Seperti kisah cinta nom-noman pada umumnya, pomade selalu mengalami pasang surut. Pada eranya, pomade pernah menjadi begitu populer, lalu tenggelam, lalu populer, lalu tenggelam lagi. Mungkin, pomade memiliki love-hate relationship dengan gaya rambut pria. Dan sebagai salah seorang pomade enthusiast, saya akan sedikit menjabarkan perjalanan benda konsumsi yang begitu kaya cerita ini.
Oleh masyarakat Indonesia, pomade lebih dikenal sebagai minyak rambut. Sejatinya, pomade adalah minyak rambut padat yang bertujuan membantu penataan rambut. Fungsi lain pomade adalah memberikan kilau pada rambut, sehingga rambut terlihat “segar”.
Pomade sendiri sudah dikenal sejak abad ke 19, diiringi gaya rambut klimis-klimis polem. Awalnya, pomade dibuat dari remukan apel dan lemak babi. Tapi seiring berjalannya waktu, minyak rambut padat tersebut diolah dengan berbagai bahan lain dengan fungsi bahan beragam. Sekiranya sedikit saja saya bicara sejarah minyak rambut padat tersebutdalam arti luas. Toh, ini bukan Ruangguru kok.
Bicara pomade di Indonesia, kita tidak bisa lepas dari transfer budaya barat oleh Belanda. Ketika Indonesia dijajah VOC, mereka membawa budaya Eropa kemari. Dari gaya berpakaian, makan, sampai bersolek. Nah, pomade menjadi salah satu budaya Eropa yang dibawa bersama budaya lain.
Karena para mandor dan juragan londo ini kerap tampil dengan rambut klimis berkilau, maka masyarakat kita memandang bahwa rambut klimis pertanda strata sosial tinggi. Mulailah para priyayi mengadopsi gaya rambut klimis berminyak ini.
Makin lama, gaya klimis diadopsi pula oleh para pelajar bumiputera yang sekolah ke Belanda. Dan bergeser pula posisi pomade dari simbol priyayi menjadi simbol intelektual. Dan pada masa kemerdekaan, para pelajar ini tampil di garda depan perjuangan. Kita melihat beberapa tokoh pergerakan nasional berpenampilan klimis seperti Bung Hatta, Tan Malaka saat muda, Amir Sjarifuddin, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Bahkan Soekarno muda juga ikut dalam gelombang klimis necis ini sampai beliau kesengsem gaya berpakaian “nasionalis” bersongkok.
Pomade pun digunakan oleh artis idola pada masa itu. Contoh utamanya adalah Elvis Presley dan Johnny Cash. Meskipun Bung Karno tak tertarik dengan musik ngak-ngek-ngok khas rockabilly nya Elvis, ada saja pemuda yang berpenampilan klimis ala Elvis
Bicara Elvis, penampilan klimisnya berbeda dengan para intelektual Indonesia. Jambul tingginya dikenal sebagai pompadour. Karena Elvis ikut populer di Indonesia, pemuda Indonesia pun mengadopsi gaya rambutnya. Maka lahirlah generasi pemuda klimis bercelana Levis.
Sedikit cerita eyang saya, tidak semua pemuda punya cukup uang untuk beli minyak rambut padat tersebut. Solusi terbaik mereka adalah gemuk pelumas rantai sepeda. Sebenarnya pomade juga berbahan baku sama dengan gemuk, hanya saja dalam standar produk kecantikan. Berhubung masa itu belum ada internet, tidak ada hoax “pakai gemoek sepeda sebagai minjak ramboet dapat menjebatkan penjakit koedis dan koerap.”
Tapi, semua gaya busana pasti akan sampai titik jenuh. Pada tahun 70-an, budaya klimis tergeser oleh gaya gondrong pembangkang dan keras. Saat itu adalah era di mana glam rock menjadi populer dan era dimana gaya ke Evis-elvisan tenggelam. Inilah kali pertama minyak rambut padat tersebut ditinggalkan.
Dan sejarah bekerja dengan caranya yang ajaib. Seolah-olah semua berputar seperti roda kehidupan. Dan pomade kembali memuncaki klasemen gaya bersolek pria pada tahun 2015-an. Minyak rambut padat tersebut kembali digandrungi oleh banyak pemuda di berbagai belahan dunia. Tentunya dibarengi dengan kembalinya era musik punk rock dan rockabilly.
Minyak rambut padat tersebut pun tidak sekedar jadi barang konsumsi. Selain barang konsumsi, pomade juga menjadi barang koleksi dan klangenan banyak kalangan. Bahkan lahir pula sebuah komunitas pecinta pomade yang digawangi Indonesian Pomade Enthusiast (IPE). Para homebrew pun mulai bermunculan dan sebagian tetap bertahan hingga hari ini.
Pada era ini, blio Ari Astina A.K.A Jerinx/JRX mulai menunjukkan taringnya. Menyerang pemakai pomade sebagai uneducated karena memakai tanpa esensi. Ah masa yang indah.
Dan kini, rambut klimis bersinar kembali dipandang jadul. Kembali tenggelam setelah posisinya di cakra manggilingan berada di bawah lagi. Akhirnya, pomade kembali menjadi sekadar kebutuhan pria yang dituntut rapi dalam dunia kerjanya. Hanya tinggal segelintir orang yang tetap bertahan.
Meskipun genre rockabilly tetap dan selalu ada, tapi tidak sepopuler dulu. Akankah pomade kembali lagi? Akankah pria Indonesia klimis lagi? Akankah minyak rambut padat seharga ratusan ribu hingga jutaan rupiah jadi buruan lagi? Dan akankah JRX kembali koar-koar gaje masalah esensi lagi?
BACA JUGA Memprediksi Isi DM JRX Setelah Tirta Muncul di Holywings dan tulisan Dimas Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.