Ketika pergi ke pasar tradisional, saya selalu dibuat kagum oleh interaksi yang terjalin di dalamnya. Interaksi yang melibatkan antara penjual dan pembeli mengenai harga suatu pangan atau barang, hingga terjadinya kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Kelihatannya mudah dan menyenangkan. Berawal dari pertanyaan, “Harganya berapa, Bang?”, kemudian lanjut bertanya perihal spesifikasi, kualitas, dan lain sebagainya.
Proses tawar-menawar ini tidak melulu terjadi di pasar tradisional, sih. Biasanya juga dapat dilakukan di banyak pusat perbelanjaan yang memungkinkan untuk melakukan proses tawar-menawar.
Nyatanya, saya juga selalu kagum setiap melihat pembeli yang memiliki kemampuan menawar harga dengan para penjual untuk sesuatu yang dibeli di pusat perbelanjaan. Sebetulnya ada perasaan iri juga, sih. Sebab, saya cukup yakin tidak semua orang bisa atau pun pede dalam proses tawar-menawar. Ada yang pada akhirnya tidak bisa mempertahankan harga yang diinginkan, ada pula yang sedari awal sudah malu-malu untuk mengajukan penawaran kepada si pedagang. Alhasil, sering kali malah membeli dengan harga awal tanpa melakukan percobaan untuk menawar lebih dulu.
Selain memang harus diakui, sadar atau tidak para pedagang justru sering kali lebih lihai dalam mempertahankan harga dibanding si pembeli itu sendiri. Sekalipun harga berhasil diturunkan, biasanya sih nggak akan jauh dari harga awal. Yang umum dan sering terjadi, paling harga hanya dikurangi sekira 5 ribu sampai 10 ribu dari harga awal. Ya, mau bagaimana pun, para pedagang berjualan untuk mendapatkan keuntungan, kan. Menawar harga tentu boleh, tapi jangan sadis, plis!
Saya pun termasuk orang yang tidak pandai dalam proses tawar-menawar. Kadang malu-malu tapi mau, seringnya sih tidak bisa mempertahankan harga yang diinginkan dengan si pedagang. Karena kurang memiliki kemampuan dalam menawar harga, saya sempat diejek oleh beberapa teman. “Masa nggak bisa nawar, sih? Nggak berani? Nawar kan gampang, cuma gitu-gitu aja.”
Lha, apanya yang gitu-gitu aja, selain butuh kemampuan negosiasi yang baik, pedagang pun berhak mempertahankan harga awal. Jadi, bukan sekadar “cuma gitu-gitu aja”, dong?
Saya bukannya nggak bisa menawar harga sama sekali, sih. Hanya saja kadang bingung kalau mau menurunkan harga itu baiknya berapa. Soalnya ketika nawar, saya paling sering minta harganya dikurangi ke penjualnya paling banter antara 5 sampai 10 ribu saja. Dan bagi teman-teman saya, harusnya harga segitu masih bisa ditawar lagi, masih bisa lebih murah lagi.
Bahkan beberapa teman saya memiliki pendapat dan rumusan yang sama perihal bagaimana cara menawar harga kepada para pedagang. Bukan rumusan pasti, tapi cara ini sering mereka gunakan dan biasanya berhasil. Kira-kira seperti ini gambarannya:
Misal ketika ingin membeli sepatu seharga 100 ribu. Tawar dengan setengah harganya lebih dulu, 50 ribu. Biasanya penjual akan berkata, “Belum bisa segitu, belum balik modal. Tambahin lagi deh, 20 ribu (harga menjadi 70 ribu).” Nah, pada saat sudah memasuki percakapan seperti ini, langsung ajukan penawaran lagi. Seperti, “Yaudah, pasnya aja ya, Bang. 60 ribu.” Biasanya deal-deal an harga akan segera terjadi.
Lain halnya dengan Ibu saya yang memiliki template ketika ingin melakukan penawaran. Blio selalu menggunakan teknik dan pembicaraan yang terbilang template seperti, “Segini (menyebutkan harga penawaran) nggak bisa, Bang? Nanti saya ke sini lagi deh, jadi langganan.” Kadang disetujui dan langsung sepakat, kadang juga tidak. Namun, ketika belum terjadi kesepakatan, Ibu selalu melipir begitu saja ke pedagang lain. Setelah itu, ajaibnya pedagang langsung memanggil Ibu, “Bu, Bu! Yaudah ambil Bu, oke harga segitu!” Ajaib memang.
Masalahnya, saya pernah menggunakan cara serupa tapi tidak berhasil. Wajar dong jika kemudian saya agak keheranan dan mempertanyakan, jangan-jangan soal tawar-menawar selain butuh kemampuan, juga diperlukan bakat alami? Atau para pedagang memiliki insting alami, kapan mereka harus mempertahankan harga, kapan juga mereka harus sepakat dengan penawaran harga dari para pembeli? Sebab sepengetahuan saya, pedagang berjualan untuk mendapatkan keuntungan, bukan malah sebaliknya.
Dari dahulu ketika sudah mulai bisa membeli sesuatu sendiri hingga sekarang, saya masih saja belum pintar dalam melakukan proses tawar-menawar dengan para pedagang. Hal tersebut membuat saya pasrah ketika berbelanja di pasar dan sering kali tanpa menawar harga. Paling-paling hanya sekadar bertanya sambil basa-basi, “Harganya masih bisa kurang nggak, Bang?” Dan lagi-lagi, dikasih diskon 5 sampai 10 ribu saja sudah syukur.
BACA JUGA Nggak Usah Sok Ngomong Bahasa Jawa Saat Belanja di Malioboro, Nggak Semua Pedagangnya Orang Jawa Kok! atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.