak masuk dalam “standar pintar” yang ditentukan sekolah. Tidak serta-merta setelah anak disekolahkan, orang tua seperti sudah lepas tanggung jawab untuk mengetahui minat dan bakat anak. Orang tua seharusnya jadi guru yang paling mengetahui potensi anaknya.
Apresiasi anak jika ia bernyayi dengan merdu di kamar mandi. Wadahi jika anak bagus sekali menggambar dan melukis di dinding-dinding kamarnya. Bangga dan bimbinglah jika anak mulai puitis menulis tentang cinta, meski belum masanya. Perhatikan dengan saksama saat anak berbicara tentang sesuatu. Siapa yang tahu, di bidang-bidang itulah masa depan yang akan mereka pijaki.
Tak apa jika anak dapat nilai buruk di Matematika, IPA, IPS, dsb. Namun, pastikan ia tidak buruk dalam ilmu yang disukainya, lebih penting lagi pastikan anak senang dan kritis dengan ilmu pengetahuan.
Siswa-siswi di Indonesia bukan orang-orang malas. Mereka pekerja keras. Meski tidak minat dengan mata pelajaran di sekolah, mereka bahkan tetap bersusah-payah untuk mencoba memahaminya, tetap berusaha duduk di bangku panas di kelasnya. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya mereka diapresiasi. Bahkan hanya sekadar mereka bisa tetap bersabar dengan sistem yang tidak mendukungnya.
Hei, Orang Tua, tetap elus kepala mereka meski tidak mendapat juara di kelas. Lebih baik katakan pada mereka, “Selamat kamu tidak juara kelas, Nak! Meski begitu, kamu selalu menjadi juara di mata mama!”
Perlu diketahui, walau bagaimanapun kondisi keluarga, anak selalu butuh apresiasi-apresiasi kecil semacam itu. Mulai bentuk pemahaman bahwa proses adalah sesuatu yang lebih perlu diapresiasi di atas hasil. Jika orang tua terus-menerus menekan anak untuk mendapat juara di kelas, mereka bisa saja melakukan hal-hal curang untuk mendapatkannya. Itu sebabnya budaya mencontek menjamur di Indonesia. Menyedihkan jika karakter ini sampai tertanam hingga kelak anak ini dewasa.
Terakhir, saya ucapakan selamat karena kamu tidak mendapat juara di kelas, Dik! Tidak mendapatkan juara di kelas tidak mengindikasikan kamu bodoh. Kamu tetap seorang terpelajar. Kamu tetap seorang ilmuwan di bidangmu sendiri. Sebab juara di kelas, adalah hanya untuk memuaskan orang lain. Puaskan saja dirimu sendiri. Tetap maju, gapai apa yang kamu mau!
BACA JUGA Tak Perlulah Terlalu Berprestasi, Karena Impresi Awal Adalah Kunci atau tulisan Tazkia Royyan Hikmatiar lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.